Langsung ke konten utama

Di Dalam Perigi Buta

Bunga Lonceng Biru

Kutanyai kau lewat udara diam, yang
Dirutuki gelisah pada telapak
Tangannya yang kerap mengayun
Ranting basah oleh
Air langit yang sedang merindu aku.

Pagi tadi, saat punggungku masih bersandar
Di keheningan diam-diam
Kucari engkau di cermin buram
Pantulan bayangan wanita tua di sana
Menertawai dirinya yang tak berhenti keluar air mata

Terkoyak apa-apa yang ada
Di dalam rumah itu
Rumahku, mungkin.
Kesal, kubakari kertas-kertas
Yang terakhir kau baca dulu, lalu kau pergi

Sejak itu nyalar kudengar teriakan
Dari bibirku yang terkunci
Memanggilmu yang rupanya tersesat diantara
Orang-orang berpedang pena
Tak kujumpa kau disana, sia-sia

Ku bisikkan selamat tinggal pada senja
Surya menangis mendekatiku
Menerangi lubang tak berdasar di depanku
Kudapati kau kedinginan dalam perigi buta,
Jiwaku.

Malang, 2018


*Puisi ini ditulis oleh seseorang yang tak ingin disebut namanya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .