Langsung ke konten utama

Bertemu dengan Siti Rohmah Lagi #2

Sore hari di Rusun Puspa Agro, Jemundo, Sidoarjo


Ketika mendapatkan tempat bersembunyi yang aman, anak-anak itu bertanya kepada siti, “kenapa mereka mau membunuh kita kak?” Siti hanya bisa bilang kepada anak-anak supaya mereka tidak memikirkan hal itu dulu. Yang penting adalah menunggu waktu yang tepat sampai kerusuhan di kampung mereka selesai dan bagaimana mereka semua bisa selamat dan mencari bantuan.

Aku dan teman-temanku semakin terdiam. Aku melihat salah satu temanku yang matanya mulai berkaca-kaca. Suasana hening sebentar. Setelah itu Siti kembali bercerita, kali ini cerita lain. Katanya ada seorang penulis yang pernah mewawancarai kisahnya. 

Ketika Siti tahu bahwa si penulis telah menerbitkan buku tentang kisahnya, Siti menghubungi si penulis untuk menanyakan kabarnya. Tapi si penulis menjawab, “kamu siapa ya?” Kami tertawa bersama ketika mendengar Siti menirukan jawaban si penulis. 
Siti menyindir si penulis, “Ohh, jadi aku sudah kamu lupakan? Aku Siti, Siti Rohmah yang dulu pernah kamu wawancarai di Rusun itu”. Si penulis langsung ingat dan menjawab sapaan Siti. 

Siti bertanya kepada si penulis, berapa harga bukunya yang sudah terbit itu, lalu si penulis bilang kalau buku itu gratis untuk Siti. Esoknya buku itu diantar si penulis ke rusun. Kalau tidak salah, Siti bilang judul bukunya adalah “Di Balik Dinding Rusunawa”.

Aku tidak habis pikir, hal seperti itu bisa terjadi. Dan yang paling tidak habis aku pikir adalah, Siti bisa membuat kami yang tak mampu berkata-kata itu jadi tertawa. Siti juga membuat kami tertawa dengan mengejek sifat-sifatku yang tidak jelas, ia juga menerawang tipe-tipe jodoh yang cocok untuk aku dan teman-temanku. Kami semua tertawa dengan bagaimana Siti menerawang tipe-tipe jodoh kami melalui bentuk fisik kami.

Kata siti, aku lebih cocok dengan anak yang lebih tinggi dari aku. Teman-temanku semuanya tertawa, aku pun menyangsikan terawangan Siti. “Kamu baca apa sih?” tanyaku. “Loh semua itu bisa dilihat lhoo, kamu percaya aja,” jawaban Siti membuatku kesal saja.

Cerita sedih Siti dan canda tawanya mengalir begitu saja. Ketika aku sadar, waktu sudah semakin sore. Aku dan teman-temanku harus pulang, berpisah dengan Siti lagi. Siti pun harus merelakan perpisahan ini walaupun sebenarnya ia ingin kami tinggal di Rusun untuk waktu yang lebih lama.

Pada akhirnya, hanya saling rela-relaan yang tersisa, aku titipkan Majalah LPM kami yang meliput kisah pengungsi syiah 2016 lalu dan satu Majalah lagi yang meliput pengungsi syiah ketika masih di GOR Sampang. Sepertinya, Majalah yang aku berikan ke Siti membuatnya senang, ia bilang Majalah itu akan menjadi bukti kisah-kisah mereka.

Siti pun tak membiarkan kami pulang sebelum ia membaca seluruh isi Majalah. Tapi ia tak membaca, ia cuma membolak-balik isi Majalah itu, melihat gambar-gambarnya. Aku berpikir, rasa senang dan sedih sedang bercampur di hati Siti ketika ia membalik halaman Majalah itu dari lembar ke lembar berikutnya.

Seusai membolak-balik tuntas isi Majalah itu, kami berfoto bersama. Seusai foto bersama, Siti mengantar kami pulang. Ia mengantar kami menuruni lantai-lantai Rusun. Sampai di bawah kami mengucapkan salam perpisahan. Aku bilang ke Siti, “dada Siti, jangan kangen aku yaa…” Siti tertawa dan kami pergi dari Rusun itu. 

Hanya bisa janji bertemu lagi, entah kapan. Dan janji kali ini aku bilang kalau bertemu lagi dengan Siti, aku mau mengantarnya ke Dinas Pendidikan Sidoarjo untuk menagih hak-hak atas pendidikan anak-anak. aku juga berjanji mau membantu pendidikan anak-anak, entah bagaimana caranya.

Beberapa hari setelah perpisahan kami dengan Siti, aku dan teman-temanku merencanakan untuk membuat media belajar untuk anak-anak di Rusun. Kami mulai mencari artikel-artikel di internet tentang sekolah alternatif, sekolah rumah, dana bantuan pemerintah, dana bantuan yayasan gerakan sosial dan mencoba menghubungi lagi Akar Teki.


Lalu aku teringat kalau aku punya kontak ke orang Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. Aku pernah mengikuti lomba Majalah LPM se Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Lalu aku mencoba menghubungi Pak Ruchman Basori, Kasi Kemahasiswaan Kemenag. Namun hasilnya begitu mengecewakan, Pak Ruchman hanya menjawab dengan pasif. Begini percakapan kami:




Dari jawaban “Blm ada” sampai “Sy tdk tahu” inilah yang membuat saya kehilangan harapan dengan Negara. Jika memang Pak Ruchman Basori ini tidak mempunyai wewenang untuk membantu pendidikan anak-anak di Rusun, setidaknya ia tidak cuma menjawab dengat kata-kata pendek seperti itu. Aku tak ingin terjebak dengan kekecewaan ini, lalu aku mencoba mengkroscek website Kemenag dan Kemendikbud, mungkin mereka ada program pendidikan untuk anak-anak. tapi, ternyata hasilnya semakin mengecewakan, website Kemenag menunjukkan keterangan “tidak ada data ditemukan” sementara website Kemendikbud menunjukkan keterangan “0 hasil pencarian untuk pengungsi syiah”. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat.

Di saat kecewa-kecewanya, Siti memberiku semangat. Melalui pesan di whatsapp ia menulis, “apapun yang terjadi sekarang itu, jangan sampai kita putus asa, dibalik semua itu ada hikmahnya, kita tetap optimis dan semangat demi masa depan bangsa, adik-adik di sini membutuhkan kakak, teman-teman yang lain, kita harus selalu ada bagi adik-adik biar rasa semangat mereka makin tumbuh dan selalu optimis dengan apapun yang terjadi”. Pesan ini menguatkanku kembali, untuk terus berusaha sampai sekarang. Lagi-lagi, aku tak habis pikir, Siti kembali mengubah suasana hatiku yang sedang kecewa. Siti mengembalikan semangatku.

Pada akhirnya, hanya dengan datang dan membantu mereka sajalah yang bisa membuat keadaan sedikit lebih baik. Hanya kepedulian kita yang bisa mengubah keadaan yang tidak adil ini. Di sisi lain kita harus selalu sadar bahwa kita tidak bisa selamanya menyalahkan pemerintah saja. Memang mereka itu salah dan tidak peduli dengan hak-hak warganya, jadi buat apa terus-terusan mengkritik pemerintah? Semua itu hanya sia-sia tanpa kedatangan kita untuk membantu anak-anak itu. Aku masih mengingat cerita Siti ketika anak-anak menanyakan agama salah satu relawan. “Kak Kristen itu apa? Mereka manusia, kan?” Siti menjawab “Iya, mereka manusia kok, bukan yang mengusir dan membunuh kita seperti di kampung dulu”.



*Pertama kali terbit di qureta.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .