Melihat kekerasan
terhadap wartawan dari tahun ke tahun begitu mencemaskan. Aliansi JurnalisIndependen (AJI) mencatat ada 81 kasus di tahun 2016, 66 kasus di tahun 2017,
64 kasus di tahun 2018. Entah berapa nanti jumlah kasus di tahun 2019, yang
pasti selama januari sampai juni 2019, AJI mencatat ada 10 kasus kekerasan
terhadap wartawan. Tentu kecemasan ini tidak dilihat dari jumlah kasusnya yang
menurun, tapi dari tiadanya upaya yang konkrit dari pemerintah untuk mencegah
dan menyelesaikan kasus kekerasan terhadap wartawan.
Presiden kita hanya
rutin mengikuti acara perayaan Hari Pers Nasional versi Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) sambil melupakan janji-janjinya untuk memperbaiki kondisi pers
di Indonesia. Jokowi mengingkari janjinya untuk menata kembali kepemilikan
frekuensi penyiaran supaya ada monopoli segelintir orang atau kartel industri
penyiaran. Selain itu ada janji keterbukaan informasi publik dan komunikasi
publik yang diingkari. Hebatnya, Jokowi mendapat medali kebebasan pers di acara
itu.
Kita perlu memahami
bahwa kilauan medali kebebasan pers sama sekali tidak menyinari kecemasan
wartawan serta masyarakat dari ancaman kekerasan maupun pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM). Kilauan medali itu malah menutupi fakta tentang buruknya
kebebasan pers di Indonesia. Ada persoalan kebebasan pers yang coba ditutupi
pemerintah dari citra yang mereka bangun.
Beberapa fakta yang
coba ditutupi pemerintah adalah peringkat kebebasan Indonesia menurut ReportersWithout Borders, LSM yang fokus pada isu kebebasan pers, berada pada urutan 124
dari 180 negara. Reporters Without Borders menggunakan tujuh kriteria dalam mengukur
kebebasan pers pada suatu negara. Tujuh kriteria itu adalah keberagaman opini yang
direpresentasikan media, independensi media, lingkungan dan swa-sensor media,
perundang-undangan media, transparansi institusi media, dan kekerasan terhadap
media. Setidaknya, kita bisa mempertanyakan citra yang dibangun pemerintah
dengan kriteria-kriteria ini.
Kekerasan Wartawan:
dari Pers Umum sampai Pers Mahasiswa
Sembari mempertanyakan
citra pemerintah, kita perlu memperjelas upaya pemerintah yang tidak konkrit
dalam mencegah maupun menyelesaikan kasus kekesarasan pada wartawan. Mungkin
bahasa yang tepat adalah upaya pemerintah untuk melanggengkan kekerasan
terhadap wartawan dan pembungkaman kebebasan pers.
Penyelesaian
permasalahan tentang pers tak selalu diselesaikan dengan cara-cara pers seperti
yang tertera dalam UU Pers no 40 tahun 1999. Pemerintah malah membuat Rancangan
Undang-Undang KUHP (RKUHP) yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan. Seperti
yang tertulis dalam pasal 285 (draf RKUHP 5 Februari 2018): "setiap orang
yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan atau menyebarluaskan
melalui sarana teknologi informasi yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan
dalam masyarakat, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita atau
pemberitahuan tersebut adalah bohong, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II." Ada
frasa “mengakibatkan keonaran” dan “patut diduga” yang penafsirannya tidak
jelas, alias “karet”.
Pemerintah malah membuat
pasal-pasal karet, padahal UU Pers sudah ada dan termasuk aturan yang spesifik
(lex specialis). Kalau wartawan yang menulis berita untuk kritik atau
kontrol sosial itu gampang dipenjarakan, tentu pihak-pihak yang harusnya
bertanggungjawab atas suatu permasalahan memilih menggunakan KUHP, bukannya
menggunakan cara cara pers (melapor ke dewan pers, menggunakan hak koreksi, hak
jawab). Seperti yang terjadi pada mantan Pemimpin Redaksi serat.id, Zakki Amali
yang dikriminalisasi karena menulis dugaan plagiat Rektor Unnes Fathur Rokhman.
Selain RKUHP, ada
karya pemerintah untuk mengkriminalisasi wartawan, yaitu UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Southeast Asia Freedom of Expression Network
(SAFEnet) memantau ada 19 kasus pemidanaan terhadap wartawan dan media
menggunakan UU ITE, sejak 2015 sampai 2018. Memang, pemerintah begitu hebat dalam
menciptakan karya pasal karet yang mencemaskan dan undang-undang yang beraoma
kekerasan.
Ada kehebatan lain
dari pemeritah yang perlu kita ketahui, yaitu upaya mempersulit akses wartawan
untuk mendapatkan informasi. Pemerintah menggunakan mekanisme clearing house
untuk menyaring permohonan izin wartawan asing yang hendak meliput kondisi di
Papua. Wartawan asing sangat dipersulit dengan mekanisme yang berlibet ini
karena melibatkan 18 unit kerja dari 12 Kementerian yang berbeda. Walupun izinnya
nanti sudah terbit, kerja wartawan asing juga akan selalu diawasi serta
dilarang menulis isu hak asasi manusia dan politik. Cara ini seakan menjadi
pelengkap untuk menghadang kritik wartwan dari dalam maupun luar negeri.
Sebenarnya bukan
wartawan dari dalam maupun luar negeri saja yang dibungkam. Ada wartawan lain
yang sudah lama dibungkam dan disingkirkan dari arena politik nasional, mereka
adalah wartawan kampus atau akrab disebut pers mahasiswa. Menurut buku Melawan dari Dalam “Pers Mahasiswa
Malang Pasca-Reformasi”
karya Elyvia Inayah, pemerintah mengontrol arah gerakan pers mahasiswa dengan kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Sesuai
Menpen No.01/Per/Menpen/1975, pers mahasiswa harus tunduk dengan beberapa
ketentuan seperti mengkhususkan pemberitaan, pembahasan dan pengolahan berbagai
hal khususnya yang menyangkut pembangunan nasional. Selain itu, penyajian tidak
memuat pemberitaan, pembahasan atau penonjolan materi yang bersifat politik
praktis. Akbibatnya, seluruh gerakan pers mahasiswa terlokalisasi ke dalam
kampus. Pers mahasiswa dicegah mengurusi masalah politik nasional.
Walaupun sudah disingkirkan dari arena politik nasional,
pers mahasiswa terus mendapatkan kekerasan yang mirip dengan yang dirasakan
oleh wartawan dari media umum. Ada kekerasan yang mirip seperti pemukulan,
penghapusan foto/video/dokumentasi liputan, intimidasi, dan larangan liputan.
Kekerasan-kekerasan itu bisa dilakukan oleh siapapun, entah itu birokrat
kampus, mahasiswa, organisasi masyarakat, aparat keamanan, pokoknya siapapun
yang tidak menyukai pemberitaan pers mahasiswa.
Tanggal 12 April 2018 kemarin ada pemukulan aparat polisikepada Muhammad Iqbal, anggota LPM Suaka UIN Bandung, ketika meliput aksi warga
Tamansari menolak pembangunan rumah deret. Lalu tanggal 3 Mei 2019 ada
penculikan kepada Ahmad Kevin, anggota LPM Siar Universitas negeri Malang.
Penculikan itu dilakukan oleh oknum polisi karena menduga Kevin terlibat dalam
gerakan Anarko Sindikalis ketika Aksi Mayday di Malang. Dugaan polisi tak
terbukti karena ternyata kevin termasuk orang yang ikut membersihkan coretan
vandal di situs cagar budaya.
Ada juga kekerasan yang khas pada pers mahasiswa –yang hanya
bisa dilakukan oleh birokrat kampus– seperti penyensoran berita, pemberedelan berita,
pembekuan dana, sampai pembubaran Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Pada tahun 2019
ini ada dua kasus besar yang menimpa LPM. Pertama ada LPM Suara USU yang
seluruh anggotanya dipecat oleh Rektor karena menerbitkan cerpen. Runtung
Sitepu selaku Rektor Universitas Sumatera Utara menilai cerpen yang ditulis
oleh Yael Stefany mengandung unsur pornografi dan mengkampanyekan LGBT. Kuasa
Rektor menjadi dasar untuk segera memecat seluruh anggota LPM Suara USU lalu
menggantinya dengan anggota baru yang lebih taat.
Kasus yang kedua lebih besar skala objeknya, yaitu kasus
pembekuan delapan Organisasi Mahasiswa (Ormawa), termasuk LPM Perska, di
Politeknik Pertanian Negeri Pangkep (PPNP). Mirip dengan kasus LPM Suara USU, pembekuan
delapan Ormawa di PPNP dikarenakan mereka tidak menuruti kuasa Direktur ketika
memberlakukan peraturan tentang syarat-syarat anggota Ormawa. Delapan Ormawa
ini menolak peraturan itu karena mereka menganggap ada upaya birokrat kampus
untuk membungkaman mahasiswa yang kritis. Apalagi salah satu syarat-syarat
pengurus Ormawanya adalah “Tidak
sedang atau telah melakukan perbuatan yang dikenai sanksi menurut peraturan
yang berlaku di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep”. Adanya syarat ini tentu
akan menyingkirkan mahasiswa yang kritis di Ormawa. Tak ada penafsiran yang
jelas terkait kata “sanksi”, entah sanksinya ringan, sedang, atau berat,
mahasiswa yang kena sanksi ya tidak bisa menjadi pengurus Ormawa.
Selain itu, alasan delapan Ormawa menolak peraturan ini
karena proses perumusannya yang tidak demokratis serta tidak sesuai prosedur.
Tidak demokratis karena tidak melibatkan mahasiswa dalam merumuskan
peraturannya dan tidak sesuai prosedur karena yang harusnya mengatur syarat
anggota Ormawa adalah Ormawa itu sendiri. Harusnya kampus tak punya hak untuk
mengatur-ngatur syarat anggota Ormawa. Kasus LPM Suara USU dan Ormawa PPNP ini
menjadi catatan besar pembungkaman kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang
dilakukan kampus kepada mahasiswa.
Poin yang perlu kita cermati di sini yaitu pembungkaman
kebebasan pers maupun kebebasan berekspresi bisa terjadi di manapun, termasuk
di dalam lingkungan pendidikan. Kuasa kampus dalam membungkam kebebasan
berekspresi mahasiswa dilanggengkan dengan peraturan yang beraroma sama dengan
RKUHP maupun UU ITE. Peraturan kode etik misal, bahwa mahasiswa itu dilarang
mencemarkan nama baik kampus. Sering kali peraturan inilah yang digunakan untuk
menyingkirkan semua mahasiswa yang kritis. Sanksi yang diberikan dari peraturan
kampus bisa berupa skorsing atau Drop Out.
Posisi pers mahasiswa dan mahasiswa pada umumnya menjadi
serba tertekan. Selain menghadapi pembungkaman dari peraturan kampus mereka
juga menghadapi pembungkaman dari peraturan negara. Kalau wartawan media umum
punya potensi untuk dikriminalisasi/dipenjarakan dengan peraturan negara,
berarti pers mahasiswa juga tak luput menjadi sasarannya juga kan?
Gerakan Bersama Melawan Pembungkaman Kebebasan Pers
Maka dari itu perlu adanya sebuah gerakan berasama antara
wartawan media umum, pers mahasiswa dan organisasi maupun individu yang
memiliki semangat melawan pembungkaman kebebasan pers serta kebebasan
berekspresi. Uapaya melawan pembungkaman ini sebenarnya sudah dilakukan dengan
baik oleh AJI. Mereka memiliki divisi Advokasi yang aktif mengawal setiap kasus
kekerasan terhadap wartawan. Mulai dari membuat Modul Perlindungan Jurnalis,
Pelaporan Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis, kajian/buku tentang pers danjurnalisme, sampai pengawalan kasus dalam agenda advokasi litigasi maupun
non-litigasi.
Pada 5 April 2019, terbentuklah Komite Keselamatan Jurnalis(KKJ). Beberapa organisasi yang tergabung dalam KKJ adalah AJI,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Safenet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
(IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber
Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesti
International Indonesia, Serikat Pekerja Media serta Industri Kreatif untuk
Demokrasi (SINDIKASI).
KKJ dibentuk untuk
menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis. Seperti berita yang dilansir olehAJI, pada 9 Juli 2019 kemarin KKJ telah mengadakan rapat dengar pendapat dengan
Komnas HAM. KKJ meminta Komnas HAM ikut mengingatkan pemilik media untuk
menambah pengetahuan jurnalis saat meliput konflik, terkait kerusuhan
21-22 Mei 2019 yang lalu.
Langkah awal ini
perlu ditindaklanjuti dengan dukungan seluruh organisasi maupun individu yang memiliki semangat melawan
pembungkaman kebebasan pers serta kebebasan berekspresi. Mengapa? Karena ketika
ingin melawan pembungkaman kebebasan pers maupun kebebasan berekspresi, tak
cukup hanya dengan menyasar pemerintah (dalam hal ini Komnas HAM) supaya mengingatkan
pemilik media untuk menambah pengetahuan jurnalis saat meliput konflik. Selain
pemerintah, kita juga perlu menyasar media dan masyarakat.
Selama menjadi anggota
Badan Pekerja Advokasi Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI),
saya mendapatkan pengalaman advokasi kasus represi terhadap pers mahasiswa.
Kemudian saya berpikir kalau pers mahasiswa bisa berkerjasama dengan KKJ untuk melawan
pembungkaman kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Pengalaman mengawal
kasus LPM Suara USU dan Ormawa PPNP misalnya, membuat saya memikirkan konsep
gerakan bersama ini.
Seperti yang
sebelumnya saya sebutkan bahwa ada pihak-pihak yang perlu disasar dalam gerakan
bersama ini, ada pemerintah, media dan masyarakat. Pihak pemerintah tentu harus
disasar karena mereka yang mempunyai kuasa untuk membuat peraturan-peraturan
yang bisa mengkriminlisasi wartawan. Maka dari itu kita perlu menekan
pemerintah untuk mewujudkan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dengan
merevisi peraturan karet dan peraturan-peraturan lain yang berpotensi
mengkriminalisasi wartawan.
Selain itu, tentu
kita perlu menekan pemerintah supaya membuka akses liputan untuk seluruh media
nasional maupun media internasional. Tekanan kepada pemerintah ini penting,
bukan hanya untuk melindungi wartawan dari kekerasan, tapi ada juga masyarakat
yang harus dilindungi dari peraturan-peraturan pemerintah yang represif. Akses
liputan untuk wartawan juga perlu supaya masyarakat bisa mendapatkan ha katas
informasi yang memiliki nilai kepentingan publik. Lebih dari itu, kita bisa
menggalang solidaritas kepada masyarakat luas ketika isu kekerasan atau
pelanggaran HAM menjadi isu nasional, bahkan internasional.
Media dan wartawan
itu sendiri juga perlu disasar karena selain berpotensi untuk dikriminalisasi,
media dan wartawan juga berpotensi untuk mendiskriminasi suatu kelompok atau
individu. Liputan tentang isu HAM, Papua, perampasan ruang hidup, kelompok
minoritas agama atau kekerasan seksual tak jarang malah meminggirkan mereka
yang harusnya disuarakan. Maka dari itu selain membekali wartawan dengan
meliput di wilayah konflik, wartawan perlu dibekali juga kajian jurnalisme
seperti elemen-elemen jurnalisme (Bill Kovach & Tom Rosenstiel),
analisis wacana dan lain sebagainya. Mungkin kajian jurnalisme ini bisa
ditambahkan dalam kriteria untuk sertifikasi wartawan yang dibuat oleh Dewan
Pers.
Sasaran yang
berikutnya adalah masyarakat. Menurut saya ada dua segmen masyarakat yang perlu
disasar dengan cara yang berbeda, yaitu masyarakat sebagai pelaku kekerasan dan
masyarakat sebagai korban kekerasan. Dua segmen masyarakat ini memiliki satu
kondisi yang sama ketika terjadi kasus kekerasan atau pelanggaran HAM, yakni
mereka kurang memahami cara-cara penyelesaian permasalahan menggunakan
cara-cara pers. Misal ketika ada pers mahasiswa yang mengkritik kebijakan
kampus, tak jarang kampus malah melakukan tindakan kekerasan seperti
penyensoran, pemberedelan atau pembubaran lembaga. Padahal ada cara-cara pers
yang bisa digunakan seperti hak koreksi maupun hak jawab. Sementara pers
mahasiswa juga kadang bingung, tak memahami cara menghadapi tekanan dari
kampus, bukannya memberi penawaran solusi dengan cara-cara pers, mereka malah
melakukan aksi dan perlawanan-perlawanan yang radikal. Memang di satu sisi
penting untuk melakukan advokasi di jalur litigasi seperti aksi, namun cara
paling efektif tetaplah di jalur litigasi karena dampaknya yang dihasilkan
lebih signifikan.
Tidak hanya pers
mahasiswa saja, masyarakat sebagai korban kekerasan –terutama kelompok
minoritas– kadang juga tak memahami cara menghadapi tekanan dan diskriminasi
dari kelompok mayoritas. Maka dari itu perlu adanya upaya pelestarian literasi jurnalisme
kepada seluruh segmen masyarakat. Kepada segmen masyarakat sebagai pelaku
kekerasan –terutama TNI dan Polri– perlu diajak terus untuk menjaga iklim
demokrasi dengan menjalankan penyelesaian masalah melalui cara-cara pers.
Apalagi Dewan Pers telah membuat nota kesepahaman dengan TNI dan Polri untuk
Perlindungan Kemerdekaan Pers. Lalu segmen masyarakat sebagai korban perlu
ditingkatkan kesadaran akan literasi jurnalisme dengan cara membuat sosialisasi
maupun pelatihan tentang UU Pers, Kode
Etik, Hak Koreksi, Hak Jawab dan lain sebagainya. Agenda ini sesuai dengan
edaran Dewan Pers kepada Media Cetak, Media Elektronik, Media Siber tentang “KampanyeHak Jawab Melalui Media Massa”.
Melalui serangkaian
agenda dari gerakan bersama ini, harapannya tentu kita bisa melawan segala
upaya pembungkaman serta mewujudkan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Selain itu agenda gerakan bersama ini harapannya juga bisa meningkatkan kualitas literasi, pendidikan, dan demokrasi di
Indonesia.
Komentar
Posting Komentar