Langsung ke konten utama

Surat untuk Teman Lama

Ryunosuke berdiri di ujung jembatan sore itu. Ia menatap jembatan yang tak terlalu panjang itu, menatapnya lama-lama. Pandangannya seakan-akan tak mau diganggu oleh angin yang menyapa rambutnya. Ia membawa tas, dan memakai sepatu. Sepertinya ia membolos lagi hari itu. Menurut omongan orang-orang, Ryunosuke adalah anak yang pendiam, tak terlalu pintar, agak aneh, dan sering menanyakan hal-hal yang remeh kepada orang di sekitarnya.

“Kenapa orang-orang selalu melewati jembatan itu?” tanyanya kepada gurunya di kelas. Si guru agak lama terdiam, lalu mengatakan kalau orang-orang melewati jembatan itu karena mereka ingin menyeberang ke sisi yang lain. Ryunosuke pun puas begitu mendengar jawaban dari si guru. Ketika si guru menanyakan kenapa Ryunosuke menanyakan hal itu, Ryunosuke bilang kalau ia hanya ingin bertanya saja. Si guru tidak terlalu memusingkan ungkapan Ryunosuke, dan menaggapinya dengan candaan saja, karena ia harus menjawab pertanyaan murid yang lain.
Entah, Ryunosuke menginginkan jawaban dari si guru atau tidak, sepertinya ia hanya ingin melihat bagaimana tindakan yang dilakukan si guru ketika Runosuke bertanya. Jika benar, ini memang agak aneh untuk anak sekolah dasar seumurannya.

Ketika di rumah, ia lebih sering menyendiri setelah makan atau membantu ibunya. Entah di kamar, di halaman depan rumah, atau di atap rumah. Ia tidak terlihat sebagai anak yang begitu aktif. Suatu saat pernah ia ditanyai oleh ibunya, “kenapa kau tidak bermain bersama teman-temanmu, Ryu?”, Ryunosuke pun tiba-tiba menjawab, sebentar lagi aku akan ke bermain bersama mereka. Lalu pergi, dan bilang akan kembali lagi nanti.

Hari-harinya begitu biasa, pagi sarapan, berangkat sekolah, membaca buku, bermain, menyendiri, tidur. Hampir tak ada hal lain, yang begitu ingin dicapainya, seperti cita-cita. Pernah ia berkata, cita-citanya ingin menjadi dokter. Itupun ketika ada orang yang menanyakannya. Ia hampir tak pernah mengungkapkan apa yang ia inginkan kepada orang-orang di sekitarnya. Ia juga tak begitu melakukan sesuatu yang diinginkannya.

Tapi raut mukanya tak selalu terlihat murung atau tanpa ekspresi. Ia juga bisa tersenyum, tertawa, dan membuat lelucon seperti orang-orang lainnya. Dia juga punya teman yang banyak, bisa berkerja kelompok. Namun, untuk menyimpulkan sifatnya seperti apa, dan apa yang ia suka. Itu yang tak bisa orang-orang tebak. Orang-orang pun tak begitu memikirkan hal itu, kadang mereka membicarakan perilaku Ryunosuke dengan candaan. Mungkin perilaku Ryunosuke tak membuat masalah bagi orang-orang. Bahkan ketika ada orang yang begitu memperhatikan Ryunosuke, ia pun pada akhirnya tak bisa mendapatkan dari apa-apa yang membuatnya tertarik, walaupun ia tak sepenuhnya menganggap kalau perilaku Ryunosuke itu biasa-biasa saja.

Ryunosuke masih beridi di jembatan itu, sesekali mengedipkan matanya. Lalu, entah karena capek, ia mengambil posisi duduk, sambil masih memandangi jembatan itu. Lama sekali ia memandang jembatan itu. Dan tiba-tiba ia berhenti, lalu membuka tas dan membaca sebuah buku.

Lembaran pertama ia selesaikan, lalu menuju lembaran-lembaran berikutnya, sampai selesai. Lau selesailah buku itu dibaca Ryunosuke. Memang buku itu sudah dibacanya sejak kemarin, dan sore itu, di jembatan itu, tinggal satu bab terakhir saja.

Ryunosuke berdiri, memutar pinggangnya samapai mengeluarkan bunyi. Ia pegal sepertinya, lalu ia duduk lagi. Tak begitu lama, ia lalu merebahkan tubuh ke tanah dan tiduran.

“Apa yang harus kulakukan sekarang menurutmu?” Tanya Ryunosuke entah kepada siapa.

“Tentu saja melakukan hal yang kau inginkan, bukan? Maksudku, melewati jembatan itu”. Ryunosuke menjawab pertanyaan itu sendiri, seolah sedang menjawab pertanyaan orang lain.

“Lalu bagaimana kalau aku nanti tidak bisa kembali dengan selamat?” ia lanjut bertanya.

“Ya tinggal mati saja” tentu ia jawab sendiri.

“Oh, aku kira kau akan berkata, ku sudah menanyakannya berkali-kali, atau entahlah,” Runosuke agak kaget.

Ryunosuke menolehkan kepalanya ke kanan. Ia terdiam, lalu menutup mata, mencoba untuk tidur. Ia memikirkan lemari yang ia biarkan terbuka sebelum pergi ke jembatan itu. Lemarinya kosong, selalu kosong. Buku-bukunya ditumpuk di ataslemari itu. Baju-bajunya ditaruh di sebuah karung plastik hitam. Meja belajarnya digores dengan pisau, tertulis, “burung-burung yang mandi di sore hari, lalu mereka bernyanyi di atas kursi”. Entah apa maksudnya. Lalu tiba-tiba ia tak bisa mengingat apalagi yang ada di kamarnya lagi. Tiba-tiba gelap, kemudian samar-samar terlihat surat putih tanpa amplop. Lalu Runosuke membuka mata.

“Burung-burung itu pasti membaca suratnya, tapi di mana mereka tidur ya? Ini pasti sudah dijawab oleh si lemari” ia melanjutkan, “aku mati di sini, ya sudahlah”.

Runosuke bagun, ia segera melangkah dari jembatan itu. Ia pulang ke rumah.

Sampai dirumah, ternyata agak sepi. Memang, malam di desa selalu seperti itu kecuali ada pesta. Memasuki rumah, menyusuri tangga, lalu bertemu Ibunya yang baru keluar dari sebuah kamar. Itu kamar Ryunosuke. Ibunya menyapa Ryunosuke, seperti menyapanya waktu ia pulang dari sekolah. Ryunosuke agak kaget, dan hanya bisa mengiyakan sapaan Ibunya. Makan malam sudah di taruh di meja belajar Ryunosuke, tentu Ibunya yang memasak makanan itu. Ryunosuke pun berterimakasih. Lalu bilang agak capek dan ingin tidur, seperti biasanya. Ibunya tak curiga sedikitpun.

Pintu kamar tertutup, ia berdiri di tengah kamar. “Jadi, apa yang sudah kau lakukan, Ryu?” ia melihat suratnya sudah terlipat rapi, ia membukanya, dan tertulis sebuah pesan yang ia buat sendiri, kalu ia akan pulang agak malam, ia belajar kelompok, dan kalu pulangnya jam Sembilan malam, sifat dan perilakunya akan agak berbeda. Lalu di akhir surat tertulis, “tolong mengertilah. Ryu”.

Ryunosuke menggenggam surat itu perlahan, melemparnya entah ke mana dan langsung merebahkan diri ke kasur. “sejak kapan kau melakukannya, Ryu? Ahh, sampai segitunya kau susah untuk dipahami. Yah, sudahlah.” Ia diam, lalu lampu mati. Tak lama menyala lagi. Ryunosuke berkata, “sepertinya rencanaku berhasil, aku sama sekali tak menduganya, mungkin karena aku memang tak menginkannya. Walaupun aku memikirkannya cukup keras. Walaupun resikonya adalah mati.”

Runosuke pun tidur tanpa menyentuh makanan di atas meja belajarnya. Malam itu sepertinya ia tidak bermimpi. Pai ia bangun, meminum air putih, lalu menyantap sarapan di atas mejanya. Ya itu adalah makanan tadi malam. Seleai makan ia meregangkan tubuhnya. Dan dengan kebetulan, ia melihat surrat yang ia lempar tadi malam. Ia membuka surat itu, tulisannya. “Selamat tinggal, bu, aku akan pergi ke jembatan itu, dan tidu di sana selamanya. Maksudku, aku akan bunuh diri”.

“Oh, jadi seperti ini akibatnya?” tanpa peduli apapun, Runosuke bersiap untuk mandi, dan berangkat sekolah seperti biasanya.

Di jalan menuju sekolah, ia bertemu dengan teman lamanya, ia naik sepeda. Ryunosuke diajaj boncengan, tapi Ryinosuke yang membonceng temannya. Temannya berkata, “seingatku kau tak pernah ingin belajar bersepeda.” Ryunosuke menanggapi, “seingatmu kan? Apa kau ingat kapan kau ingin belajar sepeda?” temannya seperti ingin menjawab dengan pasti, tapi entah kenapa ia menjadi ragu, dan tidak jadi menjawab. Ia malah berkata di luar pembahasan, “setelah melewati jembatan itu, sepertinya kau menjadi aneh, Ryu. Tapi itu kapan ya?” Mereka terus melanjutkan perjalanan ke sekolah. Sampai tiba, sampai di kelas, sampai istirahat. Sampai pulang. Besok malamnya Ryunosuke bertemu teman lamanya lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .