Langsung ke konten utama

Apakah Negara Mengabaikan Mereka? #2

Belajar bersama anak-anak pengungsi pada tahun 2018


Permasalahan semakin luas ketika kelompok penentang itu membawa perkara ke jaringan ulama yang di Madura, yang mayoritas NU, termasuk Badan Silaturahmi Ulama Madura (Bassra). Pada 24 Februari 2006, Tajul diminta bertemu dengan kelompok NU untuk mengklarifikasi ajaran Syiah yang disebarkannya. Namun Tajul tidak hadir.

Dua hari setelahnya, kelompok NU memutuskan bahwa ajaran Syiah yang disebarkan Tajul bertolak belakang dengan ajaran yang dianut oleh para elite agama. Lalu, pada 26 Oktober 2009, Pengurus Cabang NU Madura mengadakan pertemuan untuk kembali membahas ajaran Syiah yang disebarkan Tajul. Dalam forum itu, Tajul didesak dengan 32 pertanyaan tentang ajaran Syiah yang dianggap sesat. Karena terpojok, Tajul menandatangani pernyataan kesediaan untuk menghentikan kegiatan ajaran Syiah di Sampang.

Desakan kembali dialami Tajul pada 4 April 2011, ketika MUI, PCNU, dan Bassra memaksa Tajul menghentikan kegiatannya atau keluar dari Sampang. Jika hal itu tidak dilakukan maka penganut Syiah harus mati. Puncaknya, pada 28 Mei 2011, MUI se-Madura mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Syiah yang disebarkan Tajul merupakan ajaran sesat. Pemerintah didesak untuk merelokasi Tajul ke Malang. Di saat yang sama, rumah Tajul dan rumah-rumah warga penganut ajaran Syiah dibakar massa.

Setelah itu pemerintah menangkap Tajul atas pasal penistaan agama dan memvonisnya dua tahun penjara. Itu adalah serangan pertama. Serangan kedua terjadi pada 26 Agustus 2012, di mana massa kembali membakar sekolah, mushola, dan rumah warga Syiah. Belasan orang terluka, satu meninggal. Kejadian itu terjadi seminggu setelah lebaran Idul Fitri.

Warga Syiah yang tak lagi memiliki rumah harus mengungsi ke Gelanggang Olahraga Tennis Indoor Kabupaten Sampang. Tapi massa masih tidak menerima kehadiran warga Syiah. Mereka kembali mendesak pemerintah supaya warga Syiah segera dipindahkan. Sejak saat itu warga Syiah mengungsi di Rusun Puspa Agro Jemundo, sampai sekarang.

Lima tahun sudah berlalu, warga Syiah masih menunggu kapan bisa pulang ke kampung halaman. Yang bisa saya lakukan setelah liputan itu hanya memantau keadaan pengungsi dari berita dan artikel di media online. Berbagai upaya rekonsiliasi sudah dilakukan. Indoprogress mencatat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim rekonsiliasi Syiah Sampang pada 2013. CNN Indonesia juga mencatat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengadakan pertemuan antara perwakilan NU dan Syiah untuk membahas strategi rekonsiliasi dan pemulangan warga Syiah ke sampang. Namun, semuanya belum membuahkan hasil. Kabar terbaru yang saya tahu dari VOA Indonesia, Tajul dan warga Syiah sendiri sudah menghadap dan menyampaikan tuntutan-tuntutan ke Kantor Staf Presiden, tapi belum ada tanggapan.

Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), mendesak pemerintah untuk memulangkan warga Syiah ke kampung halamannya.

Bagi Andy Irfan Junaidi, Ketua Kontras Surabaya, tempat tinggal sementara dan uang jatah hidup itu belum cukup untuk menangani permasalahan ini. Pemerintah harus bertanggung jawab untuk memulihkan hak warga Syiah Sampang dengan memulangkan mereka ke kampung halaman.

Begitu juga dengan Ruby Cholifah, Direktur AMAN Indonesia. Ia mengatakan persoalan intoleransi seperti kasus Syiah Sampang harus diselesaikan sepenting kasus korupsi dan terorisme. Alat hukum Negara harus dilibatkan untuk menjamin kesamaan hak bagi setiap warga negaranya. Sementara itu, Aan Anshori dari JIAD menegaskan bahwa negara wajib melindungi dan menjamin kemerdekaan setiap warga negaranya untuk memeluk dan menjalankan keyakinannya atas dasar undang-undang.

Entah apa saja yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan hal ini selain upaya, upaya, dan upaya, saya tidak tahu. Yang saya tahu, warga Syiah hanya ingin pulang ke kampung halamannya, mereka hanya menginginkan kerukunan dan kedamaian. Seperti kata Tajul, kalau kerukunan itu tidak terjalin, bagaimana mungkin kita bisa membangun bangsa ini menjadi bangsa yang maju?

Ya, bangsa ini tidak akan maju kalau kita tidak rukun, kalau kita memandang diri kita paling benar dan yang lain salah, kalau kita terus memakai kekerasan untuk menyelesaikan masalah, bukan dengan cara yang lebih sehat. Setidaknya hal itulah yang saya pikirkan. Sementara yang saya lakukan hanya bisa bertemu dengan anak-anak itu, belajar bersama, makan bersama, dan berbagi cerita kepada orang-orang melalui tulisan Asrur dan Ainin.

Pernah suatu kali, saya mewawancarai Abdul Haris, Rektor di kampus saya, UIN Maliki Malang. Dalam sambutan acara serah terima jabatan rektor, ia mengatakan bahwa kelak UIN Maliki Malang akan mendirikan lembaga fatwa. Saya yang kurang tahu tentang lembaga fatwa akhirnya menanyakan tentang fatwa haram terhadap ajaran Syiah tersebut.

Namun jawaban Haris begitu teoritis untuk dipahami. Ia mengatakan “Tentu fatwa itu sesuai keilmuan yang dijadikan dasar untuk menerbitkan fatwa, sejujur-jujurnya, itu saja sebenarnya pedomannya…Jadi saya kira fatwa itu untuk menyelesaikan masalah, bukan untuk menambah masalah.” Tak ada kata fatwa haram atau warga Syiah yang keluar dari mulutnya. Mungkin ia berkata seperti itu karena ingin aman saja. Dengan jawaban yang seperti itu, sepertinya kampus saya belum bisa memposisikan keberpihakannya terhadap masalah yang menimpa warga Syiah.

Saya sendiri merasa tak ada hal lain yang bisa saya lakukan untuk membantu anak-anak dan warga Syiah untuk sekarang. Yang bisa saya lakukan adalah berkabar dengan Siti melalui Facebook. Walaupun tak terlalu sering, Siti biasanya menanyakan kabar saya dan kapan main lagi ke sana.

Terakhir kali ia mengabari saya kalau anak-anak dan orang tua di Rusun sedang terkena Hernia (penyakit akibat turunnya buah zakar seiring melemahnya lapisan otot dinding perut). Saya hanya bisa turut bersedih dan meminta maaf kepada Siti, karena tak bisa membantu apa-apa.

Ketika mengingat tentang Siti, anak-anak, dan warga Syiah, saya kembali sadar dengan ketidakberdayaan diri ini. Teori-teori dan nilai-nilai yang selama ini saya pelajari runtuh begitu saja. Walaupun saya juga mempelajari teori dan kajian tentang ketimpangan sosial, saya tak mampu berkata-kata ketika bertemu Siti. Saya cuma paham teori, Siti yang mengalaminya. Selalu ada kekesalan ketika saya semakin paham dengan ketimpangan yang terjadi di depan saya, tapi saya tidak berdaya, dan tidak mampu mengubahnya.

Dan dari ini saya berpandangan bahwa, setiap orang yang ingin memosisikan dirinya untuk peduli harus selalu mempertanyakan kepeduliannya sendiri. Apakah kita peduli dan benar-benar terlibat langsung untuk menyelesaikan sebuah permasalahan atau kita hanya peduli untuk sekedar peduli saja dan terlibat dalam waktu yang sementara? Memang idealnya kita harus peduli dan benar-benar terlibat langsung untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Dan dari pertanyaan ini, antara benar-benar terlibat dan terlibat sementara adalah pilihan masing-masing dari diri kita. Tapi, bagi saya pertanyaan ini tetap penting supaya kita bisa memperjelas dan jujur dengan diri kita sendiri. Supaya kita tidak menganggap diri kita benar-benar peduli padahal hanya peduli sementara, hanya untuk kepentingan diri kita sendiri.

Saya pun sadar bahwa keterlibatan dan kepedulian saya sendiri sebenarnya kurang jelas. Seperti yang dikatakan Asrur dalam pengantar tulisannya, pewarta punya potensi untuk mengeksploitasi, “Narasumber hanya dianggap seperti dokumen yang dibaca dan setelahnya diletakkan begitu saja.”

Sejujurnya, saya tak tahu bagaimana mewujudkan kepedulian saya.

Saya belum mampu melakukan sesuatu yang benar-benar bisa membantu seperti apa yang dilakukan oleh teman-teman relawan Akar Teki. Kuliah mungkin menjadi satu alasan, apalagi kampus saya pun tak menunjukkan keberpihakan. Tapi jika dilihat kembali, masalahnya ada di diri saya dan lingkungan sendiri. Bagi orang yang berada di ranah pers mahasiswa seperti saya, tugas saya adalah menyampaikan informasi yang benar, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Entah informasi yang mendidik, menghibur, atau informasi sebagai bentuk kontrol sosial.

Pers memang hanya bergerak di bidang informasi dan wacana, kata teman saya. Ada harapan dengan menyampaikan informasi maka perubahan akan segera terjadi. Dengan menceritakan ketidakadilan yang dialami warga Syiah, seharusnya orang-orang di sekitar saya bisa sadar lalu melakukan sesuatu untuk sebuah perubahan. Seharusnya pemerintah melakukan sesuatu. Seharusnya kita semua sudah melakukan sesuatu.

Tapi perubahan itu belum kunjung terjadi. Dan saya jadi bertanya-tanya, adakah negara memang sengaja mengabaikan mereka?

Kalau seperti ini, kata teman saya lagi, kita hanya mampu berjalan sendiri-sendiri. Padahal seharusnya kita bisa bergerak bersama untuk mewujudkan agenda perubahan, ujarnya mirip seperti orang sedang berpidato. Harapan harus diwujudkan, harapan harus membawa ke suatu perubahan.

Ya, ya, ya. Memang mudah kalau hanya ngomong seperti itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .