Kapitalisme adalah sistem ekonomi. Kita tahu itu. Pada
dasarnya sistem kapitasilme didukung oleh suatu paham yang bernama liberalisme,
dimana “kebebasan individu untuk meningkatkan kualitas hidupnya (makan, pakaian,
tempat tinggal, hak asasi)”
menjadi suatu keniscayaan.
Untuk meningkatkan kualitas hidupnya, individu,
manusia itu harus memperoleh benda maupun nilai lebih dari apa yang manusia itu
miliki. Syahdan,
untuk mendapatkan nilai lebih itu,
manusia membutuhkan manusia lain yang
juga menginginkan nilai lebih. Ketika manusia satu dan yang lainnya bertemu,
terjadilah suatu kesepakatan, transaksi, tukar menukar benda yang
dimiliki masing-masing manusia, atas dasar kebutuhan mereka sendiri. Tempat di
mana manusia satu dengan manusia lainnya saling bertemu inilah yang disebut
sebagai pasar.
Dalam perkembangannya, kapitalisme tak hanya terjadi antara manusia satu dengan manusia
lain, tapi antara manusia yang memiliki perusahaan/kapitalis dengan manusia,
masyarakat, perusahaan lain dan pasar dan Negara dan apapun yang berpotensi
untuk mendapatkan nilai lebih. Yang digunakan untuk mencapai kesepakatanpun
bukalah suatu hal yang konkrit. Tapi sebuah lembaran abstrak yang bernama uang.
Yang bikin uang itu Negara.
Kenapa Negara bisa membikin uang? Karena ia punya
kuasa dan wewenang. Negara, melalui Pemerintah bisa melakukan pemaksaan
terhadap masyarakat, missal memaksa masyarakat untuk mengambil uang mereka,
untuk pajak, untuk memeratakan kesejahteraan masyarakat di negara itu. Kenapa Pemerintah
bisa memiliki kekuasaan dan wewenang itu? Ya dari kita sendiri yang membeli Pemerintah
untuk mendapatkan kekuasaan itu.
Kembali ke nilai lebih. Ini penafsiran saya
–sangt mungkin bisa salah. Suatu
perusahaan berdiri karena keinginan manusia untuk mendapatkan nilai lebih itu
semakin tinggi. Konsekuensinya adalah manusia itu membutuhkan manusia yang juga
menginginkan nilai lebih. Tapi, apakah semua manusia ingin mendapatkan nilai
lebih yang tinggi? Jawabannya adalah tidak. Kebutuhan manusia itu berbeda-beda,
walaupun pada dasarnya sama.
Lantas bagaimana nasib si manusia yang menginginkan
nilai lebih yang semakin tinggi ini? Ya, dengan bikin perusahaan tadi, dia tidak
butuh manusia yang menginginkan nilai lebih yang sama dengannya, dia butuh
sekumpulan manusia yang menginginkan nilai lebih yang tak lebih tinggi dari
nilai lebihnya. Sehingga ketika keinginan nilai lebih sekumpulan manusia itu
dijadikan satu, bisa jadi itu tingginya sama dengan manusia yang menginginkan
nilai lebih yang semakin tinggi tadi. Satu lagi, si manusia ini
membutuhkan manusia lain yang bisa mendukungnya untuk mendapatkan nilai lebih.
Buruh nama manusia-manusia itu.
Selesai masalah? Ya enggak lah. Yang jelas, dalam
sebuah Negara itu bukan tentang si manusia yang saling menginginkan nilai
lebih, ada juga manusia yang tak menginginkan nilai lebih itu. Artinya, hanya
ingin hidup dengan cukup. Dan sepertinya ada manusia lainnya lagi. Soalnya saya
belum Tanya semua manusia di Negara saya apakah mereka menginginkan nilai lebih
atau tidak? Atau bertanya apakah mereka tahu apa itu nilai lebih?
Sebelum menjawab nasib si manusia yang menginginkan nilai lebih yang semakin tinggi
tadi, ada masalah lain yang disebabkan oleh keinginan nilai lebih itu sendiri.
Keinginan ini, manusia ini, si kapitalis menyebabkan permasalahan bagi manusia.
Ada manusia
lain (termasuk buruh) yang
menolaknya, ada yang mengkritiknya, ada yang membencinya habis-habisan, karena
kapitalisme telah menciptakan ketimpangan sosial, merampas hak hidup manusia,
serta merusak lingkungan. Kenapa sitem yang awalnya diciptakan untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia malah menjadi sebuh sistem yang tak
manusiawi? Jawabannya ada dua, ini hal yang wajar dan ini adalah hal
yang tidak wajar.
Kalau
jawaban dari hal yang tidak wajar, seorang cendekiawan bernama Karl Marx pernah
mengkritik yng namanya nilai lebih. Ia melihat seluruh keuntungan, nilai lebih,
yang didapatkan si kapitalis tidak lebih daripada hasil kerja buruh yang tidak
dibayarkan. Singkatnya yang bekrja untuk menciptakan barang/jasa utuk
mendapatkan keuntungan itu buruh, tapi si kapitalis yang menerima keuntungan
lebih banyak. Atau secara kasarnya, si kapitalis itu yang mencuri keuntungan
itu.
Nilai
yang didapatkan buruh dinamakan upah. Upah, ditentukan dari waktu kerja si
buruh. Buruh dianggap sebagai alat produksi atau komoditas. Sehingga, upah yang
dianggap wajar –oleh kapitalis– adalah yang mencukupi buruh untuk memenuhi
kebutuhan hidup, memulihkan tenaga kerja serta membesarkan anak-anaknya (kalau
punya anak). Tapi pada praktiknya kapitalis bisa mendapatkan keuntungan yang
lebih tinggi dari kerja buruhnya, tanpa meningkatkan upah buruh itu sendiri.
Kapitalis mendapatkan keuntungan, lalu berdampak ke tingkat konsumsi masyarakat
yang semakin tinggi, tapi upah buruh tidak mengalami kenaikan. Kalau tingkat
konsumsi masyarakat semakin tinggi, kok bisa upah buruh bisa tidak
mengalami kenaikan? Kira-kira beginilah yang tidak wajar.
Selain
itu, Marx juga menulis, yang kira-kira seperti ini, “kapitalisme adalah sebuah
sitem yang menindas, ia membawa kerusakan dari dalam”. Marx mengkritik bahwa keinginan untuk mendapatkan
nilai lebih itulah yang bermasalah, atau lebih spesifiknya keinginan untuk
bersaing. Yang mampu bersaing adalah manusia yang memiliki modal lebih banyak,
bukan yang lain. Sementara semua manusia yang pola hidupnya sudah terbiasa dengan kapitalisme, mau tak
mau harus mengikuti dengan sistem. Kalau manusia tak mengikuti kapitalisme,
berarti manusia itu lemah, tak ingin
bersaing, malas, dan ia
akan mati.
Kemudian
terjadilah satu fenomena yang istilah kerennya itu bernama proletarianisasi.
Yang berarti, ketika hanya manusia bermodal besar saja yang bertahan, manusia
yang bermodal kecil, ya tidak bisa bertahan. Hidup ini memang keras, kalau
katanya vokalis Silampukau. Nah, terus harus gimana? Jual miras, anggur, vodka,
dan arak beras? Atau rame-rame bikin revolusi? Saya tidak menyarankan
dua-duannya.
Kalau
Marx, memberi titah bahwa manusia harus memutus rantai kapitalisme, karena ia
menindas, membunuh, pokoknya segala keburukan ada di kapitalisme. Rantai yang
harus di putus itu adalah persaingan. Karena persaingan memunculkan konsep
menang dan kalah, maka Marx, mencita-citakan sebuah kehidupan tanpa kelas,
tanpa persaingan, tanpa penindasan.
Tapi, si
kapitalis bertanya: apakah bisa hidup tanpa persaingan, tanpa semngat, tanpa
kreativitas? Walaupun dari kubu Marx –yang membawa ideologi sosialisme juga
komunisme– membuat konsep ekonomi yang tidak mempusatkan keuntungan pada si
kapitalis, konsep yang dinamakan koperasi. Mungkinkan ia bisa bertahan tanpa
persaingan? Atau konsep negara komunis yang segala kegiatan ekonominya
(perencanaan, produksi, dan distribusi) terpusat pada negara, mungkinkan bisa
terus bertahan? jawabannya adalah tidak mungkin. Karena itu sangat membunuh
kreativitas.
Di
hari-hari ini, kita mungkin sering berdiri di pihak yang tertindas. Ya, kita
menolak penindasan. Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana menciptakan sebuah
sistem tanpa penindasan? Apakah kita hanya terus melawan, menagih, dan meminta,
kepada mereka yang kita anggap seharusnya memberi keuntungan itu, nilai lebih
itu?
Jika
kita benar-benar tahu hal ini, dan benar-benar di pihak yang tertindas, dan
benar-benar menghadirkan kapitalisme sebagai musuh, maka yang harus diperjelas
adalah, bahwa musuh kita yang sebenarnya bukanlah persaingan. Tapi kreativitas
kapitalis, untuk memperbarui konsep penindasan. Bagaimana
kabar kapitalis hari ini? Neoliberalisme, liberalisasi finansial? Tapi, siapa
kita?
Komentar
Posting Komentar