Divisi ini bernama diskusi. Yang
menyebabkan divisi ini bernama diskusi, tentu karena divisi ini melakukan
kegiatan diskusi. Namun bagaimana jika divisi ini tidak melakukan kegiatan
diskusi, apakah namanya masih divisi diskusi? Memang kenapa kita harus
berdiskusi? Kenapa kita tidak berdiskusi? Kita punya jawaban masing-masing.
Tapi sebenarnya, sejak awal, yang membuat kita bisa berkumpul untuk berdiskusi
adalah satu hal yang bernama “ketidakpercayaan”.
Manfaat itu ada, tapi bukan
berarti “tidak ada manfaat” jika kita tidak mengambilnya. Tanpa mengambilnya,
kita masih baik-baik saja. Walaupun tidak berdiskusi, tidak ada masalah bagi
kita.
Tapi bukankah organisasi ini akan
berada di situasi yang berbahaya, ketika kita merasakan bahwa semuanya sedang
baik-baik saja? Saya masih memikirkannya, dan saya tidak ingin melepaskan
pemikiran ini.
Tapi terlepas dari
pikiran-pikiran itu, divisi ini tetap berjalan seiring dengan waktu yang tak
bisa berjalan mundur. Dengan anggota yang berbakat di bidangnya, divisi ini
siap meluncu menerjang waktu. Sebagai Koordinator divisi, saya tidak akan
pernah bisa melangkah lebih jauh tanpa berjalan bersama mereka. Karena memang
di awal pengurusan, saya cukup kesulitan untuk menempatkan mereka di posisi
yang paling sesuai dalam divisi diskusi.
Yang pertama Kholil, teman satu
angkatan yang selalu ceria, walaupun ada kesedihan dibalik keceriaannya. Kholil
mempunyai bakat di bidang wacana Islam. Dalam divisi diskusi saya meminta
bantuannya untuk mengelola administrasi buku. Hasilnya, ada daftar buku,
beserta genrenya, semua dicatat di komputer ukm. Namun sepertinya ada yang
kurang dengan posisinya, saya tidak tahu apa. Tapi kekurangan itu saya rasakan
ketika saya harus sekali-kali mengingatkannya untuk menagih buku yang dipinjam
teman-teman.
Hal yang paling mengejutkan
adalah ketika kholil mendapat musibah yang menyangkut keluarga dan ekonominya,
yang pasti ia harus bekerja, supaya bisa terus kuliah. Ia pun harus vakum dari
kepengurusan organisasi ini. Katanya “aku pasti akan kembali, tapi sekarang
bukan waktu yang tepat”. Setelah itu, ketika bertemu dengan kholil di fakultas,
atau sekedar papasan di jalan, saya hanya menyapanya dengan senyum dan
menanyakan kabarnya. Tidak berani yang lain. Sebagai teman, sepertinya saya
belum mampu membantunya, atau sekedar memahaminya.
Berikutnya, uswah, teman senior
yang menyayangi kucing. Saya sering memanggilnya “mbak us”. Mbak us ini
berbakat di bidang pembantaian prinsip dasar manusia. Saya lupa meminta tolong
mbak us untuk memegang tanggungjawab apa, kalau nggak diskusi pengurus ya diskusi bersama. Satunya mbak us, satunya
lagi saya. Seingat saya, diawal pengurusan, yang mengurusi diskusi pengurus dan
diskusi bersama hanyalah saya, dari hubungi pemateri, nagih TOR, bikin absen
sampai beli jajan. Mbak us hanya mengumumkan lewat wa saja. Namun untuk tiap
tema diskusi dalam satu bulan, mbak us lah yang paling sering hadir (seingat
saya lagi). Selain itu, mbak us sangat membantu divisi ini ketika iklim diskusi
semakin redup, mbak us lah yang mengompori pengurus untuk banyak baca dan
memancing anggota magang untuk hadir diskusi. jujur saya tidak bisa melakukan
hal itu. Karena yang bisa melakukannya hanya mbak us, mari tepuk tangan…
Satu lagi. Ketika di akhir
pengurusan dan kala itu saya sibuk-sibuknya konser, mbak us lah yang
menggantikan posisi saya untuk mengambil kendali diskusi dengan tema filsafat.
Walaupun saya tak bisa ikut diskusi, saya yakin kalau diskusi berjalan dengan
baik. Dan walaupun saya tidak punya WA, saya tahu kalau di grup sedang ramai
bahas filsafat, kala itu.
Yang ketiga, muthia, the lady rose. Saya memanggilnya mbak
mut. Mbak mut berbakat di bidang pembelaan Hak Asasi manusia. Ia memegang
tanggungjawab nobar, pada awalnya. Namun, waktu berganti dan rencana tak bisa
berjalan lancar. Sulit menjelaskannya. Atau hanya saya yang kesulitan
berkoordinasi dengan mbak mut, kalau soal divisi. Maaf ya, mbak mut…
Yang keempat, icil, mantan PU
yang dikemudian hari menjadi sekjend PPMI. Awalnya saya memanggilnya “mas cil”,
dan suatu hari saya hanya memanggilnya “cil” sampai sekarang. Icil berbakat di
bidang jurnalistik dan kepemimpinan. Awalnya icil memegang tanggungjawab
diskusi publik dan sekolah logika. Keduanya tidak berjalan. Saya mengetahui itu
ketika ia menjadi sekjend dan berkata “jadwalku padet, yu, koyoke aku gak iso
bantu akeh” begitulah kira-kira. Karena itu saya coba ambil inisiatif, untuk
diskusi publik saya merencanakan untuk diskusi dengan tema pendidikan,
lingkungan dan HAM. Namun semua hanya berhenti di tatanan konsep, walaupun
dengan bantuan mbak mut dan mbak us. Sekolah logika, apalagi,,,tidak ada yang
tahu bagaimana ide dan konsepnya. Sekolah logika seperti sesuatu yang muncul
dari ketiadaan.
Begitulah sedikit narasi tentang
divisi diskusi, pada akhirnya memang saya yang belum mampu menjalankan tugas
sebagai koordinator. Dan pada akhirnya, memang membudayakan membaca dan
berdiskusi itu sulit dilakukan, tapi lebih sulit lagi untuk tidak memaksa
seseorang untuk membaca dan berdiskusi. Dengan segala manfaat yang kita anggap
sebagai manfaat.
*Tulisan ini adalah narasi untuk Lembar Pertanggungjawaban Divisi Diskusi UAPM Inovasi 2016
*Tulisan ini adalah narasi untuk Lembar Pertanggungjawaban Divisi Diskusi UAPM Inovasi 2016
Komentar
Posting Komentar