Langsung ke konten utama

Tanah yang Harus Dituntut

MayDay Malang 2019

“Ambil. Ambil. Jangan sampai kita mengatakan, wah kamu sepakat dengan konsep tora ya? Endak, bukan kapasitas kita untuk sepakat atau tidak, tapi bahwa itu hak kita, hak rakyat, bukan karena kita sepakat kita mengambil TORA itu, tapi karena itu adalah hak rakyat. Ndak usah ditahan tahan, kan gitu…Ada atau tidaknya TORA, kita tetep ambil itu, sebagai hak rakyat, kita harus ambil, tapi kita tuntut persyaratannya agar berpihak kepada rakyat.”
-Putut Prabowo, koordinator Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jawa Timur.


Di sela-sela rutinitas kita yang membosankan dan menjenuhkan, konflik agraria semakin marak. Mungkin kita tahu, konflik agraria antara masyarakat dengan pabrik kapas sintesis PT Rayon Utama Makmur di Sukoharjo, Jawa Tengah. Konflik agraria antara masyarakat dengan pembangunan rumah deret oleh PT Sartonia Agung di Tamansari, Bandung. Konflik agrarian antara masyarakat Kulon Progo dengan pembangunan bandara oleh PT Angkasa Pura I. Maupun konflik agraria di Malang Selatan, antara masyarakat Wonogoro dengan Perhutani, serta antara masyarakat Tirtoyudo dengan PT Perkebunan Nusantara.

Dalam Catatan Akhir Tahun 2017 yang diluncurkan Konsorium Pembaharuan Agraria (KPA). Sebanyak 208 konflik agraria telah terjadi di sektor ini sepanjang tahun 2017, atau 32 persen dari seluruh jumlah kejadian konflik. Sektor properti menempati posisi kedua dengan 199 (30%) jumlah kejadian konflik. Posisi ketiga ditempati sektor infrastruktur dengan 94 konflik (14%), disusul sektor pertanian dengan 78 (12%) kejadian konflik.

Seterusnya sektor kehutanan dengan jumlah 30 (5%) konflik, sektor pesisir dan kelautan sebanyak 28 (4%) konflik, dan terakhir sektor pertambangan dengan jumlah 22 (3%) kejadian konflik yang terjadi sepanjang tahun 2017. Dengan begitu, selama tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2015-2017), telah terjadi sebanyak 1.361 letusan konflik agraria.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita lihat pemerintah dulu. Sejak terpilih di tahun 2014 Presiden Joko Widodo mengusung program reforma agraria. Dalam nawacitanya, Presiden Joko Widodo menjanjikan redistribusi 9 juta hektar tanah, yang kemudian tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Sayangnya, program ini tidak berjalan mulus. Sampai saat ini, ketimpangan kepemilikan tanah masih tinggi, dan petani bedara dalam kepemilikan terkecil.

Mempertanyakan Niat Pemerintah
Seperti yang dilansir spi.or.id, Agus Ruli, menilai bahwa pemerintah tidak serius dalam menjalankan reforma agraria. Pemerintah tidak memiliki data yang jelas terkait obyek maupun subyek dari sertifikasi maupun pelepasan kawasan hutan tersebut. Program sertifikasi tanah dan pelepasan kawasan hutan tersebut terlihat mangkrak yang memperlihatkan tidak adanya kemauan politik pemerintah.

“Berdasarkan data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional hingga per 24 Agustus tahun 2017 untuk program sertifikasi tanah transmigrasi target 600.000 hektar terealisasi 32.820 hektar (5,4%), program legalisasi aset target 3.900.000 hektar terealisasi 1.189.349 hektar (30,49%), program pelepasan kawasan hutan target 4.100.000 hektar terealisasi 707.346 hektar (17,25 %) dan program redistribusi tanah target 400.000 hektar terealisasi hanya 185.958 hektar (46,49 %),” papar Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) itu saat konferensi pers di Jakarta pada 19 september 2017.

Pemerintah telah membentuk tiga kelompok kerja (Pokja) yang secara langsung dikordinasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk memfasilitasi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Namun pemerintah atau Pokja yang dibentuk tersebut hanya menindaklanjuti usulan data yang terkategorisasi clean and clear, sedangkan saat ini lebih dari 90 persen data usulan masyarakat masih dalam status sengketa. Bahkan dengan membagikan sertifikat tanah, masalah ketimpangan kepemilikan pun belum bisa diselesaikan.

“Hal ini berimbas pada masih berlangsungnya konflik-konflik agraria yang menempatkan petani menjadi korban penggusuran, kekerasan maupun kriminalisasi seperti yang dialami oleh petani di Desa Mekar Jaya, Langkat, Sunatera Utara yang hari ini telah kehilangan rumah dan lahan pertaniannya, dan 10 petani di Desa Pasir Datar Indah, Sukabumi, yang dikriminalisasi,” ujar Agus Ruli (spi.or.id 19 september 2017)

Dalam artikel yang berjudul Menerka Logika “Reforma Agraria” ala Jokowi di indoprogress.com, Muhammad Adrian Gifariadi mencurigai bahwa sertifikasi, terutama untuk lahan-lahan kecil, mempercepat proses jual-beli dan pembebasan tanah. Hal ini sesuai dengan model pembangunan yang mengutamakan kelancaran investasi, salah satunya dengan membabat kendala-kendala hukum. Kelancaran investasi bisa lebih mudah dijamin ketika akumulasi bisa dilakukan dalam kerangka hukum yang akomodatif, tanpa perlu land grabbing yang relatif lebih lambat dan sarat gugatan. Menilik retorika yang digunakan pemerintah, sulit mengira bahwa sertifikasi tanah ini bertujuan lebih daripada melancarkan akuisisi.

Namun, masih menurut Adrian, praktik sertifikasi tanah prematur seperti ini bukan hanya berbenturan dengan tujuan dan tuntutan-tuntutan reforma agraria. Sertifikasi yang umumnya dipuji sebagai sarana peningkatan produktivitas sektor pertanian malah “dipasarkan” pemerintah sebagai cara mudah mendapat modal usaha. Janji nawacita akan kemandirian ekonomi yang didasari swasembada dan sektor pertanian yang kuat dikorbankan di altar kemudahan usaha. Dengan bukti dampak buruk bagi petani kecil, serta ketidakpastian adanya insentif untuk sektor tani pada umumnya, patut dipertanyakan pengalihan reforma agrarian yang menjadi sekedar sertifikasi tanah.

Jika demikian yang dilakukan pemerintah, maka apa yang harus kita lakukan? Mungkin akan lebih baik jika kita melihat apa yang harus dilakukan masyarakat itu sendiri. Di akhir artikelnya, Adrian berpesan, “…Tanpa gerakan rakyat yang konsisten menentang arah kebijakan yang dominan, apa yang akan terjadi dalam satu, dua dekade ke depan?” Mencoba menjawab pertanyaan Adrian, tanggapan dari Putut Prabowo selaku koordinator Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jawa Timur mungkin bisa sedikit mencerahkan.

Masyarakat harus menuntut Haknya
Di penghujung tahun 2017 lalu, saya mewancarai Putut di Dusun Wonogoro untuk liputan Majalah INOVASI (Majalah Lembaga Pers Mahasiswa di UIN Malang). Putut melihat bahwa program TORA ini adalah tipu daya yang dilakukan oleh rezin ini supaya rakyat berada di posisi untuk dihisap dan diperas pendapatannya. Dengan adanya TORA, yang bisa nampak sangat jelas adalah pendapatan negara melalui pajak. Ketika status kepemilikan tanah itu diklaimkan ke Perusahaan, Perhutani, atau Perkebunan, mereka selalu bermasalah dengan persoalan pajak. Perusahaan akan minta keringanan atau amnesti pajak, yang mana hal itu membuat negara tertunda mendapatkan pemasukan. Sementara, ketika TORA datang untuk memberi status kepemilikan tanah ke masyarakat kecil, sebenarnya pemerintah melihat fakta bahwa masyarakat kecil, dari kaum tani, buruh dan sebagainya itu ada kecenderungan yang likuid untuk membayar pajak.

“Nah kalau tanah ini diberikan kepada masyarakat dengan konsep TORA seperti tadi, pasti akan ada pemasukan negara yang stabil. Pungutan pajak di desa desa itu jarang sekali mengalami penunggakan. Desa dalam melakukan pemungutan pajak itu skemanya tanggung renteng, jadi biasanya desa menalangi dulu, dan dari dinas pajak mengatakan desa itu lahannya sekian jadi harus bayar sekian, itu biasanya ditalangi oleh pemerintah desa.” Ujar Putut.

Putut mengatakan bahwa dengan konsep TORA, negara itu sudah bersih penerimaannya sebelum kepala desa itu narik uang pajak ke masyarakat. Dari sekian banyak tanah yang dikategorikan terlantar (yang diproduktifkan oleh kaum tani itu) negara mendapatkan hasil.

Walaupun demikian bukan berarti masyarakat harus menolak TORA, masyarakat harus terus menuntut haknya untuk mendapatkan tanah. Sekarang seakan akan kita diarahkan ke perdebatan soal TORA dan soal RPJMN. Ini kesannya menerima atau menolak, kalau menerima ya dapat bagian kalau menolak ya jangan harap dapat bagian. Nah, kita tidak boleh terjebak oleh dikotomi itu, menolak RPJMN menolak TORA, itu tidak menghilangkan hak kita atas tanah tadi. Apalagi ada TORA berarti negara telah mengakui kalau ini objek land reform rakyat.

Menurut Putut, masyarakat tidak boleh tunduk dengan syarat-syarat yang diberikan pemerintah, tapi masyarakat harus menuntut persyaratan yang lebih adil, yang berpihak kepada rakyat. Misalkan dalam syarat TORA, tanah yang sudah didapatkan masyarakat itu tidak boleh dialihkan, tanah hanya bisa diwariskan, tapi harus dengan bukti bahwa ahli waris punya kesanggupan untuk mengolah tanah.

“Nah itu kan sesuatu yang menurut saya juga konyol, maksud saya ketika itu sudah diberikan dalam konteks TORA, sejatinya kan dia menjadi tanah komoditas, jadi tidak bisa tanah itu ditahan-tahan dijual belikan atau tidak bisa dialihfungsikan, karena masyarakat (khususnya kaum tani) sejatinya dalah kaum produktif kaum yang berproduksi dan mengikuti kondisi alam, ketika alam tidak memungkinkan untuk bercocok tanam padi dia kan tidak bisa bertanam padi, dia harus beralih kan? Jadi syarat itu yang harus dituntut.” Pungkas Putut.

Kalau kita kemudian tidak mengembalikan pada cita-cita awal tatanan awal kaum tani seperti apa, kita akan kebingungan dengan berbagai kebijakan. Padahal, sebenarnya ukuran reforma agraria itu sederhana, yaitu ketika kaum tani mampu berproduksi, dan hasil produksi sepenuhnya itu milik kaum tani. Jadi, kaum tani yang punya daulat untuk bagaimana dia membaginya, bukan terpaksa. Apalagi bukan karena pemerintah yang mengatur, tapi kaum tani yang punya kekuasaan untuk mengatur hasil produk sinya, itu keputusan kaum tani.

Nah, jika masyarakat harus melakukan hal seperti itu, lantas apa yang harus kita lakukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .