Langsung ke konten utama

Kasur yang Empuk

Ada hal-hal yang tak bisa dicapai dengan apa yang kita percayai. Begitulah yang aku pelajari dari sedikit liburanku. Bagaimanapun aku memikirkan ketidakmampuan-ketidakmammpuanku maupun rencana-rencana ke depan yang konkrit, semua tak mudah untuk dipikirkan maupun dilakukan. Suatu pelajaran yang didapat tak menjamin orang itu tak jatuh ke lubang yang sama. Ada yang sesuatu yang lain, selain pemikiran dan tindakan. Yang aku pahami, atau mungkin tak aku pahami.

Seperti ketika aku memikirkan kalau merokok itu tidak baik karena merusak kesehatan dan membuang-buang uang, atau anime itu tidak baik karena menjauhkan dari kenyataan di sekitar. Tetap saja aku merokok dan terus menonton anime. Begitu juga dengan hal-hal yang baik seperti membaca, menulis, bekerja, berbincang-bincang dengan orang. Aku tidak melakukannya. Lebih tepatnya aku tidak melakukannya dengan baik dan konsisten. Kadang dilakukan, kadang tidak.

Berfikir tenang dan masuk akal, menguatkan iman, menahan nafsu, itulah hal-hal yang biasanya aku pikirkan. Sekali-kali memikirkan hidup, tujuan, hal-hal berharga, jati diri, pekerjaan, keadilan. Sementara yang kulakukan lebih banyak adalah tidur di kasur yang empuk. Keluar dari kasur biasanya untuk makan, mandi, beribadah, dan bermain sepak bola. Aku tak tahu kebijaksanaan macam apa yang bisa aku dapatkan dari yang kulakukan ini.

Kadang aku berpikir kalau aku adalah seorang pangeran yang hidupnya nyaman, tentram dan damai. Hidup dalam istananya sendiri, selalu berkecukupan dan bisa melakukan hal yang menyenangkan tanpa keluar dari istananya. Aku punya segala hal, harta, keluarga, kasih sayang, orang-orang yang setia, dan apapun yang aku inginkan. Kadang juga aku muak dengan semua itu. Mungkin aku hanya merasa semu dan palsu. Tapi setelah aku mencoba keluar dari kepalsuan itu, aku tetap kembali ke kenyataan yang sama. Seorang pangeran yang hidupnya nyaman.

Lalu aku memikirkan, sejauh mana kehendakku? Apa hal yang tidak aku kehendaki? Yang tidak bisa dan tidak mau aku lakukan walaupun ingin. Apakah aku membutuhkan tekanan dari luar? Seperti dukungan, bimbingan atau ancaman. Seberapa kuat, dan seberapa lemah kehendakku? Atau mungkin aku bisa mendapat pembenaran dari ketidakmampuan-ketidakmampuanku? Apakah ada hal penting yang bisa aku pelajari dari merokok, nonton anime, dan tidur di kasur? Entahlah.

Ternyata jembatan yang aku lewati tak membuatku tidak takut untuk melewatinya lagi. Ketakutan, dan mungkin juga kehendak dan keberanian, tidak berada di belakang, di samping, di bawah, atau di depan. Tapi mereka berada di mana saja, di luar diriku, di dalam diriku, bahkan di tempat yang tak pernah kupikirkan dan di tempat yang tak bisa kujangkau. Lalu sekarang harus bagaimana? Ketika aku tak bisa memikirkan atau melakukan sesuatu hanya dengan memikirkan dan melakukannya. Ketika aku tak bisa mendapatkan sesuatu dari apa yang aku percayai. Harus bagaimana? Haruskah aku mendengarkan jawaban yang sama? Haruskah aku mendengarkan hal yang berbeda? Adakah sesuatu yang tidak aku dengar dari semua hal yang ku dengar itu?

Mungkin aku akan meniru sifat, pemikiran dan cara hidup seseorang. Lagi. Mungkin aku akan melakukan sesuatu sesuai jati diriku, tanpa meniru-meniru. Tapi mungkin saja aku tidak sadar kalau sebenarnya semua yang kupikirkan dan kulakukan hanya tiruan. Mungkin juga kalau semuanya bukan tiruan. Mungkin semua bermakna, mungkin juga tidak. Mungkin aku hanya perlu untuk tidak berpkir dan tidak melakukan sesuatu. Tapi benarkah semua itu mungkin? Sepertinya aku harus tidur lagi di kasur yang empuk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .