Langsung ke konten utama

Seseorang yang Cerewet


Awalnya, aku mengenal dia sebagai anak kecil yang dihantui oleh semangat untuk belajar. Aktif, rajin, disiplin, berani bertanya dan ceria (agak cerewet juga). Kemudian setelah berkenalan dan berbagi cerita, aku tahu sedikit alasan belajarnya, kampusng halamannya, dan minatnya.

Satu hal yang paling mengejutkan dan membuatku langsung kagum padanya adalah ketika dia membaca tiga buku (seingatku novel) sampai selesai dalam sehari. Aku merasa kalah, iri, dan tertantang. Sehingga aku dihantui oleh semangat juga untuk menyelesaikan novel setebal 500an halaman dalam sehari. Dan selesai.

Sungguh pengalaman yang tak terlupakan, menghabiskan satu hari hanya untuk membaca. Istirahat 10 menitan ketika capek. Bisa dengan tidur-tiduran, makan, atau beribadah.

Tapi perasaan kagum dan pengalaman itu sedikit terguncang. Ketika pada suatu hari dia mengungkapkan argumen yang profokatif. Dia merasa tidak nyaman dengan kondisi yang dialaminya. Dia merasa tak bisa menulis berita, teman-teman satu organisasinya kurang semangat, tak disiplin wakktu, lalu dia ingin keluar organisasi kepenulisan itu. Aku dan dia ada di organisasi yang sama.

Lalu, semuanya begitu mengejutkan ketika dia menyatakan perasaannya kepadaku. Dia suka padaku. Aku hanya menanggapi perasaannya dengan biasa. Walaupun yang terjadi setelah itu bukanlah hal yang biasa.

Selain membicarakan hal-hal tentang perasaannya dan perasaanku, kita juga membicarakan orang lain yang aku sukai atau yang menyukaiku. Dia juga menceritakan kegelisahannya ketika ditekan untuk menikah.

Tak sekedar bercerita, kami juga sering beradu argumentasi, dari yang sederhana sampai yang rumit dan bikin stress. Dia begitu egois, kata-katanya menyerang habis-habisan perasaan dan kesabaranku. Sehingga aku harus menguras pikiran dan perasaan untuk menanggapi kata-katanya. Hanya untuk itu.

Pada titik ketika kita saling menjelaskan siapa diri kita sendiri, saat itulah semuanya sedikit menjadi jelas. Ternyata kami akan susah untuk saling memahami, ada satu perbedaan mendasar, bukan, mungkin keegoisan masing-masing yang memang tak ingin mengalah. Tak ingin meniru, tunduk, dan mengabaikan satu perbedaan itu.

Dia bilang, dia membenciku, tapi dia juga bilang, dia mencintaiku. Sehingga aku tak bisa menanggapi seluruh kata-kata yang diungkapkannya padaku. Aku hanya mengatakan iya, maaf, iya, maaf. Kadang tidak aku tanggapi. Semua kerumitan itu sebagian besar terjadi di dunia maya. Ketika saling bertemu, kami bersikap biasa saja. Ya, begitulah.

Ketika aku tak bisa menanggapinya, sebenarnya aku hanya ingin mengatakan, “kamu adalah orang paling rumit yang pernah kutemui, rumit dalam pemikiran dan perasaan, tapi aku mengaguminya. Karena semangatmu belum berhenti sampai sekarang”.

Aku hanya ingin mengatakan hal itu, aku hanya katakana dalam tulisan ini saja. Karena aku pasti tidak akan bisa menanggapi lagi ketika dia membalas kata-kataku. Dia benar-benar membuatku terdiam. Mungkin ada kekaguman tersendiri yang tak kurasakan, ketika aku terdiam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .