Langsung ke konten utama

Cerita Lain Ibu Pedagang



Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.


Ada yang berubah kata orang-orang, alun-alun itu sedang dalam pembangunan, memang terlihat seperti itu. Beberapa orang terlihat sibuk, seperti sedang menyelesaikan jalan dan pinggir jalan di sore harinya. Malam itu jam 10 sepertinya, beberapa orang di sore itu sudah pergi, beberapa tidur di pinggir jalan, di bawah pohon. Tapi aku agak tertarik dengan mereka yang duduk di pinngir alun-alun untuk berjualan. Kebanyakan dari mereka menjual kopi dan rokok.

Aku pun menghampiri seorang pedagang, ia duduk di bawah tiang berwarna hijau, dia Cuma membawa sebuah kotak berisi kopi, gelas, dan lainnya, ia juga membawa termos tentu. Tubuhnya kurus, pendek, dan terlihat kecil, apalagi ia duduk dengan posisi jongkok. Lalu aku pesan satu kopi.

Jujur saja, aku tidak ingat semua pembicaraanku dengannya malam itu. Terlalu banyak hal yang dibicarakan, dari kebijakan pemerintah sampai ke filosofi kehidupannya. Mungkin aku juga tak terlalu ingin menceritakannya. Bukan karena malas, hanya saja cerita itu begitu disayangkan kalau aku tidak menceritakan serinci-rincinya. Salahku juga tak merekam semua pembicaraan itu. Ahh, tapi ini alasan saja untuk menutupi kenyataan kalau daya ingatku melemah.

Akhirnya aku tulis di dalam sebuah puisi. Kenapa ya? Mungkin supaya bisa lebih bermakna, puisi kan seperti itu, pendek, dan singkat. Cocok sekali dengan lemahnya daya ingatku.
Dan kalau mau tahu, puisinya seperti ini,

Ibu Pedagang

Aku hinggap di tempat yang pengap
Dimana malam begitu indah dengan lampu-lampu
Dan ramai orang-orang berfoto, bersenang-senang
Tapi para pedagang jalanan ketakutan
Matanya tajam memperhatikan semua orang yang lewat
Pembeli kah? Teman kah? Pamong praja kah?

Aku bernafas bersama rokok kretek
Dimana malam hampir sampai ke pagi
Pedagang itu berjalan sambil menenteng dagangannya
Pulang ke rumah, untuk istirahat
Ketakutan, kecapekan, senyuman, dan setiap hari

Aku ingat sedikit pembicaraanku dengan Ibu pedagang
Katanya, ia sering dikejar pamong praja
Katanya, ia didatangi mahasiswa untuk bantu mengerjakan ujian
Katanya, disalahkan karena berdagang di tempat terlarang itu, oleh mahasiswa juga
Katanya, ia sedang menyembunyikan kankerrahim stadium empatnya, dengan senyuman
......
Aku tak ingin melanjutkan puisiku. Lagi-lagi bukan karena malas, dan bukan juga supaya terlihat tidak malas. Hanya saja, ada baiknya puisi dibaca bukan di saat seperti ini. Jika ingin membacanya, baca saja di blogku. Terserah menganggapnya promosi. Aku tak begitu mempedulikannya.

Mungkin, aku hanya bisa menceritakan apa yang tak ada di dalam puisi itu.

Ibu Pedagang itu, jalan yang dilewati dari rumah ke alun-alun sangat jauh, bisa sampai satu jam perjalanan, dan ia hanya jalan kaki. Kenapa aku bisa tahu? Karena aku yang memaksa untuk membawakan dagangannya dan mengantarnya pulang, dengan jalan kaki. Walaupun tak sampai rumahnya. Aku berhenti di perempatan jalan. Lalu melihat Ibu pedagang melanjutkan perjalanan, sampai tak terlihat lagi.

Aku masih duduk di seberang perempatan jalan itu agak lama. Dengan keringat yang bercucuran dan tangan yang gemetaran, aku menghisap rokok. Itu adalah rokok terberat yang pernah kuhisap. Bukan kaerena nikotin, tapi karena tanganku yang susah untuk digerakkan. Dan sampai esok harinya, tanganku masih gemetaran.

Banyak sekali pertanyaan yang ingin kuungkapkan, dan beberapa sudah ke Ibu pedagang. Jika dirangkum jadi satu, maka pertanyaannya seperti ini. “Ibu macam apa sebenarnya dia, yang harus menyambung nyawa di dunia yang tak pernah adil ini?”

Lalu ibu itu menanggapiku dengan banyak hal tentunya, sampai-sampai ia harus pulang jam satu malam, karena terus menanggapi pertanyaan orang yang tidak berguna ini. Dan satu kalimat yang masih kuingat adalah “sing sugih tambah sugih, sing miskin tambah merendah”. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin merendah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .