Langsung ke konten utama

Memungkinkan Gerakan Bersama Melawan Pembungkaman Kebebasan Pers

World Pers Freedom Day, Malang 3 Mei 2019

Melihat kekerasan terhadap wartawan dari tahun ke tahun begitu mencemaskan. Aliansi JurnalisIndependen (AJI) mencatat ada 81 kasus di tahun 2016, 66 kasus di tahun 2017, 64 kasus di tahun 2018. Entah berapa nanti jumlah kasus di tahun 2019, yang pasti selama januari sampai juni 2019, AJI mencatat ada 10 kasus kekerasan terhadap wartawan. Tentu kecemasan ini tidak dilihat dari jumlah kasusnya yang menurun, tapi dari tiadanya upaya yang konkrit dari pemerintah untuk mencegah dan menyelesaikan kasus kekerasan terhadap wartawan.

Presiden kita hanya rutin mengikuti acara perayaan Hari Pers Nasional versi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sambil melupakan janji-janjinya untuk memperbaiki kondisi pers di Indonesia. Jokowi mengingkari janjinya untuk menata kembali kepemilikan frekuensi penyiaran supaya ada monopoli segelintir orang atau kartel industri penyiaran. Selain itu ada janji keterbukaan informasi publik dan komunikasi publik yang diingkari. Hebatnya, Jokowi mendapat medali kebebasan pers di acara itu.

Kita perlu memahami bahwa kilauan medali kebebasan pers sama sekali tidak menyinari kecemasan wartawan serta masyarakat dari ancaman kekerasan maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Kilauan medali itu malah menutupi fakta tentang buruknya kebebasan pers di Indonesia. Ada persoalan kebebasan pers yang coba ditutupi pemerintah dari citra yang mereka bangun.

Beberapa fakta yang coba ditutupi pemerintah adalah peringkat kebebasan Indonesia menurut ReportersWithout Borders, LSM yang fokus pada isu kebebasan pers, berada pada urutan 124 dari 180 negara. Reporters Without Borders menggunakan tujuh kriteria dalam mengukur kebebasan pers pada suatu negara. Tujuh kriteria itu adalah keberagaman opini yang direpresentasikan media, independensi media, lingkungan dan swa-sensor media, perundang-undangan media, transparansi institusi media, dan kekerasan terhadap media. Setidaknya, kita bisa mempertanyakan citra yang dibangun pemerintah dengan kriteria-kriteria ini.

Kekerasan Wartawan: dari Pers Umum sampai Pers Mahasiswa
Sembari mempertanyakan citra pemerintah, kita perlu memperjelas upaya pemerintah yang tidak konkrit dalam mencegah maupun menyelesaikan kasus kekesarasan pada wartawan. Mungkin bahasa yang tepat adalah upaya pemerintah untuk melanggengkan kekerasan terhadap wartawan dan pembungkaman kebebasan pers.

Penyelesaian permasalahan tentang pers tak selalu diselesaikan dengan cara-cara pers seperti yang tertera dalam UU Pers no 40 tahun 1999. Pemerintah malah membuat Rancangan Undang-Undang KUHP (RKUHP) yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan. Seperti yang tertulis dalam pasal 285 (draf RKUHP 5 Februari 2018): "setiap orang yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II." Ada frasa “mengakibatkan keonaran” dan “patut diduga” yang penafsirannya tidak jelas, alias “karet”.

Pemerintah malah membuat pasal-pasal karet, padahal UU Pers sudah ada dan termasuk aturan yang spesifik (lex specialis). Kalau wartawan yang menulis berita untuk kritik atau kontrol sosial itu gampang dipenjarakan, tentu pihak-pihak yang harusnya bertanggungjawab atas suatu permasalahan memilih menggunakan KUHP, bukannya menggunakan cara cara pers (melapor ke dewan pers, menggunakan hak koreksi, hak jawab). Seperti yang terjadi pada mantan Pemimpin Redaksi serat.id, Zakki Amali yang dikriminalisasi karena menulis dugaan plagiat Rektor Unnes Fathur Rokhman.

Selain RKUHP, ada karya pemerintah untuk mengkriminalisasi wartawan, yaitu UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) memantau ada 19 kasus pemidanaan terhadap wartawan dan media menggunakan UU ITE, sejak 2015 sampai 2018. Memang, pemerintah begitu hebat dalam menciptakan karya pasal karet yang mencemaskan dan undang-undang yang beraoma kekerasan.

Ada kehebatan lain dari pemeritah yang perlu kita ketahui, yaitu upaya mempersulit akses wartawan untuk mendapatkan informasi. Pemerintah menggunakan mekanisme clearing house untuk menyaring permohonan izin wartawan asing yang hendak meliput kondisi di Papua. Wartawan asing sangat dipersulit dengan mekanisme yang berlibet ini karena melibatkan 18 unit kerja dari 12 Kementerian yang berbeda. Walupun izinnya nanti sudah terbit, kerja wartawan asing juga akan selalu diawasi serta dilarang menulis isu hak asasi manusia dan politik. Cara ini seakan menjadi pelengkap untuk menghadang kritik wartwan dari dalam maupun luar negeri.

Sebenarnya bukan wartawan dari dalam maupun luar negeri saja yang dibungkam. Ada wartawan lain yang sudah lama dibungkam dan disingkirkan dari arena politik nasional, mereka adalah wartawan kampus atau akrab disebut pers mahasiswa. Menurut buku Melawan dari Dalam “Pers Mahasiswa Malang Pasca-Reformasi” karya Elyvia Inayah, pemerintah mengontrol arah gerakan pers mahasiswa dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Sesuai Menpen No.01/Per/Menpen/1975, pers mahasiswa harus tunduk dengan beberapa ketentuan seperti mengkhususkan pemberitaan, pembahasan dan pengolahan berbagai hal khususnya yang menyangkut pembangunan nasional. Selain itu, penyajian tidak memuat pemberitaan, pembahasan atau penonjolan materi yang bersifat politik praktis. Akbibatnya, seluruh gerakan pers mahasiswa terlokalisasi ke dalam kampus. Pers mahasiswa dicegah mengurusi masalah politik nasional.

Walaupun sudah disingkirkan dari arena politik nasional, pers mahasiswa terus mendapatkan kekerasan yang mirip dengan yang dirasakan oleh wartawan dari media umum. Ada kekerasan yang mirip seperti pemukulan, penghapusan foto/video/dokumentasi liputan, intimidasi, dan larangan liputan. Kekerasan-kekerasan itu bisa dilakukan oleh siapapun, entah itu birokrat kampus, mahasiswa, organisasi masyarakat, aparat keamanan, pokoknya siapapun yang tidak menyukai pemberitaan pers mahasiswa.

Tanggal 12 April 2018 kemarin ada pemukulan aparat polisikepada Muhammad Iqbal, anggota LPM Suaka UIN Bandung, ketika meliput aksi warga Tamansari menolak pembangunan rumah deret. Lalu tanggal 3 Mei 2019 ada penculikan kepada Ahmad Kevin, anggota LPM Siar Universitas negeri Malang. Penculikan itu dilakukan oleh oknum polisi karena menduga Kevin terlibat dalam gerakan Anarko Sindikalis ketika Aksi Mayday di Malang. Dugaan polisi tak terbukti karena ternyata kevin termasuk orang yang ikut membersihkan coretan vandal di situs cagar budaya.

Ada juga kekerasan yang khas pada pers mahasiswa –yang hanya bisa dilakukan oleh birokrat kampus–  seperti penyensoran berita, pemberedelan berita, pembekuan dana, sampai pembubaran Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Pada tahun 2019 ini ada dua kasus besar yang menimpa LPM. Pertama ada LPM Suara USU yang seluruh anggotanya dipecat oleh Rektor karena menerbitkan cerpen. Runtung Sitepu selaku Rektor Universitas Sumatera Utara menilai cerpen yang ditulis oleh Yael Stefany mengandung unsur pornografi dan mengkampanyekan LGBT. Kuasa Rektor menjadi dasar untuk segera memecat seluruh anggota LPM Suara USU lalu menggantinya dengan anggota baru yang lebih taat.

Kasus yang kedua lebih besar skala objeknya, yaitu kasus pembekuan delapan Organisasi Mahasiswa (Ormawa), termasuk LPM Perska, di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep (PPNP). Mirip dengan kasus LPM Suara USU, pembekuan delapan Ormawa di PPNP dikarenakan mereka tidak menuruti kuasa Direktur ketika memberlakukan peraturan tentang syarat-syarat anggota Ormawa. Delapan Ormawa ini menolak peraturan itu karena mereka menganggap ada upaya birokrat kampus untuk membungkaman mahasiswa yang kritis. Apalagi salah satu syarat-syarat pengurus Ormawanya adalah “Tidak sedang atau telah melakukan perbuatan yang dikenai sanksi menurut peraturan yang berlaku di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep”. Adanya syarat ini tentu akan menyingkirkan mahasiswa yang kritis di Ormawa. Tak ada penafsiran yang jelas terkait kata “sanksi”, entah sanksinya ringan, sedang, atau berat, mahasiswa yang kena sanksi ya tidak bisa menjadi pengurus Ormawa.

Selain itu, alasan delapan Ormawa menolak peraturan ini karena proses perumusannya yang tidak demokratis serta tidak sesuai prosedur. Tidak demokratis karena tidak melibatkan mahasiswa dalam merumuskan peraturannya dan tidak sesuai prosedur karena yang harusnya mengatur syarat anggota Ormawa adalah Ormawa itu sendiri. Harusnya kampus tak punya hak untuk mengatur-ngatur syarat anggota Ormawa. Kasus LPM Suara USU dan Ormawa PPNP ini menjadi catatan besar pembungkaman kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang dilakukan kampus kepada mahasiswa.

Poin yang perlu kita cermati di sini yaitu pembungkaman kebebasan pers maupun kebebasan berekspresi bisa terjadi di manapun, termasuk di dalam lingkungan pendidikan. Kuasa kampus dalam membungkam kebebasan berekspresi mahasiswa dilanggengkan dengan peraturan yang beraroma sama dengan RKUHP maupun UU ITE. Peraturan kode etik misal, bahwa mahasiswa itu dilarang mencemarkan nama baik kampus. Sering kali peraturan inilah yang digunakan untuk menyingkirkan semua mahasiswa yang kritis. Sanksi yang diberikan dari peraturan kampus bisa berupa skorsing atau Drop Out.

Posisi pers mahasiswa dan mahasiswa pada umumnya menjadi serba tertekan. Selain menghadapi pembungkaman dari peraturan kampus mereka juga menghadapi pembungkaman dari peraturan negara. Kalau wartawan media umum punya potensi untuk dikriminalisasi/dipenjarakan dengan peraturan negara, berarti pers mahasiswa juga tak luput menjadi sasarannya juga kan?

Gerakan Bersama Melawan Pembungkaman Kebebasan Pers
Maka dari itu perlu adanya sebuah gerakan berasama antara wartawan media umum, pers mahasiswa dan organisasi maupun individu yang memiliki semangat melawan pembungkaman kebebasan pers serta kebebasan berekspresi. Uapaya melawan pembungkaman ini sebenarnya sudah dilakukan dengan baik oleh AJI. Mereka memiliki divisi Advokasi yang aktif mengawal setiap kasus kekerasan terhadap wartawan. Mulai dari membuat Modul Perlindungan Jurnalis, Pelaporan Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis, kajian/buku tentang pers danjurnalisme, sampai pengawalan kasus dalam agenda advokasi litigasi maupun non-litigasi.

Pada 5 April 2019, terbentuklah Komite Keselamatan Jurnalis(KKJ). Beberapa organisasi yang tergabung dalam KKJ adalah AJI, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Safenet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesti International Indonesia, Serikat Pekerja Media serta Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).

KKJ dibentuk untuk menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis. Seperti berita yang dilansir olehAJI, pada 9 Juli 2019 kemarin KKJ telah mengadakan rapat dengar pendapat dengan Komnas HAM. KKJ meminta Komnas HAM ikut mengingatkan pemilik media untuk menambah pengetahuan jurnalis saat meliput konflik, terkait kerusuhan 21-22 Mei 2019 yang lalu.

Langkah awal ini perlu ditindaklanjuti dengan dukungan seluruh organisasi maupun individu yang memiliki semangat melawan pembungkaman kebebasan pers serta kebebasan berekspresi. Mengapa? Karena ketika ingin melawan pembungkaman kebebasan pers maupun kebebasan berekspresi, tak cukup hanya dengan menyasar pemerintah (dalam hal ini Komnas HAM) supaya mengingatkan pemilik media untuk menambah pengetahuan jurnalis saat meliput konflik. Selain pemerintah, kita juga perlu menyasar media dan masyarakat.

Selama menjadi anggota Badan Pekerja Advokasi Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), saya mendapatkan pengalaman advokasi kasus represi terhadap pers mahasiswa. Kemudian saya berpikir kalau pers mahasiswa bisa berkerjasama dengan KKJ untuk melawan pembungkaman kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Pengalaman mengawal kasus LPM Suara USU dan Ormawa PPNP misalnya, membuat saya memikirkan konsep gerakan bersama ini.

Seperti yang sebelumnya saya sebutkan bahwa ada pihak-pihak yang perlu disasar dalam gerakan bersama ini, ada pemerintah, media dan masyarakat. Pihak pemerintah tentu harus disasar karena mereka yang mempunyai kuasa untuk membuat peraturan-peraturan yang bisa mengkriminlisasi wartawan. Maka dari itu kita perlu menekan pemerintah untuk mewujudkan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dengan merevisi peraturan karet dan peraturan-peraturan lain yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan.

Selain itu, tentu kita perlu menekan pemerintah supaya membuka akses liputan untuk seluruh media nasional maupun media internasional. Tekanan kepada pemerintah ini penting, bukan hanya untuk melindungi wartawan dari kekerasan, tapi ada juga masyarakat yang harus dilindungi dari peraturan-peraturan pemerintah yang represif. Akses liputan untuk wartawan juga perlu supaya masyarakat bisa mendapatkan ha katas informasi yang memiliki nilai kepentingan publik. Lebih dari itu, kita bisa menggalang solidaritas kepada masyarakat luas ketika isu kekerasan atau pelanggaran HAM menjadi isu nasional, bahkan internasional.

Media dan wartawan itu sendiri juga perlu disasar karena selain berpotensi untuk dikriminalisasi, media dan wartawan juga berpotensi untuk mendiskriminasi suatu kelompok atau individu. Liputan tentang isu HAM, Papua, perampasan ruang hidup, kelompok minoritas agama atau kekerasan seksual tak jarang malah meminggirkan mereka yang harusnya disuarakan. Maka dari itu selain membekali wartawan dengan meliput di wilayah konflik, wartawan perlu dibekali juga kajian jurnalisme seperti elemen-elemen jurnalisme (Bill Kovach & Tom Rosenstiel), analisis wacana dan lain sebagainya. Mungkin kajian jurnalisme ini bisa ditambahkan dalam kriteria untuk sertifikasi wartawan yang dibuat oleh Dewan Pers.

Sasaran yang berikutnya adalah masyarakat. Menurut saya ada dua segmen masyarakat yang perlu disasar dengan cara yang berbeda, yaitu masyarakat sebagai pelaku kekerasan dan masyarakat sebagai korban kekerasan. Dua segmen masyarakat ini memiliki satu kondisi yang sama ketika terjadi kasus kekerasan atau pelanggaran HAM, yakni mereka kurang memahami cara-cara penyelesaian permasalahan menggunakan cara-cara pers. Misal ketika ada pers mahasiswa yang mengkritik kebijakan kampus, tak jarang kampus malah melakukan tindakan kekerasan seperti penyensoran, pemberedelan atau pembubaran lembaga. Padahal ada cara-cara pers yang bisa digunakan seperti hak koreksi maupun hak jawab. Sementara pers mahasiswa juga kadang bingung, tak memahami cara menghadapi tekanan dari kampus, bukannya memberi penawaran solusi dengan cara-cara pers, mereka malah melakukan aksi dan perlawanan-perlawanan yang radikal. Memang di satu sisi penting untuk melakukan advokasi di jalur litigasi seperti aksi, namun cara paling efektif tetaplah di jalur litigasi karena dampaknya yang dihasilkan lebih signifikan.

Tidak hanya pers mahasiswa saja, masyarakat sebagai korban kekerasan –terutama kelompok minoritas– kadang juga tak memahami cara menghadapi tekanan dan diskriminasi dari kelompok mayoritas. Maka dari itu perlu adanya upaya pelestarian literasi jurnalisme kepada seluruh segmen masyarakat. Kepada segmen masyarakat sebagai pelaku kekerasan –terutama TNI dan Polri– perlu diajak terus untuk menjaga iklim demokrasi dengan menjalankan penyelesaian masalah melalui cara-cara pers. Apalagi Dewan Pers telah membuat nota kesepahaman dengan TNI dan Polri untuk Perlindungan Kemerdekaan Pers. Lalu segmen masyarakat sebagai korban perlu ditingkatkan kesadaran akan literasi jurnalisme dengan cara membuat sosialisasi maupun pelatihan  tentang UU Pers, Kode Etik, Hak Koreksi, Hak Jawab dan lain sebagainya. Agenda ini sesuai dengan edaran Dewan Pers kepada Media Cetak, Media Elektronik, Media Siber tentang “KampanyeHak Jawab Melalui Media Massa”.

Melalui serangkaian agenda dari gerakan bersama ini, harapannya tentu kita bisa melawan segala upaya pembungkaman serta mewujudkan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Selain itu agenda gerakan bersama ini harapannya juga bisa meningkatkan kualitas literasi, pendidikan, dan demokrasi di Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .