Di
warung kopi itu aku melihat seorang pengamen perempuan. Rambutnya pendek rapi
seperti lelaki. Ia berdiri di depan warung kopi sambil memainkan krincingnya. Nadanya
monoton, ia tak masuk ke warung kopi juga tak menghampiri pelanggan seperti
pengamen biasanya.
Lalu,
perempuan itu pergi setelah aku memberinya recehan 700 rupiah. “Kasihan ya,”
ujar temanku, setelah aku kembali duduk. Melihat perempuan itu pergi, aku memikirkan,
dari mana ia datang?
Kemudian,
sosok Ibu yang pernah aku lihat datang mengamen ke warung kopi itu. Selang
beberapa menit dari kepergian pengamen perempuan tadi. Tak seperti pengamen
perempuan sebelumnya, Ibu itu berjalan masuk ke dalam warung kopi. Mengamen
lalu pergi.
Aku
tak begitu ingat apa yang terjadi setelah hari-hari itu. Sepertinya semua
berjalan seperti biasanya. Bangun pagi, makan, mandi, menulis, ngopi, tidur.
Namun, entah mengapa dibeberapa kali kesempatan aku bertemu dengan perempuan
dan ibunya itu. Di depan warung setelah aku selesai makan malam. Dari warung
kopi ke warung kopi ketika aku ngopi sama teman-teman.
Wajah
mereka selalu datar. Aku tak melihat warna-warna kehidupan dari wajah mereka.
Tak seperti pengamen-pengamen lain yang sepertinya begitu menikmati alunan
musik bikinannya dengan riang. Apakah kehidupan yang mereka jalani begitu
sulit? Apakah ada rasa yang mereka pendam? Entahlah, aku tak tahu dan tak
berani untuk mengetahuinya.
Jika
ada orang yang membutuhkan bantuan, apa kamu akan menolongnya? Jika ada orang
yang bersedih, apa kamu akan menghiburnya? Jika ada tamu datang, apa kamu akan
menyambutnya? Aku selalu memikirkan pertanyaan ini. Sepertinya
pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan hal-hal seperti kepedulian, simpati,
empati, persaudaraan dan kemanusiaan. Setelah lama-lama aku memikirkannya,
kemudian aku menemukan satu jawaban. “Aku akan menolong orang, menghibur atau
menyambutnya selama aku mengenal orang itu.”
Dan
secara tidak sadar aku telah membagi kategori-kategori dalam tidak mengenal
orang lain. Bukan sekedar mendikotomikan kenal dan tak kenal. Tapi aku, secara
tidak sadar, lebih dari itu telah mengkategorikan orang yang tidak aku kenal. Walaupun
tidak kenal, ada orang-orang yang secara sadar aku akui keberadaannya, seperti
perempuan cantik, penulis, dosen, kerabat jauh. Tapi ada juga orang-orang yang
tidak aku kenal yang secara tidak sadar (sekarang aku menyadarinya) tidak aku
akui. Seperti pengemis atau pengamen.
Ya,
semua karena kenal atau tidaknya dan bagaimana aku secara sadar maupun tidak
sadar telah mengkategorikan orang yang tidak aku kenal. Aku begitu menyadari
hal ini ketika, ada kakek-kakek yang sedang naik sepeda ditabrak motor. Aku
berhenti, menghampirinya, menyeret sepeda yang jatuh di jalan, sementara
orang-orang disekitar mengangkat si kakek, lalu membaringkannya di pinggir
jalan. Beberapa orang menolong, tapi ada juga orang-orang lain yang tetap
melanjutkan pekerjaannya.
Aku
yang melihat kondisi saat itu, melihat kakek yang berlumuran darah, melihat si
penabrak yang meringih kesakitan. Tiba-tiba aku menyimpulkan kalau semua akan
baik-baik saja. Karena ada orang-orang yang masih peduli. Aku pun pergi,
melanjutkan perjalanan yang waktu itu aku sedang ingin pulang. Di sepanjang
jalan aku berpikir, kenapa aku tidak menolong si kakek? Katena aku tidak
mengenalnya, aku membayangkan kalau itu kakekku, tak mungkin aku
meninggalkannya.
Kejadian-kejadian
ini (pertemuan-pertemuan dengan orang-orang seperti pengamen perempuan dan
ibunya, atau si kakek yang ditabrak) mungkin akan terus berulang. Selama aku
terus mengkategorikan mereka kedalam orang-orang yang tidak aku kenal karena
aku tidak mengakuinya. Selama aku terus memikirkan mereka saja tanpa
memberanikan diri untuk membantu mereka. Selama aku hanya menulis tanpa melawan
ketidakpedulian-ketidakpedulian ini.
Komentar
Posting Komentar