Langsung ke konten utama

Kelemahanku, Ketakutanku



Kelemahanku, ketakutanku,
Ia adalah peneror rasa nyaman di pikiranku
Tak lebih dari sekedar samar dan semu
Tapi yang terror yang diakibatkan bukan main
Tekanan itu membuatku terasing dalam dingin

Kelemahan, ketakutanku
Saat ia merasukiku, ada rasa benci yang kuat kepada orang disekitarku
Orang-orang adalah penyakit, yang selalu membuatku sekarat
Seolah-olah aku adalah penjahat yang dikerumuni tikus liar
Dimakan sampai ke tulang tulangnya

Kelemahanku, ketakutanku
Ia memamng tak seterusnya member terror
Disisakannya secercah cahaya yang disebut harapan
Tapi cahaya itu selalu hilang ketika aku menangkapnya
Mungkin benar, ia hanya cahaya yang diciptakan pikiran semuku

Kelemahan, ketakutanku
Tak ada tulisan yang tersisa ketika aku selesai menghadapannya
Tapi ia juga tak pernah hilang
Ia selalu ada
Dan harus ada

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .