Langsung ke konten utama

Hantu di Masa Kecil

Apakah foto ini ada hubungannya dengan cerpen di bawah?

Ini adalah cerita tentang masa kecilku, masa dimana aku tidak memikirkan tentang bagaimana seharusnya dunia ini, masa di mana aku menikmati hari-hari dengan bermain bersama teman-temanku, masa yang sangat menyenangkan yang dulu ingin aku pertahankan sampai sekarang. Namun di masa itu mulai berubah ketika aku mengalami hal yang aneh, yang membuat aku terbayang-bayang akan hal itu sampai sekarang. Aku bertemu dengan hantu. Hantu itu bercerita kepadaku tentang masa lalu yang kejam. Tentang bagaimana bumi manusia ini menjadi panggung perjuangan dan kesedihan yang dilahirkannya. Cerita itu membuatku kagum, terkejut, bingung, dan sedih. Inilah critanya.

Namku Haris, saat itu aku kelas 3 Sekolah Menengah Pertama, aku bukan anak yang pandai dalam pelajaran, nilaiku hampir di bawah rata-rata semua, tapi aku bisa naik kelas terus, aku rajin masuk kelas. Mungkin guru-guruku merasa kasihan padaku. Yah, waktu itu aku tidak mempedulikannya. Alasanku rajin masuk kelas adalah karena di rumah serba membosankan, dan di sekolahlah aku menemukan hal yang menarik. Ada tempat rental Ps[1] di seberang jalan sekolah, jadi setiap pulang aku bisa mapir untuk bermain bersama teman-temanku.

Bagaimana dengan kelasnya? Memang aku tidak terlalu pandai dalam pelajaran, tapi jika ditanya tentang satu pelajaran yang disukai, itu adalah pelajaran sejarah. Kenapa aku suka pelajaran sejarah? Karena supaya bisa belajar dari kesalahan sejarah seperti yang dikatakan guru sejarahku? Mungkin, tapi bagiku lebih karena sejarah adalah pelajaran yang paling hebat. Semua mata pelajaran di sekolah, entah itu pelajaran matematika, fisika, kimia, sosiologi, geografi, pasti diciptakan oleh tokoh-tokoh dalam sejarah. Jadi aku berpikir jika aku mempelajari sejarah, aku bisa mempelajari semua mata pelajaran itu sebagai cerita. Walaupun pada kenyataannya itu hanya pikiranku saja dan aku tetap tidak pandai hampir di semua pelajaran. Tapi ada satu hal yang tidak bisa dibantah oleh siapapun. Bahwa semua hal di dunia ini berawal dari sejarah.

Jadi di suatu minggu yang panas, kuputuskan untuk jalan-jalan ke museum, guru sejarahku bilang kalau di sana ada banyak pengetahuan tentang sejarah yang tidak diajarkan di kelas. Apapun itu, aku ingin tahu.

Tapi setelah aku sampai di depan museum itu, aku sangat kesal karena di pintu masuk tertulis: ‘museum sedang dalam perbaikan, akan dibuka kembali pada minggu depan.’ Minggu yang panas itu benar-benar membuat kepalaku panas. Karena kesal, aku putuskan untuk pergi ke rental Ps dan bermain Ps seharian.

Aku melangkahkan kaki untuk pergi dan aku kembali melewati sebuah taman. Tiba-tiba aku mendengar suara. “Baiklah, pada hari ini kakak akan bercerita tentang sejarah kesenian. Sejrah ini tidak diajarkan di sekolah lho...” seorang anak perempuan yang tingginya hampir sama denganku berada di hadapan sebelas anak-anak kecil yang jika dilihat dari ukuran tubuhnya adalah anak-anak kelas 1 Sekolah Dasar. Anak-anak itu dengan tenang mendengakan. “Jadi, pada suatu hari setelah kemerdekan,” perempuan itu mulai bercerita dan aku juga ikut mendengarkan dari tempatku berdiri. Perempuan itu melanjutkan, “ada beberapa seniman yang berpikir kalau Indonesia belum benar-benar merdeka karena Indonesia masih bergantung kepada negara lain untuk membangun Indonesia.” Aku kemudian duduk di kursi yang ada di depanku supaya lebih enak mendengarkannya.

“Kemudian mereka mendirikan sebuah organisasi kebudayaan, dengan sebuah prinsip kalau indonesia harus membangun negaranya dengan kekuatan rakyatnya sendiri. Dengan prinsip itu mereka menciptakan karya seni yang  menggambarkan kehidupan rakyat seperti petani dan buruh. Kenapa kehidupan petani dan buruh yang digambarkan? Karena pada jaman penjajahan, petani dan buruh itu selalu ditindas, dipaksa bekerja untuk penjajah, karena kerja paksa itu banyak petani dan buruh yang menderita dan meninggal. Nah, para seniman ini percaya bahwa petani dan buruh itu harus dibela, mereka membela melalui karya seni yang mereka ciptakan. Karya para seniman itu seperti lukisan, puisi, tari tradisional. Semuanya menggambarkan kehidupan petani dan buruh. Begitu.”

Perempuan itu bercerita seperti guru Taman Kanak-Kanak, tapi cerita itu sedikit mengngejutkanku, aku baru tahu kalau ada sejarah kesenian yang seperti itu. Di pelajaran sejarah tidak pernah membahas tentang kesenian, malahan di mata pelajaran kesenian hanya mengajarkan tentang bagaimana cara menciptakan karya seni, teknik dan penerapannya.

“Kakak...organisasi itu namanya apa kak?” seorang anak perempan bertanya.

“Oh iya, kakak lupa, nama organisasi itu adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat.”

“Itu sekarang masih ada nggak kak?” anak yang lain bertanya.

“Hmm...nggak ada.”

“Kenapa nggak ada?”

“Karena...” sebelum perempuan itu menjawab, ada anak laki-laki yang memotong jawabannya dan berkata, “karena petaninya sudah capek menjadi petani, trus jadi pedagang, trus jadi kaya deh, hahaha.” Jawaban anak itu diikuti oleh tawa anak-anak lainnya kecuali anak yang bertanya tadi.

“Masak gitu sih kak?” anak itu tidak terima.

Perempuan itu tertawa kecil, kemudian berkata, “bukan begitu, tapi Lembaga Kebudayaan Rakyat sudah tidak ada karena kejadian yang menyedihkan.” Anak-anak itu kembali diam dan mendengarkan dengan tenang. “Kejadian apa kak?” anak yang tidak terima tadi kembali bertanya.

“Dulu, pada jamannya presiden Soeharto, semua karya seni Lembaga Kebudayaan Rakyat dilarang dan para senimannya ditangkap, dipenjarakan, sampai dibunuh oleh tentara. Presiden melarang Lembaga kebudayaan Rakyat karena dianggap salah satu bagian dari organisasi Partai Komunis Indonesia.”

“Oh, ternyata ada hubungannya dengan yang kakak ceritakan minggu kemarin ya?” Anak itu menaggapi. Jadi mereka selalu berkumpul di taman ini setiap minggu. Tapi tunggu, anak-anak ini tahu tentang Partai Komunis Indonesia, jika perempuan itu bercerita seperti hari ini, itu artinya dia juga bercerita tentang hal yang tidak diajarkan di sekolah. Aku jadi penasaran, siapa sebenarnya perempuan itu?

“Jadi, apa yang bisa kita ambil pelajarannya dari crita ini?” perempuan itu tiba-tiba seperti ingin mengakhiri ceritanya.

“Hancurkan pemerintahan.” “Ayo membela rakyat.” “Bangun Indonesia yang lebih baik.” Anak-anak itu sahut-menyahut menjawab pertanyaan perempuan itu dengan semangat dan tawa.

Perempuan itu ikut tertawa tapi wajahnya terlihat agak kebingungan. “Eh, membela rakyat dan membangun  Indonesia iru baik, tapi kalau menghancurkan pemerintah itu tidak baik. Kalau kita melakukannya apa bedanya kita dengan pemerintah? Kita nanti juga sama saja menjadi orang jahat. Tapi kita bisa berjuang membela rakyat dan membangun indonesia melaui musyawarah, dengan bermusyawarah kita bisa menyampaikan kepada pemerintah kalau yang dilakukannya itu salah dan merugikan rakyat, kemudian kita berpikir untuk mencari solusi bersama. Sila pancasila yang ke empat apa hayo?”

Anak-anak itu berpikir sejenak lalu secara bersamaan mereka menjawab, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.” Mereka semua tertawa karana meneruskan ke sila yang ke lima dengan spontan.

“Nah, bagaimanapun cara kita berjuang nanti, kita harus tetap ingat prinsip kelompok pembaca ya, jujur, bebas dan...” ucapan perempuan itu dilanjutkan bersama oleh anak-anak itu, “toleransi...”

Mereka menyebut dirinya kelompok pembaca, karena penasaran aku datang ke taman itu minggu beriktnya. Aku memberanikan diri untuk masuk ke dalam kelompok itu waktu si perempuan sedang bercerita, aku juga bertanya, dari mana perempuan itu tahu cerita itu dan kenapa tidak diajarkan di sekolah? Jawabannya mengejutkanku, katanya “semua yang ceritakan dari buku yang aku baca, jika ini tidak diajarkan di sekolah mungkin karena guru-gurunya jarang membaca, hahaha...” buku yang ia baca memang tidak pernah digunakan untuk pelajaran, dia juga mengatakan kalau buku yang ada di sekolah itu tidak bagus karena isinya sangat terbatas.

Karena anak-anak itu masih sulit memahami isi buku, perempuan itulah yang menyampaikan isinya melalui bercerita, tapi membaca tetap dijadikan sebagai budaya mereka, dalam membaca mereka yakin akan satu hal, mereka ingin membaca karena mereka ingin mengetahui dan memahami makna kehidupan ini. Yah, mereka memang tidak bilang begitu, itu berasal dari pandanganku kepada mereka.

Kemudian aku berkenalan dengan perempuan itu dan menjadi anggota kelompok pembaca. Namanya adalah Yuli, dia meminjamkan aku buku yang dia jadikan bahan cerita tentang Lembaga Kebudayaan rakyat. Buku itu berjudul Biografi Singkat: Pramoedya Ananta Toer, penulisnya adalah Ahmad Rifai. Buku itu memang lebih menjelaskan kehidupan Pramoedya, tentang Lembaga Kebudayaan Rakyat hanya dijelaskan dalam beberapa sub bab saja. Dari buku itu aku mulai mengenal kisah seorang Pramoedya.

Aku juga semakin menganal Yuli dan kisahnya yang menyedihkan. Dia bersama ayah dan ibunya pernah dikucilkan oleh masyarakat karena stigma Partai Komunis Indonesia. Bagaiman dia diejek teman-teman masa kecilnya, bagaimana cemooh masyarakat sekitar kepada keluarganya, Yuli masih ingat masa-masa yang menyakitkan hati itu. Yuli pernah memiliki keinginan untuk membalas perlakuaan mayarakat terhadap keluarganya, dia mengaku sangat membenci orang-orang disekitarnya. Tapi kedua orang tuanya melarang Yuli, mereka kemudian umemutuskan untu pindah ke lingkungan lain yang bisa menerima keberadaan mereka. Sekarang, bersama dengan lingkungan yang baru dan kelompok pembaca yang diciptakannya, dia ingin menjalani kehidupan yang ia inginkan, seraya perlahan-lahan memendam jauh kepedihan yang ia rasakan.

Bagiku Yuli seperti Hantu. Semua yang ia ceritakan, semua buku yang ia baca, dan kisah hidupnya, aku tidak pernah melihatnya sebelumnya, padahal di sekolah aku selalu bertemu dengan pelajaran sejarah. Dia membuatku kagum, terkejut, bingung, dan sedih. Dan sekarang aku berpikir seperti ini, mungkin benar yang dikatakan filsuf dari yunani itu bahwa pendidikan adalah sebuah perhiasan dalam kemakmuran dan tempat brnaung dalam kesengsaraan, tapi aku tidak menemukannya di sekolahku. Aku telah melihat kebenaran sejarah yang keberadaannya menjadi hantu di sekolahan, tidak bisa dilihat tapi ditakuti tanpa alasan ketika kelihatan.

*Pertama kali terbit Buletin Patriotik UAPM Inovasi Tahun 2016





[1] Playstation.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .