Wajahnya
masih terlihat riang. Ia menyapaku dengan nada-nada teman yang sudah lama tidak
bertemu. Aku bersama kelima temanku, sudah menunggunya dari tadi sambil duduk
di atas karpet, di lantai lima, Rumah Susun Puspa Agro Jemundo.
Jumat
siang itu, kami berbincang-bincang, ia menanyaiku soal nasib kuliahku dan aku
hanya bisa jawab dengan nada yang tak serius, sambil bercanda juga. Wajahnya
menunjukan ekspresi yang sebal kepadaku.
Mungkin
karena kecewa dengan jawabanku, ia yang kemudian bercerita tentang kisahnya
selama setahun tidak bertemu denganku.
Ia
bercerita tentang bagaimana susahnya membantu adik-adiknya di Rusun untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, bagaimana susahnya ia membagi waktu dengan
menemani orang-orang di Rusun berobat ke Rumah Sakit karena sering terkena
sakit. Dan karena aku membawa teman-teman baru, ia pun juga menceritakan
bagaimana susah-susahnya ketika diusir dari kampung halamannya sampang, Madura.
Namanya
Siti Rohmah. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang selamat dari
pengusiran dan pembakaran rumah warga syiah di sampang pada 2012 lalu.
Pengusiran dan pembakaran itu dilakukan oleh orang-orang yang menolak
keberadaan warga syiah di sampang.
Pertama
kali aku bertemu dengan Siti pada bulan ramadhan di tahun 2016. Waktu itu aku
diajak senior di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) untuk meliput pengungsi syiah di
Rusun Puspa Agro Jemundo.
Setetah
peliputan itu, aku berpisah dengan Siti dan para pengungsi. Kami hanya bisa
membantu mengajar anak-anak pengungsi di satu malam saja bersama LSM Akar
Teki.
Kemudian
kami pulang untuk menuliskan kisah mereka di Majalah LPM kami. Begitu banyak
kejutan-kejutan membingungkan waktu itu. Yang paling membingungkan bagiku
adalah, ketika aku tahu bahwa Negara yang bersemboyan “Bhineka Tunggal Ika” ini
tak selalu tampak mengagumkan seperti maknanya.
Satu
tahun hanya bisa kami lalui dengan saling bertanya kabar dan obrolan-obrolan di
facebook. Siti selalu tanya padaku, kapan main ke Rusun lagi? Aku yang
sibuk dengan tugas-tugas kuliah pun hanya bisa menjawab dengan janji-janji tak
pasti.
Hanya
bisa bilang akan main ke Rusun lagi ketika ada waktu, lalu aku meningkari janji
itu, janji lagi, ingkari lagi, begitu terus. Baru pada bulan Januari 2018
kemarin aku bisa bertemu dengan siti lagi. Entah rasa kangen, senang,
bersyukur, atau bersedih yang harus aku tunjukan. Aku tak tahu, hanya bisa
menutupinya dengan candaan-candaan saja.
Tak
terpikir olehku, Siti mengetahui kepura-puraanku ini atau tidak. Tapi ia mulai
bercerita dan terus bercerita. Aku kaget ketika ia bercerita kalau LSM Akar
Teki yang dulu membantu pendidikan anak-anak sudah tidak membantu lagi. Kata
Siti, Akar Teki sedang ada kesibukan, belum bisa membantu untuk saat ini dan
akan bisa membantu secepatnya setelah kesibukannya selesai.
Kondisi
diperparah dengan tiadanya bantuan pengajar dari Dinas Pendidikan
Sidoarjo lagi. Ya, sejak awal memang pengajar dari Dinas Pendidikan Sidoarjo
kurang memberi kontribusi yang pasti untuk pendidikan anak-anak. Para pengajar
itu adalah pengajar relawan, mereka memiliki jam mengajar di sekolahnya
masing-masing.
Sehingga,
kehadiran mereka dan waktu mengajarnya pun tidak maksimal. Siti bercerita,
ketika ia menelpon pihak Dinas Pendidikan Sidoarjo untuk menanyakan kejelasan
bantuan pendidikan anak-anak di Rusun, Pihak Dinas Pendidikan Sidoarjo bilang
kalau tidak ada pengajar yang mau mengajar di Rusun karena tempatnya jauh.
Sungguh, bukan alasan yang masuk akal bagi Siti.
Siti
yang menjadi koordinator pendidikan anak-anak harus terpontang-panting mengurus
pendidikan anak-anak, sendirian. Ia yang mengajar anak-anak setiap harinya, ia
juga yang mengurus pendaftaran anak-anak ke sekolah-sekolah formal. Meski cukup
terbantu dengan kehadiran relawan-relawan mahasiswa atau komunitas yang mau
membantu pendidikan anak-anak, itu pun hanya sementara.
Tak
ada relawan yang secara konsisten membantu pendidikan anak-anak. Setelah
relawan-relawan itu pergi, Siti kembali mengurus pendidikan anak-anak. Belum
lagi ia harus membagi waktu untuk menemani orang-orang di Rusun berobat ke
dokter. Semua dilakukannya sendiri, anak yang baru lulus SMA pada mei 2017 itu.
Teman-teman
yang seumuran dengan Siti tak ada yang mau membantunya. Kata Siti, mereka
memilih untuk mencapai kehidupan mereka sendiri, menikah, berkeluarga dan lain
sebagainya.
Berbeda
dengan teman-temannya, Siti lebih memilih untuk mengurusi pendidikan anak-anak.
Entah bagaimana ia mendapatkan dan mengatasi tekanan dari kedua orangtuanya.
Bagi Siti, pendidikan anak-anak adalah yang paling penting, merekalah generasi
penerus bangsa ini.
Namun,
sepertinya bangsa ini tidak mempedulikan apa yang dianggap Siti penting. Dinas
Pendidikan Sidoarjo hanya memberi saran untuk menyekolahkan anak-anak ke
sekolah formal. Sementara sekolah formal berada di tempat yang cukup jauh dari
Rusun.
Butuh
biaya yang tidak sedikit untuk perjalanan ke sekolah. Hal yang paling membuat
Siti putusasa adalah ketika anak-anak susah mendapatkan Ijazah, karena Ijazah
hanya bisa dikeluarkan oleh sekolah formal. Apalagi Dinas Pendidikan Sidoarjo
tidak memberi bantuan dana maupun beasiswa bagi anak-anak di Rusun. Tak bisa
aku bayangkan betapa terpontang-pantingnya Siti kalau hanya mendengar dari
ceritanya saja.
Siti
bertanya, kemana orang-orang yang dulu pernah datang untuk membantu pendidikan
anak-anak? dan kapan semua ini berakhir? Kapan kita bisa kembali ke kampung
halaman kami? Aku dan teman-temanku hanya bisa diam.
Ia bercerita, kalau ia dan para pengungsi lainnya sempat main-main ke rumah
mereka di sampang. Dan ketika hal itu diketahui oleh polisi setempat, Siti
langsung diseret kembali ke pengungsian. Siti sangat menyesalkan hal ini,
kenapa polisi itu tidak melindungi warga yang terkena musibah, tapi malah ikut
mengusir warga dari kampung halamannya?
Hatiku semakin getir ketika Siti bercerita
tentang bagaimana ia dan anak-anak menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang
yang mau membunuh mereka. Siti dan anak-anak harus bersembunyi di semak-semak,
menyusuri sungai, mencari tempat yang aman.
(Bersambung ke Bertemu Siti Rohmah Lagi #2)
Komentar
Posting Komentar