Sumber: http://www.andreasharsono.net/2019/03/sesudah-15-tahun-akhirnya-buku-terbit.html |
Ketika menggarap majalah UAPM Inovasi, saya meliput tentang
Ahmadiyah. Saya mewawancarai Andreas Harsono, jurnalis dan peneliti Human Right
Watch (HRW) yang aktif meneliti dan mengadvokasi kasus hak Asasi Manusia.
Andreas Harsono bercerita tentang bagaimana advokasi yang dilakukan oleh HRW
terkait kasus Ahmadiyah. Berikut hasil wawancaranya:
W: Setelah
wawancara, membaca beberapa data, dan mengamati tindak diskriminasi terhadap
kelompok minoritas, saya melihat kelompok yang terus menolak keberadaan Ahmadiyah
itu seperti FPI, maupun elit ulama. Nah, apakah andreas harsono atau HRW pernah
berdialog dengan FPI atau elit ulama sebagai salah satu bentuk advokasinya?
A: Kami pernah bertemu dgn Majelis
Ulama Indonesia. Bicara sambil menjelaskan posisi masing-masing. Masing-masing
pejabat MUI beda posisi. Ada yang moderat, banyak yang garis keras. Bila bicara
dgn yang moderat, tentu saja, pandangan mereka minimal konservatif tapi tak
terkesan agresif. Kalau yang keras, pandangan tentu tidak toleran.
W: Ketika di Manislor, Kuningan, Jawa Barat,
saya bertemu Pak Nur Halim, Ketua Jemaat Ahmadiyah di Manislor. Pak Nur Halim
bilang diskriminasi terhadap Ahmadiyah terjadi selama 8 tahun (2002-2010),
salah satu usaha paling efektif yang dilakukannya untuk menghentikan
diskriminasi adalah berdialog, melakukan pendekatan kognitif terhadap
orang-orang yang menolak mereka. Nah, bagaimana anda menyikapi hal ini?
A: Persoalan mendasar bagi Ahmadiyah
adalah SKB 2008 beserta turunan mereka di tingkat provinsi dan kabupaten.
Dialog tentu berguna tapi tanpa pencabutan terhadap aturan-aturan yang
diskriminatif ini juga akan tetap dijadikan alat oleh mereka yang intoleran
buat intimidasi dan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah.
W: Kemarin saya juga wawancara Pak Wawan
dari Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag, pak wawan bilang, “pasal
pnps perlu dicabut karena tafsirnya kurang jelas sehingga menimbulkan
diskriminasi. Jadi perlu rancangan undang-undang yang lebih spesifik, pkub
rencananya tahun depan akan membuat RUU
PUB (Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama) untuk menggantikan
pasal pnps.” Nah bagaimana anda menyikapi hal ini? Apakah ini solusi yang
tepat?
A: HRW sudah lakukan riset terhadap
draft RUU tersebut (selangkapnya "Indonesia: RUU ‘Pelindungan Umat Beragama’ Akan Membahayakan Kalangan Minoritas"). Kami memandang ia takkan mengatasi diskriminasi PNPS 1965.
HRW sepakat dengan gugatan Gus Dur dan yang lainnya bahwa langkah satu-satunya
adalah mencabut PNPS 1965. Sayang, Mahkamah Konstitusi mengalahkan Gus Dur pada
2010. Kalau saja mereka bisa berpikir seluas dan sedalam Gus Dur, kita sudah
tak perlu buang-buang energi untuk urusan dari Abad Pertengahan ini.
W: Oh, iya, satu lagi, ini pertanyaan
yang mungkin di luar konteks. Kekecewaan seperti apa yang pernah dirasakan
andreas harsono ketika menjadi seorang jurnalis?
A: Saya lahir pada 1965, tahun yang
paling berdarah dalam sejarah Pulau Jawa. Saya besar pada masa rezim Orde Baru,
menurut Adnan Buyung Nasution, rezim paling kejam dalam sejarah Indonesia
maupun Hindia Belanda. Kalau Anda mengalami penindasan dalam rezim ini, saya
kira, Anda sudah punya batas kekecewaan yang jauh sekali. Persoalannya, bukan
kecewa atau tidak, tapi bagaimana berpikir, menulis dan bekerja demi masa depan
yang lebih baik buat anak dan cucu kita.
Komentar
Posting Komentar