Langsung ke konten utama

Masalah Agraria adalah Masalah Kuliah Kita

Yayasan Pendidikan Darul Hidayah, Tirtoyudo, malang Selatan

Masalah sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang tidak dibahas di bangku kuliah selalu membuat saya gelisah. Misal, di fakultas ekonomi, pembahasan akan lebih condong ke konsep pembangunan, strategi investasi, maupun pengembangan kewirausahaan. Namun –kebanyakan dari– kita tidak tahu bahwa selama 19 tahun (mungkin lebih), ada masyarakat yang memperjuangkan kesejahteraan hidupnya. Bahwa mereka terus berjuang untuk mendapatkan hak atas tanahnya, sampai sekarang.

Masalah sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang tidak dibahas di bangku kuliah selalu membuat saya gelisah. Misal, di fakultas ekonomi, pembahasan akan lebih condong ke konsep pembangunan, strategi investasi, maupun pengembangan kewirausahaan. Namun –kebanyakan dari– kita tidak tahu bahwa selama 19 tahun (mungkin lebih), ada masyarakat yang memperjuangkan kesejahteraan hidupnya. Bahwa mereka terus berjuang untuk mendapatkan hak atas tanahnya, sampai sekarang.

Saya pun, baru mengetahuinya ketika saya iseng-iseng membaca satu buku di UKM. Judulnya Petani Vs Negara. Buku seri disertasi itu membahas tentang konflik sengketa lahan antara PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII Kalibakar dengan para petani di Malang selatan.Pada jaman penjajahan dulu, PTPN dikuasai oleh Belanda. Karena masyarakat yang dijadikan pekerja kala itu tak mendapatkan kesejahteraan yang layak, akhirnya mereka melawan. Masyarakat yang ikut berjuang dengan tentara nasional berhasil mengusir para penjajah. Namun, setelah periode kemerdekaan, PTPN diambil alih oleh Negara. Masyarakat tak mendapatkan tanahnya kembali.

Puncak konflik terjadi pada tahun 1998, ketika Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) PTPN. Masyarakat yang tidak terima akhirnya melakukan aksi reklaiming (merebut kembali) tanah. Lantaran, di bawah komando Negara kesejahteraan masyarakat masih belum terjamin. Tekanan kerja tinggi, gaji tidak mencukupi.

Dari membaca buku itulah saya semakin gelisah dan ingin mengetahui cerita lebih jelasnya. Kemudian saya berangkat ke Malang Selatan untuk melakukan peliputan. Saya ingin menceritakan bagaimana masyarakat Malang Selatan memperjuangkan tanah mereka selama 19 tahun ini.

Kini perjuangan itu masih berlanjut. Setelah HGU PTPN habis pada tahun 2013, masyarakat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Tani Malang Selatan berjuang mendapatkan tanahnya kembali melalui jalur hukum.

Di saat yang sama, saya meliput perjuangan Yayasan Pendidikan Darul Hidayah Tirtoyudo untuk mendapatkan ruang belajar untuk muridnya. Mereka harus terlibat dalam konflik sengketa lahan anatara PT Perkebunan Nusantara PTPN.

Kata Undang Undang Dasar 1945, salah satu tujuan dibentukanya Negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Nah, sudahkah Negara melaksanakan tujuan itu? Bagaimana jika Negara lebih mementingkan kebutuhan pendapatan Negara daripada kebutuhan pendidikan masyarakatnya? Kira-kira seperti itulah yang saya pikirkan saat melakukan peliputan.

Perjuangan mendapatkan ruang belajar harus terhenti dengan pelaporan penyerobotan lahan oleh Administratur PTPN. Kurangnya lahan di Yayasan untuk tempat belajar murid-murid membuat mereka terpaksa membangun ruang belajar di sebuah lahan tak bertuan (yang dimiliki oleh PTPN, sebelum Hak Guna Usahanya habis ditahun 2013).

Pemerintah seakan-akan tak melihat pembangunan ruang belajar dari perspektif kebutuhan pendidikan itu sendiri, tapi dari perspektif salah atau benar pembangunan itu dilakukan. Kenapa pemerintah? Ya, karena PTPN adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara. Permasalahan sengketa lahan sejak tahun 1998 tak selesai sampai sekarang. Pemerintah dilema antara menyelamatkan asset Negara atau memihak kesejahteraan masyaraktnya. Akhirnya masyarakat, guru dan murid harus terhenti usahanya untuk mendapatkan hak atas pendidikan.

Ketika saya melihat pemberitaan di media tentang sengketa lahan ini, hampir semuanya membahas konflik antara PTPN dan masyarakat. Tidak ada yang memperhatikan kondisi yang dialami Yayasan Pendidikan Darul Hidayah. Karena hal inilah saya melakukan liputan ini. Saya bertemu dengan Ibu Nasuhah dan Mas Didik, yang merupakan Guru Yayasan Pendidikan Darul Hidayah. Dari mereka saya mengetahui cerita perjuangan mencari ruang belajar, kronologi pelaporan, dan pentingnya pendidikan. Merekalah yang terus berjuang walaupun Negara tak memperhatikan.

Dari cerita mereka, saya semakin sadar bahwa yang namanya pendidikan itu harus diperjuangkan, bahwa generasi penerus bangsa adalah anak-anak pada zamannya, bukan perusahaan maupun pendapatan Negara.

Namun setelah meliput konflik agraria di Malang selatan, saya dan teman-teman dikejutkan dengan konflik agraria yang terjadi di Kulon Progo. Rumah-rumah warga Kulon Progo digusur secara paksa oleh aparat keamanan Negara untuk pembangunan bandara PT Angkasa Pura. Warga yang memprotes dihajar oleh aparat, rumah-rumah, masjid, dan sekolah dihancurkan oleh bego besar. Mereka yang berteriak dan menangis tak menghentikan aparat untuk menjalankan tugas Negara.

PT Angkasa Pura mengklaim bahwa tanah Kulon Progo adalah tanah Negara. Melalui transaksi Konsinyasi. Pihak PT Angkasa Pura membeli tanah Kulon Progo dengan menitipkan uangnya ke Pengadilan Negeri. Karena uang itu sudah diambil oleh beberapa warga, secara hukum tanah itu menjadi milik Negara. Entah bagaimana bisa seperti itu dan apa dasar hukumnya, saya tak tahu. Saya bukan anak hukum. Beberapa teman saya yang hukum pun juga tak tahu secara detail mengenai transaksi konsinyasi.

Kemudian, di suatu malam, teman-teman pers mahasiswa mengajak untuk berkumpul merencanakan agenda solidaritas untuk warga Kulon Progo. Saya mengusulkan untuk membuat agenda diskusi membahas hukum transaksi konsinyasi. Tapi taka da respon yang jelas dari teman-teman untuk merealisasikan usulan yang saya ajukan. Bahkan dari teman-teman fakultas hukum di sebuah kampus tak memberi tanggapan sama sekali. Waktu itu saya mengajukan usulan melalui sebuah pesan di grup whatsapp. Mungkin waktu itu sinyalnya buruk atau tidak ada paketan untuk menanggapi pesan saya. Meski demikian, teman-teman tetap melanjutkan agenda solidaritas dalam aksi kamisan.

Lalu salah satu teman saya berinisiatif untuk berangkat ke Kulon Progo. Entah apa yang membuatnya nekat untuk berangkat. Tapi setelah melihat status whatsappnya di esok hari, saya mengetahuinya. Isi statusnya seperti ini: “Lawan itu nyata, bukan hanya di ruang redaksi. Salam…” Akhirnya teman saya dan teman saya satunya lagi berangkat ke Kulon Progo. Mereka mau meliput kejadian langsung di sana, mereka mau ikut menemani warga yang diintimidasi oleh aparat, atau mereka mau demo ke PT Angkasa Pura, saya tak terlalu memikirkannya. Yang jelas pokoknya melawan.

Sayangnya dua teman saya tadi tak bisa lama-lama di Kulon Progo. Mereka harus kembali untuk menyelesaikan garapan majalah yang deadlinnya tinggal sedikit hari. Teman saya yang sepertinya kesal membuat status whatsapp yang isinya seperti ini: “Aliansi tolak Bandara NYIA Kulon Progo kembali melakukan aksi di depan kantor Angkasa Pura 1 Yogyakarta, sementara bis kami terus meluncur menuju Surabaya. Dilema.”

Diwaktu yang sama, saya kembali dikagetkan dengan kabar dari salah satu teman saya di Bandung. Penggusuran rumah warga oleh aparat keamanan juga terjadi di daerah Tamansari dan Dago Elos. Alasan penggusuran untuk pembangunan Ruang Terbuka Hijau. “…beberapa warung milik warga mulai dibongkar paksa, warga mulai histeris” tulis teman saya di status whatsappnya.

Entah bagaimana harus bertindak. Semuanya terjadi secara bersamaan. Di tempat yang jauh dari lokasi penggusuran, yang bisa saya lakukan hanyalah menyuarakan kabar-kabar penggusuran yang dikabarkan teman-teman saya. Sambil terus kesal mengetik tulisan ini. Teman saya yang berangkat ke Kulon PProgo itu tiba-tiba bertanya. “Apakah masyarakat itu harus selalu mengalah kepada Negara? Negara yang melakukan pembangunan hanya karena alasan tekanan pasar dan potensi wisata” lalu ia mengumpat kesal.

Sebenarnya setan mana yang sedang merasuki pemerintah kita, sehingga ia harus mewujudkan pembangunan dengan menggusur masyarakatnya? Bagaimana kita tidak memandang pemerintah sebagai sosok yang kejam, ketika ia memaksakan pembangunan meski masyarakat harus terluka, menjerit, dan menangis? Semoga pertanyaan ini menghantui pikiran siapapun yang membacanya.

Dan bagi mahasiswa yang sedang kuliah, mungkin pikirannya bisa tergganggu. Kalau teori-teori yang ia pelajari itu nggak begitu relevan untuk menyelesaikan permasalahan di sekitarnya –bahkan memahaminya saja. Mereka bisa memilih untuk diam atau mengambil sikap aman. Kalau mau kuliah untuk kuliah, silahkan. Urusi dirimu sendiri, abaikan orang lain, ngurusi orang lain nggak dapat apa-apa, nggak bakal kaya, dapat masalah, iya. Tapi coba pikirkan ucapan teman saya yang ada di Bandung ini: “Kita tak pernah tahu, mungkin suatu saat rumah kita yang akan digusur. Negara Republik Investor!”



*Tulisan ini pertama kali terbit di Majalah INOVASI edisi XXXIV Tema Agraria Tahun 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .