Air panas masuk kedalam cangkir putih berisi butiran
teh. Tsalits menuangkannya dengan tenang, tanpa ekspresi, seperti biasanya. Diaduknya
teh itu sebanyak 20 putaran selama delapan detik. Kemudian ia antarkan teh itu
ke bangku nomor 12, ada seorang pria yang sudah duduk menunggu dari sekitar 10
menit yang lalu.
“Teh Ginastel...” ujar Tsalits kepada pria itu.
“Ohh, iya mbak, terimakasih” balas pria itu, sembari
tersenyum.
“Iyaa..” sahut Tsalits, lalu ia meninggalkan pria itu,
kembali ke dapur warung kopi. Ketika Tsalits beranjak, pria itu memandangi Tsalits
sampai masuk ke dapur.
Sesampainya di dapur, Tsalits membereskan gelas-gelas
kotor lalu mencucinya. Sambil menccuci ia diajak mengobrol temannya. “Hei,
list, kau melihatnya?” tannya temannya. “Orang itu? Iya, ada apa?” salis
langsung tahu maksud temannya. “Sepertinya ia menyukaimu”, kata-kata temannya
itu tak mengagetkan Tslalits. “Astaga, kau bukan Sherlock maupun Rampo, Elisa.
Tapi aku ingin mendengar hasil pengamatanmu,” ujar Tsalist kepada temannya yang
bernama Elisa.
Elisa menjelaskan kalau pria yang dibicarakan itu
selalu memesan teh yang sama, duduk di tempat yang sama, juga datang dan pergi
di waktu yang sama. Di hari jumat, jam dua sampai jam empat sore. Yang
dilakukan di warung kopi itu juga sama, membaca buku. “Lalu apa hubungannya?”
Tsalist bertanya dan Elisa melanjutkan hasil pengamatannya begitu saja. Karena
sudah lebih lama bekerja, Elisa sedikit banyak tahu tentang sifat orang dari
kebiasannya di warung kopi itu. Dan si laki-laki yang dibicarakan itu, walaupun
sedikit tapi ia tahu kalau si laki-laki sedang mengamati keadaan, dan hampir
selalu memandangi Tsalits Dengan senyuman.
“Ketika kau tidak datang ke warung minggu lalu, ia
mendatangiku dan menanyai tentang dirimu. Tidak terlalu banyak sih, tapi
katanya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan kepadamu.” Tsalits agk kaget
mendengarnya. “Dan kalau melihat ekspresimu barusan, kau pasti belum yahu kan?”
“Begitu kah? Sepertinya kau ada kemajuan, Elisa, tapi
kau masih jauh untuk mencapai levelku,” ucapan Tsalits terdengar sombong bagi
Elisa. Elisa pun memasang tampang sinis, “sudah kuduga kau akan berkata seperti
itu,” Elisa melanjutkan pekerjaannya.
“Hai, mbak mbak, sepertinya aku sudah selesai untuk
hari ini. Jadi aku akan membayar,” tiba-tiba laki-laki itu muncul di depan
mereka, di meja tempat memesan minuman, dengan suara yang ceria. Kehadiran itu
membuat Tsalits dan Elisa kaget untuk sejenak. “Ohh, iya, Teh Ginastel, ya,
4000,” ucap Tsalis dan laki-laki itu memberikan uangnya. “Terimakasih Tsalits,
aku tahu namamu dari Elisa yang di sana itu, dan aku mau memperkenalkan diri,
namaku Diaz, aku suka minum teh di sore hari. Dan aku harus memuji teh buatanmu
yang dari minggu ke minggu mengalami peningkatan, pasti kau mempelajari sesuatu.”
Tsalits menanggapi, “yaa, aku hanya membaca buku tentang teh yang diberikan
bos, itu saja,” jawab Tsalist Dengan nada yang agak ragu. “Hmm, begitu ya?
sayang sekali, andai saja waktu mengijinkan, aku ingin membaca juga buku itu,
tapi ini adalah perpisahan, aku harus pergi. Daa...” pria itu langsung pergi
begitu saja. Meninggalkan warung kopi itu.
“Kau lihat
itu Elisa?” Tanya Tsalits Dengan wajah yang masih kaget.
“Iya, aku melihatnya, tidak kusangka laki-laki muda
yang selalu memakai pakaian kantor, yang kemarin bernicara denganku dengan
malu-malu, bisa berbicara dengan nada yang ceria seperti tadi. Sepertinya aku
memang harus belajar lebih supaya bias mencapai levelmu,” ucap Elisa.
“Tapi, sepertinya laki-laki itu, Diaz itu berada di
level yang lebih tinggi dariku. Sepertinya. Mungkin saja.” Tsalits mengatakannya Dengan wajah yang
masih kaget, lalu didikuti Dengan ekspresi gelisah. Mungkin juga kesal. Entah
mengapa.
***
Sore
yang cerah menyinari jalanan di sekitar pelabuhan yang tenang. Matahari
seakan-akan mengucapkan salam perpisahan kepada kota itu. Diantara laut dan
jalan kota, Diaz duduk santai, memandangi kepergian matahai, yang mungkin besok
mereka akan bertemu lagi, dan mungkn juga tidak.
“Apa
yang sedang kau lakukan di sini, Diaz?” Tsalits menghampiri Diaz di jalan yang
sama dengan jalan arah rumah Tsalits.
“Oohh,
Tsalits, selamat soree, kau mau pulang ya?”
“Iya,
rumahku dekat dari sini, jadi kau sedang apa, menikmati sore?”
“Ahahaha...iya,
seperti yang kau lihat, sore yang sangat bagus kan?”
“Hmm,
iya kah? Aku selalu melewatinya setiap hari, tapi bagiku biasa-biasa saja”.
Tsalits ikut duduk di sebelah Diaz.
“Hahaha,
sepertinya kau harus sedikit memperhatikan yang biasa-biasa itu, Tsalits”
Tsalits
terdiam, bingung karena sepertinya Diaz ada kata-kata yang tidak
dilanjutkannya. Lalu mereka saling memandang dengan wajah bertanya.
“Yaa,
maksudku kalau kau memperhatikan yang biasa-biasa saja, mungkin kau akan
menemukan hal yang tidak biasa. Begitu saja.”
“Oh,
kalau dipikir-pikir benar juga...hmm, oh iya tentang buku itu, apakah kau mau
membacanya?”
“Ha?
Buku tentang teh itu? Ohh...iya, iya, kau membawanya kah?” Diaz memasang wajah
antusias. “Ada di rumahku, hehe..” jawab Tsalits dengan mulai menunjukkan
senyumnya. Diaz agak kecewa, tapi Tsalts menghiburnya dengan menceritakan
beberapa isi dari buku itu. Sore itu mereka lalui dengan berbincang-bincang
soal teh. Tentang jenis-jenis teh, cara memasaknya, filosofinya, dan hal-hal
yang di luar pengetahuan umum tentang teh.
“Wahh,
seru sekali, aku seperti memahami semua isi buku, walaupun aku tidak
membacanya, hahaha.” Ucap Diaz.
“Tidak
boleh seperti itu, Diaz, kau haus tetap membacanya,” nada Tsalits seperti
seorang guru, “dengan membacanya, kau akan memiliki pemahamanmu sendiri, bukan
pemahaman orang lain, dan juga aku sudah lama membaca buku itu, dan sebenarnya
ada beberapa hal yang tidak kuingat”.
“Dan
sepertinya itu menarik”.
“Benar
sekali”.
Sore semakin sore, dan terlalu sore.
Perbincangan mereka pun harus berakhir, karena Tsalits harus segera pulang ke
rumah. Untuk istirahat. Hanya Diaz yang tak kelihatan ada keharusan untuk
pergi. Tsalits pun memberikan salamnya, dan Diaz menjawabnya. “Selamat sore
juga, Tsalits.” Salam ditikdetik yang singkat, kesunyian itu seperti sangat
lama. Lalu Tsalits memecah kesunyian itu, “Sedih sekali ya?” kata-kata Tsalits
membuat Diaz bingung, “karna salah satu dari kita harus segera pergi”. Di waktu
itu, dan hny di waktu itu, hanya mereka yang bisa memahami satu sama lain.
“Ohh,
begitu ya? Tapi aapa kau tidak merasa aneh?”
Tsalist
diam tak memandang Diaz.
“Aku
mengetahui semuanya lho,” sekali lagi, hanya mereka sendiri yang memahami.
Perincangan mereka.
“Apa kau
tidak merasa aneh? Secara formal, kita baru kenalan hari ini, tapi kita saling
memanggil nama. Tanpa nama depan seperti, mas, mbak, tuan, atau nyonya. Kau
juga menanyaiku apa yang sedang kulakukan disini, bahkan tanpa menyapaku.”
“Seperti
teman lama saja” sambung Tsalits.
“Tapi
setelah kita berbincang tentang teh, kau bilang, kalau ini menyedihkan. Kalau
aku boleh menebak, ini bukan suatu kesedihan. Tapi kekecewaan.” Tsalits masih
terdiam.
“Kau
kecewa dengan apa yang kau lakukan kan? Kau telah berhasil membunuhku dengan
racun di dalam teh yang kau buat itu.”
“Lalu
kenapa kau tetap meminumnya?,” nada Tsalist agak tinggi.
“Karena
aku menginginkan kematian itu, Tsalits,” kata-kata Diaz kembali membuat Tsalits
bingung, “Mungkin, di kota ini, hanya kita yang saling mengetahui siapa diri
kita, dan siapa diri kita di masa lalu. Di masa lalu aku adalah pembunuh,
penjahat, dan diktator kejam yang memusnahkan siapa saja yang menghalanginya.
Dan kau adalah korban dari segala masa laluku, orang yang tertindas, korban
kekuasaan, yang mati dalam ketidak adilan. Aku juga tahu kalau di satu masa aku
adalah orang yang sangat baik, tapi kau hanyalh seekor kucing yang malang. Dan
aku selalu mengusirmu, memukulmu, dan hampi membunuhmu. Lalu aku tetap sadar
kalau aku adalah orang yang baik. Tanpa jujur dengan kekejaman yang aku
lakukan.” Tsalits tidak menyangka kalau kata-kata itu akan diucapkan Diaz.
“Tapi
kita tidak akan pernah tahu apa yang ada di kehidupan di masa depan”.
“Benar
sekali. Tidak apa Tsalits, kau sudah berhasil mewujudkan keinginanmu. Dan bagusnya
itu juga keinginanku”.
“Kenapa?”.
“Karena
kematian itu sendiri adalah keistimewaan yang selalu didapatkan oleh makhluk
hidup, lalu aku bertanya, kenapa kita harus menolaknya? Dulu pernah aku
berpikir, dengan mengetahui kekejaman, ketamakan, dan kemunafikan, aku akan
mengetahui alasanku untu hidup. Begitu saja.”
“Kenapa
selalu seperti ini? Ini tidak adil”.
“Terimalah
kenyataan, Tsalits,” kini Diaz yang seperti guru, “sebagai teman lama, aku akan
mengajarimu sesuatu, kejahatan dan kebaikan di dalam dirimu itu tidak ada
bedanya, dan tidak akan ada yang isa mengubur kesepianmu.”
“Bungou
Stray Dogs, ya?” ucap Tsalits mulai mengerti. “Selamat tinggal dan sampai
berjumpa lagi, Tsalits, jika masa depan itu ada, aku ingin sekali menjadi
temanmu, mungkin kekasihmu, hahaha”. Diaz diam sejenak, Tsalits berkata, “Di
kota ini, kita sudah saling mengenal untuk mengetahui satu sama lain, dengan
usaha sendiri. Walaupun aku masih jauh dari levelku. Haha...”, Tsalits mulai
tertawa, lalu mereka tertawa bersama. Tsalists perlahan meninggalkan Diaz,
tanpa kata-kata. Pergi. Semakin jauh. Dan hilang. Diaz tertidur di tempat
duduknya, untuk selamanya.
Dari arah
Tsalits pergi, seorang tua berjaket dan bertopi hitam, mengayuh sepeda. Ia berhenti di depan Diaz, lalu
menaruh sebuah buku berjudul “Teh, dan Hal-Hal yang Belum Selesai”. Buku itu ia
taruh di samping Diaz yang tergeletak. Lalu orang tua itu pergi, mengayuh sepedanya
lagi, sambil bersiul, membetuk sebuah nada.
Komentar
Posting Komentar