Langsung ke konten utama

Mikuwah (Muthia Icil Kholil Uswah Wahyu)*

Divisi ini bernama diskusi. Yang menyebabkan divisi ini bernama diskusi, tentu karena divisi ini melakukan kegiatan diskusi. Namun bagaimana jika divisi ini tidak melakukan kegiatan diskusi, apakah namanya masih divisi diskusi? Memang kenapa kita harus berdiskusi? Kenapa kita tidak berdiskusi? Kita punya jawaban masing-masing. Tapi sebenarnya, sejak awal, yang membuat kita bisa berkumpul untuk berdiskusi adalah satu hal yang bernama “ketidakpercayaan”.
Ketidakpercayaan itu seperti “diskusi akan terus berjalan walaupun hanya dengan dua orang”. Dari sini kita sedikit tahu bahwa, ketidakharusan untuk berdiskusi itu lebih besar dari keharusan untuk berdiskusi.

Manfaat itu ada, tapi bukan berarti “tidak ada manfaat” jika kita tidak mengambilnya. Tanpa mengambilnya, kita masih baik-baik saja. Walaupun tidak berdiskusi, tidak ada masalah bagi kita.

Tapi bukankah organisasi ini akan berada di situasi yang berbahaya, ketika kita merasakan bahwa semuanya sedang baik-baik saja? Saya masih memikirkannya, dan saya tidak ingin melepaskan pemikiran ini.


Tapi terlepas dari pikiran-pikiran itu, divisi ini tetap berjalan seiring dengan waktu yang tak bisa berjalan mundur. Dengan anggota yang berbakat di bidangnya, divisi ini siap meluncu menerjang waktu. Sebagai Koordinator divisi, saya tidak akan pernah bisa melangkah lebih jauh tanpa berjalan bersama mereka. Karena memang di awal pengurusan, saya cukup kesulitan untuk menempatkan mereka di posisi yang paling sesuai dalam divisi diskusi.


Yang pertama Kholil, teman satu angkatan yang selalu ceria, walaupun ada kesedihan dibalik keceriaannya. Kholil mempunyai bakat di bidang wacana Islam. Dalam divisi diskusi saya meminta bantuannya untuk mengelola administrasi buku. Hasilnya, ada daftar buku, beserta genrenya, semua dicatat di komputer ukm. Namun sepertinya ada yang kurang dengan posisinya, saya tidak tahu apa. Tapi kekurangan itu saya rasakan ketika saya harus sekali-kali mengingatkannya untuk menagih buku yang dipinjam teman-teman.


Hal yang paling mengejutkan adalah ketika kholil mendapat musibah yang menyangkut keluarga dan ekonominya, yang pasti ia harus bekerja, supaya bisa terus kuliah. Ia pun harus vakum dari kepengurusan organisasi ini. Katanya “aku pasti akan kembali, tapi sekarang bukan waktu yang tepat”. Setelah itu, ketika bertemu dengan kholil di fakultas, atau sekedar papasan di jalan, saya hanya menyapanya dengan senyum dan menanyakan kabarnya. Tidak berani yang lain. Sebagai teman, sepertinya saya belum mampu membantunya, atau sekedar memahaminya.


Berikutnya, uswah, teman senior yang menyayangi kucing. Saya sering memanggilnya “mbak us”. Mbak us ini berbakat di bidang pembantaian prinsip dasar manusia. Saya lupa meminta tolong mbak us untuk memegang tanggungjawab apa, kalau nggak diskusi pengurus ya diskusi bersama. Satunya mbak us, satunya lagi saya. Seingat saya, diawal pengurusan, yang mengurusi diskusi pengurus dan diskusi bersama hanyalah saya, dari hubungi pemateri, nagih TOR, bikin absen sampai beli jajan. Mbak us hanya mengumumkan lewat wa saja. Namun untuk tiap tema diskusi dalam satu bulan, mbak us lah yang paling sering hadir (seingat saya lagi). Selain itu, mbak us sangat membantu divisi ini ketika iklim diskusi semakin redup, mbak us lah yang mengompori pengurus untuk banyak baca dan memancing anggota magang untuk hadir diskusi. jujur saya tidak bisa melakukan hal itu. Karena yang bisa melakukannya hanya mbak us, mari tepuk tangan…


Satu lagi. Ketika di akhir pengurusan dan kala itu saya sibuk-sibuknya konser, mbak us lah yang menggantikan posisi saya untuk mengambil kendali diskusi dengan tema filsafat. Walaupun saya tak bisa ikut diskusi, saya yakin kalau diskusi berjalan dengan baik. Dan walaupun saya tidak punya WA, saya tahu kalau di grup sedang ramai bahas filsafat, kala itu.


Yang ketiga, muthia, the lady rose. Saya memanggilnya mbak mut. Mbak mut berbakat di bidang pembelaan Hak Asasi manusia. Ia memegang tanggungjawab nobar, pada awalnya. Namun, waktu berganti dan rencana tak bisa berjalan lancar. Sulit menjelaskannya. Atau hanya saya yang kesulitan berkoordinasi dengan mbak mut, kalau soal divisi. Maaf ya, mbak mut…


Yang keempat, icil, mantan PU yang dikemudian hari menjadi sekjend PPMI. Awalnya saya memanggilnya “mas cil”, dan suatu hari saya hanya memanggilnya “cil” sampai sekarang. Icil berbakat di bidang jurnalistik dan kepemimpinan. Awalnya icil memegang tanggungjawab diskusi publik dan sekolah logika. Keduanya tidak berjalan. Saya mengetahui itu ketika ia menjadi sekjend dan berkata “jadwalku padet, yu, koyoke aku gak iso bantu akeh” begitulah kira-kira. Karena itu saya coba ambil inisiatif, untuk diskusi publik saya merencanakan untuk diskusi dengan tema pendidikan, lingkungan dan HAM. Namun semua hanya berhenti di tatanan konsep, walaupun dengan bantuan mbak mut dan mbak us. Sekolah logika, apalagi,,,tidak ada yang tahu bagaimana ide dan konsepnya. Sekolah logika seperti sesuatu yang muncul dari ketiadaan.


Begitulah sedikit narasi tentang divisi diskusi, pada akhirnya memang saya yang belum mampu menjalankan tugas sebagai koordinator. Dan pada akhirnya, memang membudayakan membaca dan berdiskusi itu sulit dilakukan, tapi lebih sulit lagi untuk tidak memaksa seseorang untuk membaca dan berdiskusi. Dengan segala manfaat yang kita anggap sebagai manfaat.




*Tulisan ini adalah narasi untuk Lembar Pertanggungjawaban Divisi Diskusi UAPM Inovasi 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .