Langsung ke konten utama

Apakah Negara Mengabaikan Mereka?

Belajar bersama anak-anak pengungsi pada tahun 2016

Pada Ramadan 2016, seorang teman meminta saya menemaninya meliput pengungsi Syiah Sampang di Sidoarjo. Teman saya adalah sekretaris majalah pers mahasiswa Inovasi, Asrur namanya. Sebelumnya ia juga pernah meliput pengungsi Syiah Sampang ketika pada tahun 2012. Waktu itu pengungsi Syiah Sampang masih mengungsi di GOR Sampang, setelah rumah mereka dibakar massa. Sepertinya Asrur tak ingin kepeduliannya habis setelah berita naik cetak. Dari ajakan Asrur inilah, saya tahu bahwa masyarakat yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika ini ternyata tak selalu menghargai perbedaan seperti yang biasa didengung-dengungkan.

Saat pertama ke Sidoarjo, Asrur mengajak saya serta dua teman lainnya, Gilang dan Anisa. Kami naik motor, butuh waktu kurang lebih dua jam untuk sampai ke Sidoarjo. Setelah tersesat beberapa waktu, akhirnya kami sampai di rumah Akar Teki, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkomitmen untuk membantu pendidikan anak-anak pengungsi, sekitar jam delapan malam.
Di sana kami bertemu Luly dan anggota Akar Teki lainnya. Mereka dengan ramah menyuguhi kami makan malam, tapi “Ini untuk yang pertama saja lho ya, kalau yang berikutnya enggak,” ujar Luly bercanda. Selesai menyantap hidangan makan malam, pada jam setengah sembilan, kami diantar menuju lokasi pengungsian di Rusun Puspa Agro di daerah Jemundo, Sidoarjo. Luly tidak ikut karena waktu itu adalah jam kerjanya. Yang mengantar kami ke lokasi adalah Niki dan satu temannya.
Setiap orang yang mau memasuki rusun harus membeli karcis seharga dua ribu rupiah di loket gerbang masuk. Petugas membiarkan kami lewat begitu saja, mungkin mereka tahu kalau kami bersama relawan Akar Teki. Setelah itu, kami sampai di lokasi Rusun. Terlihat dua gedung bercat biru muda dengan lima lantai.
Berjalan memasuki Rusun, saya, Asrur, Gilang, dan Anisa dikagetkan dengan sorak riang anak-anak pengungsi. Dengan ramah mereka menyambut kami, yang padahal belum mereka kenal. Seorang anak tiba-tiba meraih tangan saya dan menempelkan ke pipinya. Lalu ia mengajak saya ke ruang belajar, bersama anak-anak lainnya.
Sebelum belajar malam dimulai, terlihat seorang anak perempuan menertibkan anak-anak yang berlarian untuk masuk ruangan. Namanya Siti Rohmah, usianya 18 tahun. Ia sudah terbiasa menertibkan anak-anaksebelum belajar, sehingga tak butuh waktu lama baginya untuk mengatur supaya anak-anak duduk setengah melingkar di ruangan itu.
Siti kemudian mempersilakan Mbak Niki untuk memulai belajar malamnya. Tanpa basa-basi, Mbak Niki membagi tiga kelompok belajar. Saya dan Asrur berada di kelompok sejarah Negara Indonesia, Gilang dan Anisa berada di kelompok menggambar, sementara Mbak Niki dan temannya berada di kelompok Bahasa Inggris. Saya dan Asrur mendapatkan lembaran-lembaran yang isinya peta Indonesia, lambang Garuda Pancasila, dan gambar tokoh-tokoh pahlawan. Asrur memulai bercerita tentang sejarah, ia menghadap ke anak-anak di sisi kanan, sementara saya menghadap di sisi kiri. Kami bercerita secara terpisah walaupun berada di satu lingkaran yang dikelilingi anak-anak.
Tiba-tiba seorang anak bertanya kepada saya “Kak, kenapa Belanda itu kok menjajah kita?” Saya yang jarang membaca buku tentang sejarah pun hanya bisa menjawab, “Karena kita punya rempah-rempah yang tidak mereka miliki, dan mereka ingin menguasai rempah-rempah kita.” Dengan kikuk, saya menjelaskan kalau penjajahan itu tidak sesuai dengan peri kemanusian, kita seharusnya hidup rukun dan damai.
Saya kemudian mengganti pembahasan ke makna Pancasila. Saya meminta anak-anak untuk mengucapkan kelima sila bersama-sama, lalu saya bertanya, apa makna sila-sila itu. Tapi mereka meminta saya yang menjelaskan. Lalu saya jelaskan saja. Mereka cukup antusias mendengarkan, kecuali anak yang bertanya di awal tadi. Ketika saya menjelaskan makna sila ketiga, dia berkata dengan wajah bosan, “Iya-iya, aku sudah ngerti kok.” Kata-katanya membuat saya berpikir termenung, dan terus terpikir sampai belajar malam selesai.
Semakin malam, anak-anak mulai mengantuk, ada yang sudah tidur pulas, kami pun menyudahi belajar malam. “Kak, jangan pulang,” ujar seorang anak. “Ya, besok kita ke sini lagi kok,” kataku. Lalu kami pulang, kami bermalam di rumah Akar Teki. Sesampainya di rumah, kami bercerita banyak hal, tentang Akar Teki, cerita mereka menjadi relawan, dan kondisi pendidikan anak-anak pengungsi. Kami bercerita sampai larut malam, saya hampir lupa apa saja yang kami bicarakan. Saya hanya ingat Luly pernah mengatakan, “Kami ini relawan, bukan karyawan, dan kami tidak suka berwacana, kalau berwacana terus masalahnya gak selesai-selesai.”
Saking lamanya bercerita, kami lupa kalau nanti harus bangun untuk sahur. Kami tetap sahur walaupun tidur cuma sebentar, namun setelah subuh, kami melanjutkan tidur dan baru bangun siang hari itu. Karena sorenya harus pulang, saya harus mengingkari janji untuk menemui anak-anak itu. Asrur pun tak jadi wawancara dengan Tajul Muluk, orang yang mengajarkan Syiah secara terbuka di Sampang.
Tapi kami bertemu lagi di bulan September. Asrur jadi mewawancarai Tajul Muluk, sementara teman saya lainnya, Ainin meliput pendidikan anak-anak pengungsi. Saya cuma menemani mereka.
Dari liputan Ainin ini saya mengetahui masalah-masalah yang dialami anak-anak dalam belajar. Setiap harinya mereka belajar di sekolah darurat selama dua jam. Sekolah darurat dilaksanakan di Rusun itu sendiri. Sementara pengajarnya dikirim dari Dinas Pendidikan Sidoarjo. Namun pengajar itu sering datang terlambat dan pulang cepat, jam belajar anak-anak pun harus berkurang, dan tak semua mata pelajaran bisa mereka dapatkan. Menurut keterangan Siti, pengajar yang dikirim adalah guru sukarelawan yang harusnya mengajar penuh di SDN Jemundo 1. Mereka digaji dan tidak dibebani mengajar di sekolah darurat.
Tidak semua anak-anak pengungsi hanya belajar di sekolah darurat, beberapa dari mereka belajar di sekolah formal di SDN Jemundo 1. Mereka yang belajar di sana hanyalah anak kelas tiga sampai enam SD. Ada juga yang belajar di SMP dan SMA. Meski demikian, anak-anak yang sekolah di SDN 1 Jemundo mengalami kesulitan dalam belajar bahasa Jawa yang bukan bahasa keseharian mereka. Mata pelajaran yang seharusnya diajarkan secara bertahap dari SD sampai SMA ini harus mereka pelajari ketika kelas empat. Di sekolah darurat tidak diajarkan bahasa Jawa. Ditambah lagi masalah-masalah ini kurang diperhatikan oleh Dinas Pendidikan Sidoarjo.
Tapi Siti dan pengungsi lainnya masih bisa bersyukur dengan bantuan dari relawan Akar Teki. Walaupun hanya dua kali dalam seminggu, relawan Akar Teki konsisten menindaklanjuti pelajaran yang hanya didapatkan anak-anak selama dua jam tiap harinya.
Bagaimanapun juga, yang dialami anak-anak ini bukanlah hal yang adil. Mereka tidak bisa mendapatkan pendidikan sebagai mestinya karena diusir dari tanah kelahiran mereka. Mereka harus menyaksikan dan merasakan kekerasan oleh orang-orang yang menolak ajaran Syiah.
Saya sedikit mengetahui kronologi pengusiran ini dari liputan Asrur. Ia banyak mengutip dari buku “Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia” karya Ali-Fauzi. Pengusiran warga Syiah disebabkan oleh sentimen masyarakat bahwa ajaran Syiah itu sesat. Tajul Muluk melihat beberapa kebiasaan di Madura begitu membebani masyarakat. Salah satunya adalah tradisi Maulid. Masyarakat yang mengundang kiai, biasanya membayar dengan uang sebesar 150.000 sampai 500.000 rupiah. Tidak jarang, ada yang harus menjual ternak, menggadaikan barang berharga atau berutang demi menjalankan tradisi Maulid.
Lalu, dari madrasah yang didirikan Tajul bersama keluarganya, mereka mulai mengajarkan ajaran-ajaran Syiah. Tajul juga mengenalkan kebiasaan baru. Setiap orang yang melaksanakan Maulid tidak perlu membayar ke kiai, tapi pembayarannya cukup satu kali saja untuk satu kampung. Tajul sendiri yang menjadi kiainya. Ia mengenalkan kebiasaan baru ini supaya masyarakat tidak terlalu terbebani dan bisa menggunakan uangnya untuk pendidikan anak-anak.
Tak hanya itu, Tajul juga mengajak warga mengadakan ronda untuk meningkatkan keamanan ternak dari pencurian. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan dan menabung supaya warga bisa menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin, tak hanya sekolah di madrasah saja.
Madrasah yang didirikan Tajul mulai ramai dikunjungi para santri. Beberapa tokoh agama yang melihat hal ini merasa resah. Pada tahun 2004 terjadi bentrokan ketika ada rencana perayaan Maulid yang digelar bersamaan dengan peringatan 40 hari meninggalnya Makmun, ayah Tajul. Ada kelompok penentang Tajul yang adu mulut dengannya sambil memegang celurit dan parang. Bentrokan dipicu oleh kabar yang beredar bahwa 12 mubalig Syiah dari Kuwait akan datang ke Maulid itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .