Langsung ke konten utama

Jika Differance Adalah Alasan untuk Malas

Selasa, 16 Januari 2018, aku menuliskan judul untuk tulisan ini. Judulnya seperti yang ada di atas, lalu ada beberapa kata yang menjadi kerangka tulisan. Kata-kata itu adalah “Konsep difeerance derrida/Menulis, makna, dan typo/Papan, Sandang, Makan/Tujuan hidup. Kemudian saya kepikirandan mau melanjutkan tulisannya saat ini, kamis 19 april 2018. Masih teringat apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan, tentang hasil pembacaan saya setelah membaca Derrida (filsuf postmoderen) dan mencoba mengkritik persepsinya terhadap teks dan kehidupan.

Mungkin agak meninggi bahasan saya ya? Ya paling tidak intinya seperti judul di atas, “Jika Differance Adalah Alasan untuk Malas.” Nah, apa itu maksudnya? Saya sendiri gak begitu paham, sudah lama sejak terakhir saya membaca Derrida, jadi sudah agak lupa. Tapi hal ini tak kemudian membuat saya mengambil buku Derrida atau membaca artikel-artikel d iinternet untuk mengingat-ngingatnya. Saya lebih suka bertarung dengan seluruh ingatan saya yang terbatas untuk menulis.

Jadi, gini lho. Intinya saya mau nulis satu tulisan, tapi saya malas untuk menulis. Banyak sekali tulisan saya yang isinya hanya kerangka-kerangka tulisan. Saya tak bisa membiarkan apa yang saya pikirkan dan gagasan saya itu hilang gitu saja. Saya ingin meninggalkan jejak, setidaknya ya, dengan menulis kerangka tulisan.

Tapi semakin ke sini saya semakin menyadari kalau saya menulis bukan karena ingin menulis di saat yang tepat atau menyiapkan kerangka dan data yang kuat untuk tulisan saya. Ternyata, terkadang saya hanya malas. Lalu, saya kepikiran pas baca Derrida, dengan konsep Differencenya. Awalnya si Derrida kan mencoba menolak kesimpulan akhir dan menolak makna tunggal. Derrida ingin menunda semua yang akhir dan tunggal, ya dengan Differancenya.

Kenapa menolak? Kira-kira begini, hmm…karena setiap kesimpulan akhir atau setiap makna tunggal yang kita yakini, itu bisa menyisihkan yang lain. Adas isi yang secara tidak sadar telah kita pinggirkan. Dan ketika kita meminggirkannya, kita –mungkin­– akan menindas dan membunuhnya. Entah itu pikiran maupun kehidupan.

Lantas hubungannya sama kemalasan saya untuk menulis apa? Nah, di sini saya mencoba melihat sisi lain, yang mungkin tak dilihat oleh Derrida. Sisi yang lihat adalah, ketika Difference, ketika menunda itu bukanlah untuk mencegah kita menyimpulkan sesuatu, tapi memang kita sendiri yang mencegah sesuatu karena kita malas. Nah, pemikiran Derrida yang sudah diakui sebagai filsuf postmodern ini, bisa saja disalah gunakan. Oleh siapa? Tentu oleh orang-orang yang malas, seperti saya, siapapun itu dan mungkin seperti anda.

Maksud saya disalahgunakan itu, hmm…seperti ketika saya malas menulis atau cuma bisa ngomong saja, saya bisa menggunakan Difference untuk membenarkan kemalasan saya. Contohnya “bahwa saya nggak menulis itu ya karena saya ingin menunda, menolak kesimpulan akhir dan makna tunggal, jangan-jangan ada hal lain yang secara tidak sadar telah saya pinggirkan, jadi saya nggak nulis dulu, saya akan menunda, saya akan mendifferance tulisan saya.” Seperti itu kira-kira.

Sudahlah, hanya itulah intinya yang ingin saya tulis. Hmm…sekarang gimana? Saya bingung ini apalagi yang mau saya tulis, hahah.

Gini sajalah, kita lanjut ke pembahan lain. Hmm…apa ya, soal buku aja gimana? Okee?...kok diam, berarti oke ya? Iyaa.

Jadi saya sekarang sedang baca dua buku yang tidak secara bersamaan. Bukunya Andreas Harsono “A9ama Saya Adalah Jurnalisme” dan bukunya Sinta Ridwan “Secangkir Bintang VI.7.” kedua buku itu bagus yang satu membantu saya untuk memotivasi diri dan teman-teman dalam menulis. Sementara yang satunya menjadi buku istimewa pengganti teks-teks suci yang monoton. Keduanya memiliki alasan yang sama kenapa saya suka membaca buku itu. Yaitu karena orangnya. Yang satu tulisannya keren, dan yang satunya karena orangnya cantik, hehe.

Hmm…nulis apa lagi ya?

Ohh, iya. Sebenarnya saya mau nulis sesuatu dari buku yang saya baca. Ada beberapa buku, “Bukan Perawan Maria” bukunya Febi Indirani, “Gaya Pemikiran Nietzsche” bukunya Setyo Wibowo, satu bukunya Osamu Dazai (lupa judulnya) dan bukunya Sinta Ridwan yang cantik.

Nah, ini kayaknya saya bisa masuk lagi ke Difference, hahaha. Jadi gini, (jadi gini, jadi gini terus yaa, wkwkw) saya pun juga bisa menggunakan Difference untuk menunda membaca buku. Alasannya yaa, sebenarny6a sama sih seperti alasan mendifferance untuuk menulis. Maksud saya itu begini…ahh, anda sudah bosan ya dengan penjelasan mbulet dari saya.

Yaudah saya akhiri di sini saja. Tapi sebenarnya nggak pengen mengakhiri sih. Tapi nggak apa-apa lah. Sekian dan terimakasih sudah mau menyempatkan waktu untuk membaca tulisan ini. Saya merasa kasihan pada kalian semua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Memungkinkan Gerakan Bersama Melawan Pembungkaman Kebebasan Pers

World Pers Freedom Day, Malang 3 Mei 2019 Melihat kekerasan terhadap wartawan dari tahun ke tahun begitu mencemaskan. Aliansi JurnalisIndependen (AJI) mencatat ada 81 kasus di tahun 2016, 66 kasus di tahun 2017, 64 kasus di tahun 2018. Entah berapa nanti jumlah kasus di tahun 2019, yang pasti selama januari sampai juni 2019, AJI mencatat ada 10 kasus kekerasan terhadap wartawan. Tentu kecemasan ini tidak dilihat dari jumlah kasusnya yang menurun, tapi dari tiadanya upaya yang konkrit dari pemerintah untuk mencegah dan menyelesaikan kasus kekerasan terhadap wartawan.

Tulisan Kematianku

Aku akan menulis tentang kematianku. Aku mati di depan kampusku, di pagi hari pukul tujuh lewat 40 detik, tanggal dua november 2019. Ketika menyeberang di jalan, aku ditabrak dan dilindas truk dua kali. Yang pertama ban depan, lalu disusul ban belakang. Sebagian isi perutku keluar. Tentu bersama darah yang tumpah jalan. Saking terkejutnya, bola mataku melotot seperti mau keluar. Yang kulihat waktu itu hanyalah truk yang terus semakin menjauh dariku. Lalu semua menjadi gelap.