Bermain bersama Jemaat Ahmadiyah Manislor, Kuningan, Jawabarat |
Jemaat
Ahmadiyah Indonesia cabang Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat melaksanakan
kegiatan Live In Manislor selama tiga hari di Masjid An-Nur, Manislor
(12-14/10). Peserta Live In Manislor ini adalah anggota Gerakan
Gusdurian Muda (Garuda) Malang dan Gusdurian Bekasi Raya. Aulia Fauziah,
panitia Live In Manislor mengatakan, tujuan dari kegiatan ini supaya masyarakat
mengetahui Ahmadiyah secara langsung. “Harapannya, orang-orang bisa klarifikasi
terhadap hoaks (informasi palsu) yang tersebar tentang Ahmadiyah,” ujar Aulia.
Ahmad Qomarudin,
peserta dari Garuda Malang mengatakan, waktu kecil ia pernah mendapat informasi
palsu tentang Ahmadiyah. Ia mengetahui informasi itu dari edaran pamflet di
jalan raya Bojonegoro pada interval tahun 2002 sampai 2005. “Di edaran itu, ada
keterangan kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi setelah nabi Muhammad, kemudian
kitab sucinya itu bukan Al-Qur’an, tapi Tadzkirah,” ujar Qomarudin. “Karena
propaganda media cetak waktu itu, secara tidak langsung masyarakat menganggap
Ahmadiyah itu yang menyimpang dan sesat,” tambahnya.
Begitu
juga dengan, Hikmah Santika peserta dari Gusdurian Bekasi Raya, ia mendapatkan
informasi palsu tentang Ahmadiyah. “Waktu di Aliyah, aku dapat buku tentang 40
nabi palsu, dan salah satu dari nabi itu adalah Mirza Guhulam Ahmad,” ujarnya.
Setelah
mengituki Live In Manislor, pandangan Qomarudin dan Santika terhadap Ahmadiiyah
menjadi berubah. Qomarudin mengatakan, “yang saya dapat di Live In sangat
berbeda dengan selebaran pamflet dulu. Ternyata kitab suci Ahmadiyah sama, Al-Quran.”
Cara
ibadahnya, masih menurut Qomarudin, juga sama dengan umat muslim lainnya. “Bedanya,
Ahmadiyah itu percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam Mahdi yang
dijanjikan,” ungkappnya. Santika juga mengetahui informasi yang benar setelah
mengikuti Live In Manislor. Tapi, Santika baru mengetahui dampak buruk bagi
Jemaat Ahmadiyah dengan adanya informasi palsu yang sebelumnya beredar di
masyarakat itu.
Menurut
Nur Halim, ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) cabang Manislor, menjelaskan,
informasi palsu itu bermula dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1980
serta pada 2005 yang menyatakan Ahmadiyah “berada di luar Islam, sesat dan
menyesatkan”. MUI minta pemerintah Indonesia “…melarang penyebaran faham
Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua
tempat kegiatannya.”
Setelah
fatwa MUI itu mucul, lanjut Nur Halim, berberapa Ormas dan masyarakat merusak
dan menyegel sembilan Masjid yang ada di Manislor. Perusakan dan penyegelan
masjid itu dilakukan terus menerus pada tahun 2002 sampai 2010.
Selama
perusakan dan penyegelan itu, muncul Surat Keterangan Bersama (SKB) Tiga
Menteri (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung) No. 3 Tahun 2008.
SKB itu menjelaskan tentang “Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota
dan/atau Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia.” Isinya, memberi peringatan dan
memerintahkan kepada warga Ahmadiyah untuk menghentikan “penyebaran penafsiran
dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.”
“Tidak
hanya penyerangan, Jemaat Ahmadiyah juga dipersulit untuk mendapatkan KTP dan
dipersulit juga untuk melakukan proses nikah,” tutur Nur Halim.
Nur
Halim menambahkan, perusakan dan penyegelan Masjid, dipersuliitnya mendapatkan
KTP dan melakukan proses nikah memang sudah berakhir. Maka dari itu, masih
menurut Nur Halim, Live In Manislor ini diadakan supaya informasi palsu itu
bisa diluruskan dan mencegah terjadinya dampak buruk yang tidak diinginkan.
Selama
kegiatan Live In Manislor, para peserta mendapat pengetahuan tentang sejarah
masuknya Ahmadiyah di Indonesia dan Manislor, keislaman Ahmadiyah, kewafatan
Nabi Isa as, kontinuitas kenabian, serta kebenaran Imam Mahdi as. Para peserta
mendapat pemahaman tentang dasar-dasar akidah ahmadiyah. Mulai dari persamaan
sampai ke perbedaan penafsiran Ahmadiyah dengan penafsiran umat muslim pada
umumnya. Selain itu, para peserta juga mengunjungi rumah-rumah Jemaat Ahmadiyah
di Manislor, untuk mengetahui secara langsung kehidupan sehari-hari mereka.
Peserta
juga mendapatkan pengetahuan tentang sistem organisasi, kaderisasi, pengelolaan
keuangan serta peran Ahmadiyah kepada masyarakat dan bangsa. Maulana Irfan
Maulana, Mubaligh Ahmadiiyah daerah Jawa Barat 10, menjelaskan, Ahmadiyah juga
melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Kerja-kerja kemanusiaan itu seperti donor
darah, donor mata, clean the city (membersihkan sampah di kota ketika
ada acara-acara besar), serta lembaga Humanity First (relawan bencana
alam, pendidikan, dan lain sebagainya).
Menanggapi
pandangan dan tindakan masyarakat kepada Ahmadiyah, Santika mengungkapkan,
seharusnya masyarakat tidak melihat satu sudut pandang saja. “Harusnya kita
saling merangkul, bisa menerima perbedaan sesama umat muslim, dan sesama
manusia” terang Santika.
Setelah
Live In Manislor berakhir, Aulia mempunyai harapan kepada para peserta.
“Harapannya, peserta tidak menerima dan menyimpan pengetahuan ini untuk diri
sendiri, tapi mereka bisa menceritakan ke orang-orang kalau Ahmadiyah itu
seperti ini,” ungkap Aulia. Ahmadiyah, lanjut Aulia, juga menyiarkan keindahan
islam, perdamaian, dan melakkukan kerja kemanusiaan.
Aulia juga
berharap supaya masyarakat tidak termakan informasi palsu, bisa mengklarifikasi
ke Ahmadiyah sendiri. “Ini bukan untuk membai’at, tapi untuk berkenalan, dan
mencari saudara baru,” pungkasnya.
*Ini
adalah tulisan untuk berita kegiatan Live In yang diadakan oleh Ahmadiyah,
rencananya tulisan ini mau terbit di salah satu media cetak. Tapi gak jadi,
karena sudah ada tulisan yang terbit lebih dulu. Saya kalah cepat.
Komentar
Posting Komentar