Begitu kita membaca berita, kita mungkin mendapatkan informasi,
entah informasi, baik, buruk, biasa. Mungkin juga yang lain. Namun sejauh
penafsiran kita terhadap informasi itu, itu hanyalah penafsiran, perspektif
saja. Pengaruhnya, biasanya dari pikiran kita atau dari lingkungan. Rasanya ini
soal lama, tapi inilah yang hampir selalu terjadi tiap hari.
Kita lihat orang-orang berbicara tentang agama, pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, bahkan hal remeh seperti merek telepon. Jika pembicaraan itu menjadi semakin ruwet, maka bukan baik, buruk, atau biasa lagi yang jadi patokan. Tapi sejauh mana berita itu benar atau salah. Tentu dengan alat ukur tertentu.
Para pembuat berita meiliki aturan main untuk sampai pada penciptaan sebuah berita. Dan proses itu sering disebut sebagai jurnalisme atau kinerja jurnalistik (saya tidak begitu mampu membahas definisi, maka jangan terlalu diperhatikan, atau koreksi bagi yang mau). Singkat cerita, ketika suatu berita atau informasi ingin dibuktikan kebenarannya, maka ada satu tindakan yang harus dilakukan yaitu verifikasi, alat ukur itu. Membuktikan lagi kebenaran, mengujinya, mengoreksinya, mempertanyakannya. Kepada siapa dan apa? Tentu kepada jejak-jejak di mana kebenaran berita atau informasi itu tertinggal. Bisa di mulut pejabat sampai ke tong sampah sebelah rumah.
Mungkin masalahnya sudah selesai sampai sini. Ya, kebenaran bisa dicari dan dibuktikan juga diuji. Tak perlu memperpanjang masalah. “Tapi masalah hidup selalu ada, selesai masalah satu, muncul masalah lain...” begitu seorang teman berucap. Dan walaupun hidup itu sendiri tidak pernah mendengar ucapan teman saya, hidup tetap berjalan. Otot berganti mesin, otak berganti mesin, bahkan hubungan sosial tak luput dari cengkeraman mesin, sang teknologi, pembawa kemudahan, bukti kemajuan pikiran manusia. Cengkeraman, ada yang kadang mengganggu di sana, walaupun disisi lain membuat nyaman.
Kemarin saya membaca berita –melalui telepon pintar tentunya– kalau sekarang mesin bisa memproduksi sebuah berita. Mesin itu –yang saya lupa nama mesinnya– bisa memproduksi berita aktual tentang bencana alam. Ia dapat menghitung besaran angka-angka gempa bumi dan bencana lain, yang berhubungan dengan angka tentunya.
Tapi bagaimana dengan verifikasi? Mesin itu belum sampai sana, namun ada kemungkinan, bahkan di bagian akhir berita ada kutipan, pemenang nobel di masa depan adalah mesin. Mudah untuk dibayangkan bukan?
Ada banyak hal lain yang bisa dibicarakan sekarang. Soal hidup yang penuh mesin ini dan soal hidup yang sudah lama membikin masalah sebelum mesin. Agama, pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, dan hal-hal yang belum selesai lainnya (mungkin saya pernah mengulang hal ini). Namun saya ingin membicarakan hal yang lain dari hal-hal itu. Mungkin.
Tentang verifikasi, entah orang pernah mengetahuinya atau belum, yang paling jelas untuk sekarang adalah bahwa dengan pengetahuan orang bisa berkuasa, ini yang dikatakan foucault (Mungkin kata-kata saya tidak beraturan, tapi percayalah, saya sedang berusaha menyusunnya dengan baik). Maksud saya, sekarang definisi pun bisa dikuasai, tergantung siapa yang mengatakannya (saya tidak paham kalau ini soal lama atau bukan), tak terkecuali definisi-definisi baku dalam jurnalisme.
Menggu kemarin, saya mengikuti pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama. “Kita tidak akan belajar hal-hal dasar di sini, tentu kalian sudah pahamlah...” ujar salah satu panitia yang juga orang Kementerian Agama. Beberapa materi disampaikan, tentang pers mahasiswa dan kepentingan akademik, tentang jurnalisme di jaman mesin ini, juga tentang bersenang-senang dengan menggambar karikatur. Yah itu memang perspektif saya, soalnya beberapa materi cuma dikasih judul “jurnalistik 1, jurnalistik 2” di jadwal acaranya. Bahkan ada juga materi yang tidak disampaikan seperti materi soal program kerja kemahasiswaan dan peran pers mahasiswa terhadap pengembangan kemahasiswaan.
Kembali ke persoalan. Definisi baku yang coba dikuasai –dengan cara dimaknai kembali– oleh Kementerian Agama, salah satunya yang saya ingat adalah konsep berimbang. Dalam pemaknaan umum, konsep berimbang ini dilakukan supaya berita bisa menyampaikan kebenaran yang tidak berasal dari satu sisi saja. Atau yang sering disebut, cover both side, mengkover kedua sisi. Untuk apa? Bisa untuk sekedar meminta tanggapan sisi A, dan bisa juga untuk menguji kebenaran dari sisi B.
Dan agak menggelitik kalau seorang Direktur Jenderal mengatakan kalau konsep berimbang yang harus disepakati pers mahasiswa adalah berimbang dalam pemberitaan. “Berita selain menyampaikan hal buruk, juga harus menyampaikan hal yang baik, dalam istilah jurnalistiknya itu adalah beribang” begitu ucap sang Direktur Jenderal yang menjadi pemateri pembuka kegiatan itu.
Selain itu, ada pemateri lain bahwa pers mahasiswa adalah pers utusan Kementerian Agama, karena kampusnya berada dibawah naungan Kementerian Agama. Tentu ini adalah sebuah praktek penguasaan definisi. Ungkapan pers mahasiswa adalah utusan Kementerian Agama adalah ungkapan yang kurang berdasar pada akar sejarahnya. Salah satunya adalah pers mahasiswa sebagai media alternatif untuk menyampaikan suara-suara kebenaran, yang di kala orde baru marak untuk dibungkam. Setidaknya itulah sejarah yang saya ketahui. Apalagi kalau membahas hakikat pers, ia sendiri lahir dari sebuah konsep demokrasi, yang kekuasaannya dimiliki rakyat, yang menginginkan informasi kebijakan dan kinerja pemerintah, serta mengoreksinya.
Tak ada yang langsung bersuara untuk sekedar mempertanyakan definisi-definisi itu memang. Mungkin karena sang Direktur Jenderal sedang berbicara, mungkin karena tidak ada sesi tanya jawab setelah pembicaraan, mungkin yang lainnya.
Namun beberapa peserta acara itu bersuara ketika diajak membentuk forum pers mahasiswa yang dibawah Kementerian Agama. Alasannya, pers mahasiswa tidak mau kehilangan independensinya kalau ada di bawah institusi pemerintah, ada juga yang bilang kalau pers itu tidak punya agama, pers itu universal. Mungkin karena suara-suara seperti ini, panitia acara itu memotong dua materi yang saya sebutkan sebelumnya.
Kita akan mengatahui bagaimana praktek kekuasaan atas definisi kalau kita membaca sesuatu yang berhubungan dengan hal itu. Atau kita tidak akan mengetahui hal itu kalau tidak membaca. Ya, membaca membuat kita menjadi tahu, kadang itu memang penting. Mungkin jika orang-orang membaca buku “Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme” karya Ahmad Arif, mereka akan –setidaknya– berpikir sebelum berbicara tentang pers, jurnalisme, dan tetek bengek kepentingan-kepentingan lainnya.
Bahwa ada korban bencana tsunami di aceh yang belum mendapatkan bantuan yang layak dari pemerintah. Harus bertahan hidup dengan mengungsi, selama tiga tahun. Dan beberapa pers kala itu memberitakan keberhasilan-keberhasilan pemerintah dalam membantu korban tsunami, di satu sisi saja. Artinya berita yang baik. Bukan di sisi lain, yang belum mendapat bantuan yang layak itu. Betapa muaknya mereka, para korban, ketika mendengar berita baik itu.
Yah, mungkin pada akhirnya yang dicari adalah mana yang benar dan mana yang salah. Yang baik dan yang buruk itu soal lain, soal perspektif saja. Namun sulit juga memposisikan diri di pihak yang benar. Para peserta acara itu contoh kecilnya, mungkin apa yang mereka suarakan memiliki nada yang lantang, tapi perlu diingat, mereka juga menggunakan fasilitas Kementerian Agama, bahkan mereka mendapat uang harian, termasuk saya. Seandainya uang acara itu menggunakan pajak yang dibayar masyarakat, apa masih terdengar lantang jika suara itu direnungkan lagi?
Komentar
Posting Komentar