Sore hari di Rusun Puspa Agro, Jemundo, Sidoarjo |
(Lanjutan dari Bertemu dengan Siti Rohmah Lagi)
Ketika
mendapatkan tempat bersembunyi yang aman, anak-anak itu bertanya kepada siti,
“kenapa mereka mau membunuh kita kak?” Siti hanya bisa bilang kepada anak-anak
supaya mereka tidak memikirkan hal itu dulu. Yang penting adalah menunggu waktu
yang tepat sampai kerusuhan di kampung mereka selesai dan bagaimana mereka
semua bisa selamat dan mencari bantuan.
Aku
dan teman-temanku semakin terdiam. Aku melihat salah satu temanku yang matanya
mulai berkaca-kaca. Suasana hening sebentar. Setelah itu Siti kembali
bercerita, kali ini cerita lain. Katanya ada seorang penulis yang pernah
mewawancarai kisahnya.
Ketika
Siti tahu bahwa si penulis telah menerbitkan buku tentang kisahnya, Siti
menghubungi si penulis untuk menanyakan kabarnya. Tapi si penulis menjawab,
“kamu siapa ya?” Kami tertawa bersama ketika mendengar Siti menirukan jawaban
si penulis.
Siti
menyindir si penulis, “Ohh, jadi aku sudah kamu lupakan? Aku Siti, Siti Rohmah
yang dulu pernah kamu wawancarai di Rusun itu”. Si penulis langsung ingat dan
menjawab sapaan Siti.
Siti
bertanya kepada si penulis, berapa harga bukunya yang sudah terbit itu, lalu si
penulis bilang kalau buku itu gratis untuk Siti. Esoknya buku itu diantar si
penulis ke rusun. Kalau tidak salah, Siti bilang judul bukunya adalah “Di Balik
Dinding Rusunawa”.
Aku
tidak habis pikir, hal seperti itu bisa terjadi. Dan yang paling tidak habis
aku pikir adalah, Siti bisa membuat kami yang tak mampu berkata-kata itu jadi
tertawa. Siti juga membuat kami tertawa dengan mengejek sifat-sifatku yang
tidak jelas, ia juga menerawang tipe-tipe jodoh yang cocok untuk aku dan
teman-temanku. Kami semua tertawa dengan bagaimana Siti menerawang tipe-tipe
jodoh kami melalui bentuk fisik kami.
Kata
siti, aku lebih cocok dengan anak yang lebih tinggi dari aku. Teman-temanku
semuanya tertawa, aku pun menyangsikan terawangan Siti. “Kamu baca apa sih?”
tanyaku. “Loh semua itu bisa dilihat lhoo, kamu percaya aja,” jawaban Siti
membuatku kesal saja.
Cerita
sedih Siti dan canda tawanya mengalir begitu saja. Ketika aku sadar, waktu
sudah semakin sore. Aku dan teman-temanku harus pulang, berpisah dengan Siti
lagi. Siti pun harus merelakan perpisahan ini walaupun sebenarnya ia ingin kami
tinggal di Rusun untuk waktu yang lebih lama.
Pada
akhirnya, hanya saling rela-relaan yang tersisa, aku titipkan Majalah LPM kami
yang meliput kisah pengungsi syiah 2016 lalu dan satu Majalah lagi yang meliput
pengungsi syiah ketika masih di GOR Sampang. Sepertinya, Majalah yang aku
berikan ke Siti membuatnya senang, ia bilang Majalah itu akan menjadi bukti
kisah-kisah mereka.
Siti
pun tak membiarkan kami pulang sebelum ia membaca seluruh isi Majalah. Tapi ia
tak membaca, ia cuma membolak-balik isi Majalah itu, melihat gambar-gambarnya.
Aku berpikir, rasa senang dan sedih sedang bercampur di hati Siti ketika ia
membalik halaman Majalah itu dari lembar ke lembar berikutnya.
Seusai
membolak-balik tuntas isi Majalah itu, kami berfoto bersama. Seusai foto
bersama, Siti mengantar kami pulang. Ia mengantar kami menuruni lantai-lantai
Rusun. Sampai di bawah kami mengucapkan salam perpisahan. Aku bilang ke Siti,
“dada Siti, jangan kangen aku yaa…” Siti tertawa dan kami pergi dari Rusun
itu.
Hanya
bisa janji bertemu lagi, entah kapan. Dan janji kali ini aku bilang kalau
bertemu lagi dengan Siti, aku mau mengantarnya ke Dinas Pendidikan Sidoarjo
untuk menagih hak-hak atas pendidikan anak-anak. aku juga berjanji mau membantu
pendidikan anak-anak, entah bagaimana caranya.
Beberapa
hari setelah perpisahan kami dengan Siti, aku dan teman-temanku merencanakan
untuk membuat media belajar untuk anak-anak di Rusun. Kami mulai mencari
artikel-artikel di internet tentang sekolah alternatif, sekolah rumah, dana
bantuan pemerintah, dana bantuan yayasan gerakan sosial dan mencoba menghubungi
lagi Akar Teki.
Lalu
aku teringat kalau aku punya kontak ke orang Kementerian Agama (Kemenag)
Republik Indonesia. Aku pernah mengikuti lomba Majalah LPM se Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Lalu aku mencoba menghubungi Pak Ruchman
Basori, Kasi Kemahasiswaan Kemenag. Namun hasilnya begitu mengecewakan, Pak
Ruchman hanya menjawab dengan pasif. Begini percakapan kami:
Dari
jawaban “Blm ada” sampai “Sy tdk tahu” inilah yang membuat saya kehilangan
harapan dengan Negara. Jika memang Pak Ruchman Basori ini tidak mempunyai
wewenang untuk membantu pendidikan anak-anak di Rusun, setidaknya ia tidak cuma
menjawab dengat kata-kata pendek seperti itu. Aku tak ingin terjebak dengan
kekecewaan ini, lalu aku mencoba mengkroscek website Kemenag dan
Kemendikbud, mungkin mereka ada program pendidikan untuk anak-anak. tapi,
ternyata hasilnya semakin mengecewakan, website Kemenag menunjukkan
keterangan “tidak ada data ditemukan” sementara website Kemendikbud
menunjukkan keterangan “0 hasil pencarian untuk pengungsi syiah”. Aku tidak
percaya dengan apa yang aku lihat.
Di
saat kecewa-kecewanya, Siti memberiku semangat. Melalui pesan di whatsapp
ia menulis, “apapun yang terjadi sekarang itu, jangan sampai kita putus asa,
dibalik semua itu ada hikmahnya, kita tetap optimis dan semangat demi masa
depan bangsa, adik-adik di sini membutuhkan kakak, teman-teman yang lain, kita
harus selalu ada bagi adik-adik biar rasa semangat mereka makin tumbuh dan
selalu optimis dengan apapun yang terjadi”. Pesan ini menguatkanku kembali,
untuk terus berusaha sampai sekarang. Lagi-lagi, aku tak habis pikir, Siti
kembali mengubah suasana hatiku yang sedang kecewa. Siti mengembalikan
semangatku.
Pada
akhirnya, hanya dengan datang dan membantu mereka sajalah yang bisa membuat
keadaan sedikit lebih baik. Hanya kepedulian kita yang bisa mengubah keadaan
yang tidak adil ini. Di sisi lain kita harus selalu sadar bahwa kita tidak bisa
selamanya menyalahkan pemerintah saja. Memang mereka itu salah dan tidak peduli
dengan hak-hak warganya, jadi buat apa terus-terusan mengkritik pemerintah?
Semua itu hanya sia-sia tanpa kedatangan kita untuk membantu anak-anak itu. Aku masih
mengingat cerita Siti ketika anak-anak menanyakan agama salah satu relawan.
“Kak Kristen itu apa? Mereka manusia, kan?” Siti menjawab “Iya, mereka manusia
kok, bukan yang mengusir dan membunuh kita seperti di kampung dulu”.
*Pertama kali terbit di qureta.com
Komentar
Posting Komentar