Langsung ke konten utama

Nilai dan Persaingan



Kapitalisme adalah sistem ekonomi. Kita tahu itu. Pada dasarnya sistem kapitasilme didukung oleh suatu paham yang bernama liberalisme, dimana “kebebasan individu untuk meningkatkan kualitas hidupnya (makan, pakaian, tempat tinggal, hak asasi)” menjadi suatu keniscayaan.
 
Untuk meningkatkan kualitas hidupnya, individu, manusia itu harus memperoleh benda maupun nilai lebih dari apa yang manusia itu miliki. Syahdan, untuk mendapatkan nilai lebih itu, manusia membutuhkan manusia lain yang juga menginginkan nilai lebih. Ketika manusia satu dan yang lainnya bertemu, terjadilah suatu kesepakatan, transaksi, tukar menukar benda yang dimiliki masing-masing manusia, atas dasar kebutuhan mereka sendiri. Tempat di mana manusia satu dengan manusia lainnya saling bertemu inilah yang disebut sebagai pasar.

Dalam perkembangannya, kapitalisme tak hanya terjadi antara manusia satu dengan manusia lain, tapi antara manusia yang memiliki perusahaan/kapitalis dengan manusia, masyarakat, perusahaan lain dan pasar dan Negara dan apapun yang berpotensi untuk mendapatkan nilai lebih. Yang digunakan untuk mencapai kesepakatanpun bukalah suatu hal yang konkrit. Tapi sebuah lembaran abstrak yang bernama uang. Yang bikin uang itu Negara.

Kenapa Negara bisa membikin uang? Karena ia punya kuasa dan wewenang. Negara, melalui Pemerintah bisa melakukan pemaksaan terhadap masyarakat, missal memaksa masyarakat untuk mengambil uang mereka, untuk pajak, untuk memeratakan kesejahteraan masyarakat di negara itu. Kenapa Pemerintah bisa memiliki kekuasaan dan wewenang itu? Ya dari kita sendiri yang membeli Pemerintah untuk mendapatkan kekuasaan itu.

Kembali ke nilai lebih. Ini penafsiran saya –sangt mungkin bisa salah. Suatu perusahaan berdiri karena keinginan manusia untuk mendapatkan nilai lebih itu semakin tinggi. Konsekuensinya adalah manusia itu membutuhkan manusia yang juga menginginkan nilai lebih. Tapi, apakah semua manusia ingin mendapatkan nilai lebih yang tinggi? Jawabannya adalah tidak. Kebutuhan manusia itu berbeda-beda, walaupun pada dasarnya sama.

Lantas bagaimana nasib si manusia yang menginginkan nilai lebih yang semakin tinggi ini? Ya, dengan bikin perusahaan tadi, dia tidak butuh manusia yang menginginkan nilai lebih yang sama dengannya, dia butuh sekumpulan manusia yang menginginkan nilai lebih yang tak lebih tinggi dari nilai lebihnya. Sehingga ketika keinginan nilai lebih sekumpulan manusia itu dijadikan satu, bisa jadi itu tingginya sama dengan manusia yang menginginkan nilai lebih yang semakin tinggi tadi. Satu lagi, si manusia ini membutuhkan manusia lain yang bisa mendukungnya untuk mendapatkan nilai lebih. Buruh nama manusia-manusia itu.

Selesai masalah? Ya enggak lah. Yang jelas, dalam sebuah Negara itu bukan tentang si manusia yang saling menginginkan nilai lebih, ada juga manusia yang tak menginginkan nilai lebih itu. Artinya, hanya ingin hidup dengan cukup. Dan sepertinya ada manusia lainnya lagi. Soalnya saya belum Tanya semua manusia di Negara saya apakah mereka menginginkan nilai lebih atau tidak? Atau bertanya apakah mereka tahu apa itu nilai lebih?

Sebelum menjawab nasib si manusia yang menginginkan nilai lebih yang semakin tinggi tadi, ada masalah lain yang disebabkan oleh keinginan nilai lebih itu sendiri. Keinginan ini, manusia ini, si kapitalis menyebabkan permasalahan bagi manusia. Ada manusia lain (termasuk buruh) yang menolaknya, ada yang mengkritiknya, ada yang membencinya habis-habisan, karena kapitalisme telah menciptakan ketimpangan sosial, merampas hak hidup manusia, serta merusak lingkungan. Kenapa sitem yang awalnya diciptakan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia malah menjadi sebuh sistem yang tak manusiawi? Jawabannya ada dua, ini hal yang wajar dan ini adalah hal yang tidak wajar.

Kalau jawaban dari hal yang tidak wajar, seorang cendekiawan bernama Karl Marx pernah mengkritik yng namanya nilai lebih. Ia melihat seluruh keuntungan, nilai lebih, yang didapatkan si kapitalis tidak lebih daripada hasil kerja buruh yang tidak dibayarkan. Singkatnya yang bekrja untuk menciptakan barang/jasa utuk mendapatkan keuntungan itu buruh, tapi si kapitalis yang menerima keuntungan lebih banyak. Atau secara kasarnya, si kapitalis itu yang mencuri keuntungan itu.

Nilai yang didapatkan buruh dinamakan upah. Upah, ditentukan dari waktu kerja si buruh. Buruh dianggap sebagai alat produksi atau komoditas. Sehingga, upah yang dianggap wajar –oleh kapitalis– adalah yang mencukupi buruh untuk memenuhi kebutuhan hidup, memulihkan tenaga kerja serta membesarkan anak-anaknya (kalau punya anak). Tapi pada praktiknya kapitalis bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari kerja buruhnya, tanpa meningkatkan upah buruh itu sendiri. Kapitalis mendapatkan keuntungan, lalu berdampak ke tingkat konsumsi masyarakat yang semakin tinggi, tapi upah buruh tidak mengalami kenaikan. Kalau tingkat konsumsi masyarakat semakin tinggi, kok bisa upah buruh bisa tidak mengalami kenaikan? Kira-kira beginilah yang tidak wajar.

Selain itu, Marx juga menulis, yang kira-kira seperti ini, “kapitalisme adalah sebuah sitem yang menindas, ia membawa kerusakan dari dalam”. Marx mengkritik bahwa keinginan untuk mendapatkan nilai lebih itulah yang bermasalah, atau lebih spesifiknya keinginan untuk bersaing. Yang mampu bersaing adalah manusia yang memiliki modal lebih banyak, bukan yang lain. Sementara semua manusia yang pola hidupnya sudah terbiasa dengan kapitalisme, mau tak mau harus mengikuti dengan sistem. Kalau manusia tak mengikuti kapitalisme, berarti manusia itu lemah, tak ingin bersaing, malas, dan ia akan mati.

Kemudian terjadilah satu fenomena yang istilah kerennya itu bernama proletarianisasi. Yang berarti, ketika hanya manusia bermodal besar saja yang bertahan, manusia yang bermodal kecil, ya tidak bisa bertahan. Hidup ini memang keras, kalau katanya vokalis Silampukau. Nah, terus harus gimana? Jual miras, anggur, vodka, dan arak beras? Atau rame-rame bikin revolusi? Saya tidak menyarankan dua-duannya.

Kalau Marx, memberi titah bahwa manusia harus memutus rantai kapitalisme, karena ia menindas, membunuh, pokoknya segala keburukan ada di kapitalisme. Rantai yang harus di putus itu adalah persaingan. Karena persaingan memunculkan konsep menang dan kalah, maka Marx, mencita-citakan sebuah kehidupan tanpa kelas, tanpa persaingan, tanpa penindasan.

Tapi, si kapitalis bertanya: apakah bisa hidup tanpa persaingan, tanpa semngat, tanpa kreativitas? Walaupun dari kubu Marx –yang membawa ideologi sosialisme juga komunisme– membuat konsep ekonomi yang tidak mempusatkan keuntungan pada si kapitalis, konsep yang dinamakan koperasi. Mungkinkan ia bisa bertahan tanpa persaingan? Atau konsep negara komunis yang segala kegiatan ekonominya (perencanaan, produksi, dan distribusi) terpusat pada negara, mungkinkan bisa terus bertahan? jawabannya adalah tidak mungkin. Karena itu sangat membunuh kreativitas.

Di hari-hari ini, kita mungkin sering berdiri di pihak yang tertindas. Ya, kita menolak penindasan. Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana menciptakan sebuah sistem tanpa penindasan? Apakah kita hanya terus melawan, menagih, dan meminta, kepada mereka yang kita anggap seharusnya memberi keuntungan itu, nilai lebih itu?

Jika kita benar-benar tahu hal ini, dan benar-benar di pihak yang tertindas, dan benar-benar menghadirkan kapitalisme sebagai musuh, maka yang harus diperjelas adalah, bahwa musuh kita yang sebenarnya bukanlah persaingan. Tapi kreativitas kapitalis, untuk memperbarui konsep penindasan. Bagaimana kabar kapitalis hari ini? Neoliberalisme, liberalisasi finansial? Tapi, siapa kita?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .