Beberapa
hal pernah kutulis, entah hal yang aku ketahui maupun hal yang belum aku
ketahui sebelumnya. Entah memang karena ingin menulisnya maupun mencari tahu
dulu, baru menulisnya. Atau, menulis apapun saat itu juga ketika ada yang
mengajak menulis bareng. Semua bermuara pada kata-kata apa yang aku pilih untuk
menyampaikan makna tulisanku.
Setiap
memulai menulis, hal yang pertama kulakukan adalah menyusun apa yang ingin aku
tulis dalam beberapa kata. Susunan ini aku maksudkan sebagai poin-poin makna
yang ingin aku sampaikan dalam satu tulisan itu. Ini penting bagiku, karena
menulis itu seperti berjalan di lorong yang gelap. Untuk melewati lorong itu
aku membutuhkan lampu, dan setiap susunan kata yang aku siapkan adalah
lampunya. Tiap lampu memiliki warnanya sendiri. Kulemparkan satu lampu itu ke
depan, aku melangkah sampai di tempat lampu yang aku lempar terjatuh. Lalu aku
lempar satu lampu lagi, dan berjalan ke depan lagi, begitu seterusnya sampai
lampuku habis.
Setelah
lampu terakir kulempar dan aku berdiri di tempat lampu terakhir itu, aku diam
sejenak. Kemudian aku menengok ke belakang, kulihat lorong dengan lampu-lampu
yang sudah aku jatuhkan. Tampak sedikit mengesankan. Tapi aku berpikir, apa ada
yang kurang? Setelah sedikit merenung, aku melangkahkan kaki ke belakang,
melewati lorong, melewati lampu-lampu yang kujatuhkan, sampai ke lampu pertama.
Ketika
kembali di lampu pertama, aku mengeluarkan alat-alat untuk mendekorasi lorong
itu. Aku bawa semua yang perlu. Lampu lampu lain untuk menerangi seluruh
lorong, listrik sebagai sumber cahayanya, kabel-kabel yang ruwet dan panjang
untuk menyambungkan listrik. Aku mulai memasang lampu-lampu itu, sendirian, dan
pasti capek. Untuk menemani diriku sendiri, biasanya aku membikin kopi dan
memutar musik. Berharap supaya mataku selalu melek dan jiwaku tak merasa sepi.
Selesai
memasang lampu sampai di tempat lampu yang terakhir aku lemparkan, aku
merebahkan diri ke lantai. Mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya. Memejamkan
mata dan diam sejenak. Ketika sudah selesai, aku membalikkan badanku hingga
tengkurap. Aku lihat lorong yang tadinya gelap itu sekarang penuh cahaya
lampu-lampuku. Namun aku berpikir lagi, apa ada yang kurang? Tubuhku segera
berdiri, berjalan kembali ke tempat lampu pertama.
Kali
ini aku harus memilih, harus kuisi dengan apa lorong bercahaya itu? Aku bisa
berpikir lama atau sebentar sampai membulatkan pilihanku. Tapi selalu, tidak,
seringnya aku tak mengisi lorong bercahaya itu dengan apapun. Kubiarkan lorong
bercahaya itu kosong. Imajinasi, bagiku sudah cukup untuk mengisi kekosongan
itu. Bukan masalah berani atau tidak maupun mau atau tidak, tapi dengan
membiarkannya kosong aku memberi kesempatan siapapun yang melihat lorong itu
untuk mengisinya dengan apapun yang ia inginkan.
Kira
kira, sepertilah menulis bagiku. Listrik adalah pikiran dengan ide-ide, kabel
adalah wadah untuk menulis entah ketas atau apapun, sementara lampu adalah
kata-kata. Aku memilih lampu dengan warna sesuai seperti memilih kata dengan
makna yang sesuai untuk melengkapi isi lorong itu dari awal sampai akhir.
Hingga ketika selesai, aku tanya ke diriku sendiri, aku koreksi apa ada yang
kurang? Apa ada lampu yang aku pasang tapi tak sesuai dengan yang seharusnya?
Apa ada kata yang kutulis tapi tidak sesuai ejaan yang benar? Apakah warna
lampu yang aku pasang sudah membuat orang yang melihatnya memahami makna yang
ingin kusampaikan? Apakah kata yang aku pilih sudah membuat orang yang
membacanya memahami makna yang ingin aku sampaikan?
Tapi
tak masalah jika orang memiliki pemaknaannya sendiri. Tak masalah jika orang-orang ingin mengisi lorong itu
menjadi ruang tamu, tempat tidur, dapur, warung kopi, tempat baca buku maupun
yang lainnya. Jika ada hal yang tidak sesuai dengan keinginanku diisikan di
lorong itu, atau ada orang yang saling bertentangan dengan apa yang harusnya
diisi, hal itu tetap tidak menjadi masalah. Mereka dan aku, hanya butuh tempat
untuk berbicara, mengungkapkan gagasan masing-masing dan saling mendengarkan
gagasan orang lain. Mempertanykan, menguji, membandingkan, dan mempertanyakan
lagi, terus menerus, sampai kesepakatan atau kesepahaman tercapai. Butuh waktu
dan tenaga yang tak sedikit memang, di satu sisi kita ingin mengungkapkan isi
seluruh gagasan diri sendiri dan disisi lain kita harus memahami isi seluruh
gagasan orang lain. Tak apa, meski demikian, ini tetaplah hal yang menyenangkan
bagiku.
Seperti
itulah salah satu hal yang terjadi setiap hari, ketika lorong itu bercahaya.
Jika terjadi seperti itu, biasanya suasana akan ramai. Kadang aku masuk ke
keramaian itu, kadang aku hanya memandanginya dari jauh. Ini juga menyenangkan.
Tapi
yang lebih menyenangkan adalah ketika keramaian itu perlahan-lahan menghilang
hingga suasana menjadi sepi. Di saat seperti itu aku biasanya kembali ke lorong
itu sendirian sambil membawa secangkir kopi. Aku melangkah melewati lampu-lampu
di lorong itu. Sampai aku tiba di lampu terakir. Di situ aku duduk jongkok. Aku
duduk di tempat yang bercahaya, sementara tepat di depanku ada kegelapan yang
sebelumnya kutinggalkan. Kuminum kopiku, lalu kuletakkan lagi di lantai.
Kupandangi kegelapan itu lama-lama. Aku menunggu suara, tapi takkudengar
apa-apa, aku menunggu sesuatu datang mengejutkanku, tapi tak ada apapun yang
keluar.
Di
saat seperti itu aku berpikir, bahwa aku dan orang-orang begitu egois dan
sombong dengan masing-masing gagasan yang dipercayai. Kita menunggalkan isi
lorong itu, padahal kebenarannya adalah bahwa lorong itu gelap, tak ada makna
apapun di sana, kitalah yang menciptakan makna itu. Bahwa, kita selalu
menginginkan lorong itu terisi dengan gagasan kita, yang paling kita anggap
benar, yang tidak sesuai dengan gagasan kita adalah yang salah. Tapi kita tidak
mengakui bahwa lorong itu berisi benar dan salah, hitam dan putih, semuanya
bercampur.
Pernah
aku mencoba melangkah lebih jauh, dengan memasang lampu lagi ke depan, dan
terus ke depan yang sangat jauh, hingga aku menemui sebuah tirai. Kusingkap
tirai itu, dan yang aku temukan adalah kegelapan, lagi. Ketika aku ingin
memasang lampu lagi, aku mengurungkan niatku. Aku kembali menutup tirai itu.
Bagiku sudah cukup untuk melangkah sejauh ini. Mengetahui kebenaran yang tak
banyak orang ketahui. Sekarang waktunya kembali ke lampu pertama, sambil
mematikan semua lampu yang aku lewati, kecuali lampu terakhir yang pertama
kupasang. Cahaya itu cukup sampai sini saja.
Sekarang,
saatnya untuk menceritakan apa yang aku ketahui kepada orang lain, entah orang
mau mempercayai, atau tak mempercayai ceritaku. Entah orang mau setuju atau tak
setuju dengan saranku untuk tidak memasuki tirai itu. Itu tak masalah. Yang
ingin tahu kebenarannya bisa mencari sendiri. Ketika orang-orang sudah merasa
cukup dalam pencariannya, kusiapkan diri untuk mendengarnya.
Tapi
di setiap perbincangan itu, maupun setelah perbincangan itu selesai ada yang
selalu ingin aku sampaikan dan aku lakukan. Entah apapun kebenarannya atau
makna dari kebenaran itu yang tak pernah ada, kalau orang menganggap apa yang
dia yakini adalah yang paling benar, sehingga ia menyalahkan yang tidak sesuai
dengan kebenarannya, sehingga ia memaksakan kehendaknya kepada orang lain,
sehingga ia mematikan apa-apa yang tidak sesuai dengan yang diyakininya, orang
itu harus dilawan. Aku harus bertarung dengan orang itu, sampai orang itu
kalah.
Namun
tak akan kumatikan ia. Aku tunggu ia bangkit lagi, lalu aku bertarung dengannya
lagi. Sampai ia sadar kalau ia begitu sombong, sadar kalau ada kebenaran lain
di luar yang dipercayainya, sadar bahwa yang salah itu tak selamanya harus
dimatikan. Tapi itu jika yang kulawan hanya satu orang, jika yang aku lawan
adalah orang banyak, sistem, budaya, agama dan hal-hal yang lebih besar
lainnya. aku membutuhkan teman untuk merapatkan barisan dan melawan. Tak kan
kubiarkan kepercayaan dan kehendak mereka membunuh yang lain. Walaupun ada
kesenangan tertentu ketika melawan sendirian.
Ceritanya
pun melebar dari menulis ke melawan. Ya, karena kalau menulis saja itu
mengecewakan. Kita bisa mengungkapkan sesuatu atau menunjukkan keberadaan kita
atas suatu peristiwa atau fenomena yang terjadi. Tapi selama hanya menulis,
makna yang ingin kita sampaikan dan keberadaan kita hanya ada di tulisan, di
angan-angan. Kita tak benar-benar berada di kenyataan itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar