Langsung ke konten utama

Berpikir Lagi


Semua orang bisa berubah. Tubuhnya, pandangannya, sikapnya, perilakunya. Lalu suatu hari ada yang bilang padaku, “semoga pendapatmu tentang Tuhan tentang Allah tentang Islam itu masih bisa berubah…” ya mungkin saja, pikirku waktu itu. Mungkin ia ingin supaya aku tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang buruk.

Memang kondisiku waktu itu agak buruk. Jarang sholat, jarang mandi, jarang makan. Hidup seperti orang miskin yang dikasihani. Ada beberapa teman yang kemudian memberiku uang, beberapa memberi makanan, dan beberapa memberi tempat tidur sementara. Sedangan aku sendiri seperti orang mabuk yang ingin lari dari kehidupannya. Aku merasa dikejar waktu, dituntut masa depan, diteror orang-orag di rumah, dikejar deadline, ditekan oleh pikiran-pikiranku sendiri.

Aku merasa kasihan kepada orang-orang yang sudah aku repoti dan yang tidak ingin aku terjerumus ke dalam hal-hal yang buruk. Seharusnya aku minta maaf juga. Di antara orang-orang itu, ada yang sudah kenal lama dan ada yang baru kenal.

Dan yang baru kenal ada seorang perempuan. Entah kenapa tiba-tiba kami jadi sering chatingan. Tak tahu juga apa yang dipikirkannya hingga memberiku tas berisi makanan, minuman dan buku. Aku ingat pertama kami kenalan tidak saling menanyakan nama. Yang jelas kami membahas tentang seorang psikolog bernama Nietzsche.

Lalu tiba-tiba kami membahas, iman, tuhan, agama, hidup sampai ke hal-hal yang sepele. Berbicara dengannya membuatku kembali memikirkan siapa diriku dan hal-hal buruk dalam diriku. Dialah yang mengatakan supaya pendapatku tentang tuhan, allah, dan islam bisa berubah.

Aku tak tahu bagaimana caraku membalas semua itu kepadanya. Dia memberi semua itu kepada orang miskin yang hidupnya tidak jelas, sok idealis, seenaknya sendiri, kurang beriman, dan suka menggoda perempuan. Maaf saja tentu tak cukup.

Masih kuingat beberapa hal yang pernah kita bahas, aku masih menyimpan chatnya. Tapi ketika suatu hari aku membacanya lagi, rasanya aku agak terlalu berlebihan. Terlalu rasional ketika membahas satu hal dan sering menggoda. Sepertinya aku harus mengurangi hal itu.

Aku juga ingat dengan hobinya menghapus pesan, hingga aku tak tahu waktu iru ia meminta nasihat atas apa. Selain itu, aku tak tahu di mana rumahnya dan kapan ia ulang tahun, juga seseorang bernama Aldo Leopold yang pernah disebut dalam chat. Tapi ia tidak tahu kalau aku berhasil menyalin rekaman suara yang ia kirim sebelum ia hapus. Itu adalah rekaman suaranya menyanyikan Himawari no Yakusoku dari Motohiro Hata.

Setelah itu, aku beberapa kali mendengarkan rekamannya, mencari kunci gitar lagunya, dan mencoba menghafalkan lirik lagunya. Ketika bertemu lagi nanti, aku ingin menyanyikan lagu itu bersamanya. Suatu hari nanti, entah kapan. Beginilah aku, seenaknya sendiri. Tak membalas budi tapi malah ingin menyanyi bersama.

Lalu, di hari-hari ketika aku tak bertemu dan berkomunikasi dengannya, aku mencoba belajar beberapa hal. Aku semakin meresapi kenyataan hidupku yang tidak jelas dan keburukan-keburukanku. Aku juga belajar berpikir tenang dan mencoba lebih sering sholat.
Ketika belajar berpikir tenang, aku membuat aturan untuk diriku sendiri dalam menghadapi segala suatu. Yaitu, menghadapi segala sesuatu dengan senyuman dan membuat pilihan-pilihan yang masuk akal. Jika hal itu gagal, aku bisa mengabaikan sesuatu itu (hanya ketika hal itu membuatku bersikap berlebihan) atau tetap mengahadapinya dengan tenang.

Aku juga kembali memikirkan tentang tuhan, karunia, tujuan hidup, dan apa yang berharga dalam hidupku yang tidak jelas ini. Dengan memikirkan semua itu, mungkin aku akan mendapatkan sesuatu, mungkin aku bisa berubah. Mungkin, aku bisa menjadi seperti yang ia harapkan. Mungkin aku bisa sedikit berterimakasih.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .