“Ambil.
Ambil. Jangan sampai kita mengatakan, wah kamu sepakat dengan konsep tora ya?
Endak, bukan kapasitas kita untuk sepakat atau tidak, tapi bahwa itu hak kita,
hak rakyat, bukan karena kita sepakat kita mengambil TORA itu, tapi karena itu
adalah hak rakyat. Ndak usah ditahan tahan, kan gitu…Ada atau tidaknya TORA,
kita tetep ambil itu, sebagai hak rakyat, kita harus ambil, tapi kita tuntut
persyaratannya agar berpihak kepada rakyat.”
-Putut
Prabowo, koordinator Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jawa Timur.
Di
sela-sela rutinitas kita yang membosankan dan menjenuhkan, konflik agraria
semakin marak. Mungkin kita tahu, konflik agraria antara masyarakat dengan
pabrik kapas sintesis PT Rayon Utama Makmur di Sukoharjo, Jawa Tengah. Konflik
agraria antara masyarakat dengan pembangunan rumah deret oleh PT Sartonia Agung
di Tamansari, Bandung. Konflik agrarian antara masyarakat Kulon Progo dengan
pembangunan bandara oleh PT Angkasa Pura I. Maupun konflik agraria di Malang
Selatan, antara masyarakat Wonogoro dengan Perhutani, serta antara masyarakat
Tirtoyudo dengan PT Perkebunan Nusantara.
Dalam
Catatan Akhir Tahun 2017 yang diluncurkan Konsorium Pembaharuan Agraria (KPA). Sebanyak
208 konflik agraria telah terjadi di sektor ini sepanjang tahun 2017, atau 32
persen dari seluruh jumlah kejadian konflik. Sektor properti menempati posisi
kedua dengan 199 (30%) jumlah kejadian konflik. Posisi ketiga ditempati sektor
infrastruktur dengan 94 konflik (14%), disusul sektor pertanian dengan 78 (12%)
kejadian konflik.
Seterusnya
sektor kehutanan dengan jumlah 30 (5%) konflik, sektor pesisir dan kelautan
sebanyak 28 (4%) konflik, dan terakhir sektor pertambangan dengan jumlah 22
(3%) kejadian konflik yang terjadi sepanjang tahun 2017. Dengan begitu, selama
tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2015-2017), telah terjadi
sebanyak 1.361 letusan konflik agraria.
Lalu
apa yang harus kita lakukan? Kita lihat pemerintah dulu. Sejak terpilih di
tahun 2014 Presiden Joko Widodo mengusung program reforma agraria. Dalam nawacitanya,
Presiden Joko Widodo menjanjikan redistribusi 9 juta hektar tanah, yang
kemudian tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019. Sayangnya, program ini tidak berjalan mulus. Sampai saat ini,
ketimpangan kepemilikan tanah masih tinggi, dan petani bedara dalam kepemilikan
terkecil.
Mempertanyakan
Niat Pemerintah
Seperti
yang dilansir spi.or.id, Agus Ruli, menilai bahwa pemerintah tidak
serius dalam menjalankan reforma agraria. Pemerintah tidak memiliki data yang
jelas terkait obyek maupun subyek dari sertifikasi maupun pelepasan kawasan
hutan tersebut. Program sertifikasi tanah dan pelepasan kawasan hutan tersebut
terlihat mangkrak yang memperlihatkan tidak adanya kemauan politik pemerintah.
“Berdasarkan
data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional hingga
per 24 Agustus tahun 2017 untuk program sertifikasi tanah transmigrasi target
600.000 hektar terealisasi 32.820 hektar (5,4%), program legalisasi aset target
3.900.000 hektar terealisasi 1.189.349 hektar (30,49%), program pelepasan
kawasan hutan target 4.100.000 hektar terealisasi 707.346 hektar (17,25 %) dan
program redistribusi tanah target 400.000 hektar terealisasi hanya 185.958
hektar (46,49 %),” papar Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat
Petani Indonesia (SPI) itu saat konferensi pers di Jakarta pada 19 september
2017.
Pemerintah
telah membentuk tiga kelompok kerja (Pokja) yang secara langsung dikordinasi
oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk memfasilitasi
Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Namun pemerintah atau Pokja yang dibentuk
tersebut hanya menindaklanjuti usulan data yang terkategorisasi clean and
clear, sedangkan saat ini lebih dari 90 persen data usulan masyarakat masih
dalam status sengketa. Bahkan dengan membagikan sertifikat tanah, masalah ketimpangan
kepemilikan pun belum bisa diselesaikan.
“Hal
ini berimbas pada masih berlangsungnya konflik-konflik agraria yang menempatkan
petani menjadi korban penggusuran, kekerasan maupun kriminalisasi seperti yang
dialami oleh petani di Desa Mekar Jaya, Langkat, Sunatera Utara yang hari ini
telah kehilangan rumah dan lahan pertaniannya, dan 10 petani di Desa Pasir
Datar Indah, Sukabumi, yang dikriminalisasi,” ujar Agus Ruli (spi.or.id 19
september 2017)
Dalam
artikel yang berjudul Menerka Logika “Reforma Agraria” ala Jokowi di indoprogress.com,
Muhammad Adrian Gifariadi mencurigai bahwa sertifikasi, terutama untuk
lahan-lahan kecil, mempercepat proses jual-beli dan pembebasan tanah. Hal ini sesuai
dengan model pembangunan yang mengutamakan kelancaran investasi, salah satunya
dengan membabat kendala-kendala hukum. Kelancaran investasi bisa lebih mudah
dijamin ketika akumulasi bisa dilakukan dalam kerangka hukum yang akomodatif,
tanpa perlu land grabbing yang relatif lebih lambat dan sarat gugatan.
Menilik retorika yang digunakan pemerintah, sulit mengira bahwa sertifikasi
tanah ini bertujuan lebih daripada melancarkan akuisisi.
Namun, masih menurut Adrian, praktik
sertifikasi tanah prematur seperti ini bukan hanya berbenturan dengan tujuan
dan tuntutan-tuntutan reforma agraria. Sertifikasi yang umumnya dipuji sebagai
sarana peningkatan produktivitas sektor pertanian malah “dipasarkan” pemerintah
sebagai cara mudah mendapat modal usaha. Janji nawacita akan kemandirian
ekonomi yang didasari swasembada dan sektor pertanian yang kuat dikorbankan di
altar kemudahan usaha. Dengan bukti dampak buruk bagi petani kecil, serta
ketidakpastian adanya insentif untuk sektor tani pada umumnya, patut dipertanyakan
pengalihan reforma agrarian yang menjadi sekedar
sertifikasi tanah.
Jika demikian yang dilakukan pemerintah,
maka apa yang harus kita lakukan? Mungkin akan lebih baik jika kita melihat apa
yang harus dilakukan masyarakat itu sendiri. Di akhir artikelnya, Adrian berpesan,
“…Tanpa gerakan rakyat yang konsisten menentang arah kebijakan yang dominan,
apa yang akan terjadi dalam satu, dua dekade ke depan?” Mencoba menjawab
pertanyaan Adrian, tanggapan dari Putut Prabowo selaku koordinator Aliansi
Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jawa Timur mungkin bisa sedikit mencerahkan.
Masyarakat harus menuntut Haknya
Di penghujung tahun 2017 lalu, saya
mewancarai Putut di Dusun Wonogoro untuk liputan Majalah INOVASI (Majalah
Lembaga Pers Mahasiswa di UIN Malang). Putut melihat bahwa program TORA ini
adalah tipu daya yang dilakukan oleh rezin ini supaya rakyat berada di posisi
untuk dihisap dan diperas pendapatannya. Dengan adanya TORA, yang bisa nampak
sangat jelas adalah pendapatan negara melalui pajak. Ketika status kepemilikan
tanah itu diklaimkan ke Perusahaan, Perhutani, atau Perkebunan, mereka selalu
bermasalah dengan persoalan pajak. Perusahaan akan minta keringanan atau amnesti
pajak, yang mana hal itu membuat negara tertunda mendapatkan pemasukan.
Sementara, ketika TORA datang untuk memberi status kepemilikan tanah ke masyarakat
kecil, sebenarnya pemerintah melihat fakta bahwa masyarakat kecil, dari kaum
tani, buruh dan sebagainya itu ada kecenderungan yang likuid untuk membayar
pajak.
“Nah
kalau tanah ini diberikan kepada masyarakat dengan konsep TORA seperti tadi, pasti
akan ada pemasukan negara yang stabil. Pungutan pajak di desa desa itu jarang
sekali mengalami penunggakan. Desa dalam melakukan pemungutan pajak itu
skemanya tanggung renteng, jadi biasanya desa menalangi dulu, dan dari dinas
pajak mengatakan desa itu lahannya sekian jadi harus bayar sekian, itu biasanya
ditalangi oleh pemerintah desa.” Ujar Putut.
Putut
mengatakan bahwa dengan konsep TORA, negara itu sudah bersih penerimaannya
sebelum kepala desa itu narik uang pajak ke masyarakat. Dari sekian banyak tanah
yang dikategorikan terlantar (yang diproduktifkan oleh kaum tani itu) negara
mendapatkan hasil.
Walaupun
demikian bukan berarti masyarakat harus menolak TORA, masyarakat harus terus
menuntut haknya untuk mendapatkan tanah. Sekarang seakan akan kita diarahkan ke
perdebatan soal TORA dan soal RPJMN. Ini kesannya menerima atau menolak, kalau
menerima ya dapat bagian kalau menolak ya jangan harap dapat bagian. Nah, kita
tidak boleh terjebak oleh dikotomi itu, menolak RPJMN menolak TORA, itu tidak
menghilangkan hak kita atas tanah tadi. Apalagi ada TORA berarti negara telah
mengakui kalau ini objek land reform rakyat.
Menurut
Putut, masyarakat tidak boleh tunduk dengan syarat-syarat yang diberikan pemerintah,
tapi masyarakat harus menuntut persyaratan yang lebih adil, yang berpihak
kepada rakyat. Misalkan dalam syarat TORA, tanah yang sudah didapatkan
masyarakat itu tidak boleh dialihkan, tanah hanya bisa diwariskan, tapi harus
dengan bukti bahwa ahli waris punya kesanggupan untuk mengolah tanah.
“Nah
itu kan sesuatu yang menurut saya juga konyol, maksud saya ketika itu sudah
diberikan dalam konteks TORA, sejatinya kan dia menjadi tanah komoditas, jadi tidak
bisa tanah itu ditahan-tahan dijual belikan atau tidak bisa dialihfungsikan,
karena masyarakat (khususnya kaum tani) sejatinya dalah kaum produktif kaum
yang berproduksi dan mengikuti kondisi alam, ketika alam tidak memungkinkan
untuk bercocok tanam padi dia kan tidak bisa bertanam padi, dia harus beralih
kan? Jadi syarat itu yang harus dituntut.” Pungkas Putut.
Kalau
kita kemudian tidak mengembalikan pada cita-cita awal tatanan awal kaum tani
seperti apa, kita akan kebingungan dengan berbagai kebijakan. Padahal, sebenarnya
ukuran reforma agraria itu sederhana, yaitu ketika kaum tani mampu berproduksi,
dan hasil produksi sepenuhnya itu milik kaum tani. Jadi, kaum tani yang punya
daulat untuk bagaimana dia membaginya, bukan terpaksa. Apalagi bukan karena pemerintah
yang mengatur, tapi kaum tani yang punya kekuasaan untuk mengatur hasil produk sinya,
itu keputusan kaum tani.
Nah,
jika masyarakat harus melakukan hal seperti itu, lantas apa yang harus kita
lakukan?
Komentar
Posting Komentar