Langsung ke konten utama

Mau Ikut Kamisan Nggak? Kalau Nggak, Ya Gapapa


Kamis 7 Februari 2019 aku ngajak Riyan aksi kamisan di Malang. “Yan, ikut kamisan gak? Kalau enggak, ya gapapa,” ujarku ke Riyan. “Iya wes, ayo berangkat, berdua aja nih, ayoo. Kita tuntut hak-hak peserta kamisan yang gak kamisan,” Riyan begitu semangat.

Ini aksi kamisan pertama kali di tahun 2019 lhoo. Yang berangkat cuma dua orang, gak perlu pake baju hitam, gak perlu bawa payung hitam, gak pake surat ijin dan gak dibubarin ormas, woow, keren kan?

Latar belakang aku ngajak riyan ini sebenarnya berawal dari dorongan temen-temen ngopi di Omah Diksi. “Eman rek, kamisan lek gak lanjut,” ujar Sofi anak Unmer. Tiba-tiba, aku pengen jadi seorang panjat sosial (Pansos) atau definisi lainnya itu Social Justice Warior (Sejewe). Lalu aku ngajak Dinda dan Kevin untuk melanjutkan aksi kamisan yang gak lanjut ini.

Kami bertiga menemui para pendahulu aksi kamisan malang seperti Sofyan, In’am, Atha dan Hayyik. Para aktivis Kalimetro yang suka baca buku kiri (baca bukunya selalu dari kiri). Aku juga chat whatsapp Mbak Julia, Mas jay, dan Bu Suciwati (Istri Almarhum Cak Munir) soal keinginan kami untuk melanjutkan aksi kamisan di malang.

Setelah melalui proses dialektika yang gak begitu panjang, intinya mereka memberi ijin kepada kami. Tapi karena aku baru dapat contoh surat ijin aksi dari Mas Jay itu hari Kamis jam 01.56 dini hari, ya surat ijinnya gak jadi dikirim ke bapak-bapak polisi deh. Lalu pas jam empat sore aku ajak Riyan aksi kamisan. Eh, kenapa ajak Riyan ya? Kok gak dinda atau kevin? Tau ah, lagi gupuh soalnya, hehe.

Terus, aksi yang dilakukan oleh dua orang ini cuma melakukan selfie di depan Balai Kota Malang. Dengan kertas dan sepidol pinjaman (tanpa ijin) kami nulis “Aksi kamisan Malang”, “Kami masih Ingin Kamisan”, “Hidup Korban”, “Jangan Diam, Lawan”. Serta “Tuntaskan Kasus Talangsari 7 Februari 1989” sesuai dengan tema aksi kamisan di Jakarta, bandung dan mungkin kota-kota lain.

Oiya, dan ini yang pengen aku bagi dengan kalian tentang aksi kamisan.

Intinya, aksi kamisan itu adalah aksi untuk menyuarakan keadilan. Keadilan yang gimana? Ya keadilan untuk menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Seperti kasus kekerasan pasca 65, tragedi trisakti, semanggi '98, tragedi rumpin, dan kasus pelanggaran HAM lainnya. Coba deh baca sejarah.

Peserta aksi kamisan terdiri dari keluarga korban kasus pelanggaran HAM, aktivis, mahasiswa dan masyarakat lainnya. Setiap kamis, mereka berkumpul di depan istana Negara, berpakaian hitam, berpayung hitam, bersuara maupun diam. Sejak 18 januari 2007, awalnya di Jakarta sana.
Berikut ini kutipan dari artikel “Ini Sejarah Lahirnya Aksi kamisan” dari celebesonline.com:

“…Pilihan jatuh hari “Kamis”, adalah hari di mana peserta rapat bisa meluangkan waktu. Depan Istana Presiden menjadi lokasi aksi karena Istana merupakan simbol pusat kekuasaan. Waktu ditentukan pukul 16.00-17.00 (tepat) adalah saat lalu lintas di depan Istana Presiden ramai oleh kendaraan pulang bekerja.
…Payung hitam dipilih sebagai maskot, merupakan simbol perlindungan dan keteguhan iman. Payung merupakan pelindung fisik atas hujan dan terik matahari, dan warna hitam melambangkan keteguhan iman dalam mendambakan kekuatan dan perlindungan illahi…
…bahwa negara sengaja mengabaikan terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM, maka dengan melakukan “Aksi Kamisan” atau yang dikenal juga dengan sebutan “Aksi Payung Hitam” adalah merupakan upaya untuk bertahan dalam memperjuangkan mengungkap kebenaran, mencari keadilan, dan melawan lupa. Di samping itu dengan selalu melayangkan surat terbuka kepada Presiden RI, merupakan pendidikan politik bagi para pemimpin bangsa…
…bahwa korban/keluarga korban pelanggaran HAM adalah warganegara yang tetap mampu berdiri untuk menunjukkan bahwa punya hak sebagai warga di bumi pertiwi Indonesia dan sadar bahwa hak itu tidak gratis bisa didapat, terlebih-lebih ketika pemerintah tidak mau peduli. Diam, juga untuk menunjukkan diri sebagai bukan perusuh, bukan warganegara yang susah diatur, juga bukan warganegara yang membuat bising telinga, tetapi tetap menuntut pemerintah untuk tidak diam…”

Hingga tahun 2019 ini, kasus-kasus pelanggaran HAM terus bertambah. Setahuku ada kekerasan terhadap kelompok minoritas agama, buruh, petani, mahasiswa. Karena itu, beberapa orang melakukan aksi, diskusi, bikin status di medsos, nyari temen yang banyak, untuk bersuara dan bergerak bareng-bareng.

Tapi, aku sedikit gelisah, soalnya masyarakat sekitar kosanku itu seakan-akan tidak mengetahui hal-hal seperti itu. Mereka jarang membahas dan membicarakannya. Ya, mungkin karena bahasannya sensitif ya, bahas kasus, pemerintah, politik dan gitu-gitu. Tapi kayaknya nggak juga sih, kalau menurutku semua itu berkaitan dengan hal yang paling sederhana dan penting, yaitu hidup.

Sederhananya nih, kita punya rumah (punya bapak/ibu/tetangga/pacar/kos temen, terserah lah) kita ini pengen hidup, makan, tidur, ngobrol-ngobrol dengan santai. Lalu, suatu hari yang cerah ada orang-orang berdasi dan aparat garang sok penting yang bongkar rumah kita. Alasannya buat pembangunan ekonomi, kepentingan negara atau karena itu memang kerjaan mereka.

Sesederhana gitu boy. Rumah lu hancur, lu diusir dari tanah lu sendiri, terus sulit cari tempat tidur dan makan. Kita mau nuntut keadilan, tapi dengan cerdasnya aparat dan netizen jahat menuduh kita komunis, ateis, kafir, dan gak tahu berterimakasih. Terus kita diancam dimasukin penjara, pusing gak lu?

Apalagi kalau ada temen atau keluargamu yang diculik, terus kamu cari-cari gak nemu. Kamu tuntut pemerintah, tapi gak dibales tuntutanmu. Kan sedih? Chat pribadi yang gak dibales sama dia aja udah bikin sedih, apalagi pemerintah.

Nih kata-kata mutiaraku: mungkin kamu gak akan pusing atau sedih kalau kamu gak bener-bener mengetahuinya dan merasakannya langsung. Iya, kamuuu. Tinggal kemauanmu aja kok buat mengetahui. Kamu bisa cek medsos aksi kamisan, jogja darurat agraria, taman sari melawan dan lain-lain.

Kita sadar kalau kita punya urursan sendiri-sendiri dan masalah sendiri-sendiri. Dan kita gak mesti sanggup untuk melakukan hal-hal besar untuk perubahan menju keadilan yang lebih baik di Negara ini.  Maka dari itu, kita lakukan saja apa yang sekiranya bisa kita lakukan, kalau bisa bantu ya bantu, kalau bisa mampir ya mampir, kalau bisa ngobrol ya ngobrol. Yang penting kita tidak lupa. Itu adalah cara paling sederhana untuk melawan ketidakadilan.

Kalau mulai jenuh, capek dan bosen, kyaknya kita perlu ngopi bareng, nyanyi bareng. Abis itu bersuara dan bergerak bareng, karena (katanya) kalau sendiri itu berat.

Di akhir aksi, Riyan ngumpat, “anjir, cuma selfi doang terus balik, kirain angkat kertas terus berdiri gitu..”. “Udahlah yan, udah jam lima ini, udah cukup, yang konkrit-konkrit udah direncanain nanti kok”, ujarku ke Riyan. Akhirnya dia mau kuajak pulang dengan aura ketidakterimaan. Hmm, yaudah deh, kamis besok aksi lagi, cuy. Kalau aku gak konkrit, nyinyirin aku dan hujat aku, lur, biar aku sadar.

Nah, abis aksi itu, aku unggah foto aksi tadi beserta captionnya. Yang komen gak banyak, tapi ada beberapa yang mau ikut pansos, eh, kamisan minggu depan. Mas Satria dan Mas Lukman dariu LBH juga mendukung untuk membahas aksi kamisan lebih serius. Mungkin akan kusaampaikan juga opiniku tentang pembubaran aksi kamisan dan tentang mahasiswa papua.

Hayoo…penasaran kan? Tunggu cerita selanjutnya. Tapi yang lebih penting adalah “mari bersolidaritas seikhlasnya. Karena kamisan bukan paksaan dan kamisan untuk kemanusiaan”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .