Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan
Foto: Fatikh

Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none.

Memulai langkah bersama jiwa-jiwa pembaharu. Yang tidak elitis, yang tidak memaksa, yang lebih mementingkan perdamaian abadi. Tapi, mereka menolak kami. Sang mayoritas itu meyerbu rumah tempat kami berteduh, menghancurkan rumah tempat kami beribadah, mematikan jantung dan raga kami sesama manusia. Sang mayoritas juga mengancam keyakinan kami. Pergi atau dibasmi, berhenti bicara atau diintimidasi, menanggalkan keyakinan atau mati.

Begitu ngeri apa yang dilakukan sang mayoritas kepada kami. Dalam tindakan, bahkan sejak dalam pikiran, sampai kami mati. Sang mayoritas seperti buta dengan niat ikhlas. Yang mereka lihat hanyalah perbedaan kami dengan mereka. Sang mayoritas menolak narasi lain yang berbeda. Hanya itu saja.

Narasi lain itu telah melukai perasaan mereka atas kisah-kisah besar yang selama ini mereka percayai. Mereka merasa keyakinannya dinodai. Di titik itu, tak ada keinginan untuk memahami perbedaan, tak ada komunikasi, tak ada verifikasi, tak ada musyawarah, dan tak ada akal sehat. Yang ada adalah luapan emosi yang tertuang dalam tindakan kekerasan dan intimidasi. Di dalam ruang terbuka maupun dalam diam.

Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun kami melakukan kerja kemanusiaan, menyumbang kemajuan pendidikan, membagikan darah kepada yang membutuhkan, serta menyuarakan perdamaian. Tapi, Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun kami dikelilingi ancaman dan teror mencekam. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun menempuh jalur hukum untuk memperjuangkan keadilan, selalu digagalkan. Oleh sang mayoritas yang menindas, oleh hukum yang harusnya adil, dan oleh Negara yang harusnya melindungi.

Akhirnya kami menjadi minoritas. Bukan karena jumlah kami sedikit, tapi karena kami dihabisi sampai tinggal sedikit. Bukan karena yang kami lakukan salah, tapi karena kami dianggap salah.

Bagaimana mewujudkan perdamaian? Dengan satu identitas dan satu keyakinan yang sama, atau dengan satu niat dan satu tindakan yang sama? Dengan kekerasan atau akal sehat?

Komentar