Langsung ke konten utama

Si Perak, yang di Tertawakan*

Teriakan gembira menambah kebisingan di sekitar taman tugu pahlawan, semarang. Suara itu berasal dari gerombolan anak muda yang baru saja pulang dari lomba paduan suara mahasiswa di Universitas negeri Semarang. Tidaka ada yang menyangka kalau mereka akan mendapatkan medali perak. Ketua umum, pelatih, anggota baru, pengurus, tidak ada yang menyangkanya.
“kemenangan adalah ketika ribuan jam latihan bertemu dengan satu peluang” begitulah kata hiruma, ahli strategi rugby, Devil Bats. Mungkin kutipan itulah yang pantas menggambarkan perasaan anak paduan suara. Usaha mereka untuk mengikuti lomba tak berhenti pada latihan rutin rabu dan jumat, tapi setiap hari jam 4 sore sampai jam 9 malam. Kecuali di hari sabtu-minggu, yang latihannya mulai jam 7 pagi sampai jam 12 siang.

Latihan sangat melelahkan, dari lari-lari mengelilingi lapangan sampai menyamakan nada setiap jenis suara. Suara alto cenderung tidak blend, ada satu suara yang mendominasi. Suara sopran hampir selalu kekurangan power. Suara tenor harus mendapatkan pisuhan dari pelatih karena ada satu anak yang suaranya ngambang dan sulit dibenarkan. Sementara suara bass, aman-aman saja. Suara saya bass.

Latihan rutin tak secara instan membuat satu paduan suara memperbaiki kekurangan yang ada. Selalu ada momen untuk mengacaukan suara, walaupun hanya satu detik. Latihan membutuhkan disiplin yang keras, focus yang keras, tenaga yang cukup, tapi tidak lupa untuk tertawa sejenak.

Apa yang menjadi mimpi buruk anak psm adalah ketika mendapatkan 6/6. Maksudnya, peringatan ke enam dari enam kali batas yang ditentukan pelatih. Singkatnya dihukum, dan hukumannya harus membelikan pelatih sebuah miniature hotwills yang harganya 100 ribu ke atas. Selama latihan untuk lomba di semarang, hukuman terjadi karena slah satu suara kembali mengulang kesalahannya. Yang dihukum satu paduan suara, kecuali pelatihnya.

Selain mimpi buruk hotwills itu, masih ada mimpi buruk lainnya yang tentunya bukan sekedar mimpi. Seperti harus menyamakan gerakan tari, tanpa mengacaukan suara, bangun pagi-pagi untuk senam latihan, persiapan sebelum konser, dandan, diam di bis, tak boleh tertawa, hamming di belakang panggung. Semuanya taka da yang luput dari larangan, peringatan dan hukuman dari pelatih. Betapa kejamnya.

Tapi semua terbayar dengan si gepeng berwarna perak yang bernama medali itu. Warna perak adalah bukti pembayaran yang setimpal untuk latihan yang tiada henti, untuk focus yang melelahkan, untuk tenaga yang tercurahkan. Juga untuk semua materi yang dikorbankan. Uang.

Tapi ternyata, si perak tak diakui kilaunya oleh sang birokrat. Dalam focus grub discussion dana mahad di ruang perpustakaan, pihak rektorat sedikit menyinggung kegagalan beberapa ukm untuk mendapatkan prestasi. “Sepuluh perak pun tidak aka nada artinya jika tidak mendapatkan satu emas,” ujar Sugeng Listyo Wibowo, wakil rektor II. Bagi sang birokrat, mereka sudah mendanai kegiatan mahasiswa sebanyak 23 milyar rupiah. Uang itu percuma, jika tak mendapatkan sebuah emas emas.

Saya langsung mengbarkannya ke ketua umum, Putri Novita Artianti. Dengan penilaian yang seperti itu,  Putri yang sering disapa PN mengaku kalau kata-kata sang birokrat sangatlah menyakiti hati. Apalagi kita kemarin berangkat dengan dana seadanya, “setidaknya perak bisa mengobati usaha latihan selama sebulan dan materi dari teman-teman yang dikorbankan juga tidak sedikit,” ujarnya.

Tentang dana yang katanya dianggarkan 23 milyar rupiah oleh birokrat, PN mengatakan kalau paduan suara mahasiswa hanya mendapat 13 juta rupiah per tahun. Sementara kebutuhan dana untuk lomba adalah kisaran 35 juta rupiah. “Bukannya meterialistis,” kata PN, “tapi memang butuh uang, mindsetnya itu prestasi dan untuk mendapatkan prestasi kita butuh uang”.

“Sebenarnya pelatih itu sudah banyak mentolerir kita dari kondisi kampus yang seperti ini, upah pelatih 600 ribu rupiah per bulan, untuk lomba pelatih tidak peduli berapapun upahnya,” PN mengungkapkan kalau untuk lomba memang ada anggaran sendiri untuk pelatih, tapi pada faktanya zonk, “kita sendiri yang bayar pelatih, miris banget kalau kampus tak memberi apa-apa, udah jatuh tertimpa tangga,” saya sedikit memahami pribahasanya.

Bagi Adika Sandi yang menjadi presidium lomba semarang, –yang juga menjadi peserta lomba– kampus ini belum mendukung kegiatan UKM, “di kampus seperti unisma dan umm, pihak birokrat memberi selamat kepada ukm, banner ucapan semangat, itu sepele, tapi itu tetaplah bentuk dukungan,” ujar Adika. “Kalau mahasiswa mau lomba ya silahkan, jangan sampai keluar uang, pakai bis kampus, itu memang milik unisma, tapi itu hak mu,” ujarnya meniru ucapan pihak birokrat unisma di rapat persiapan lomba semarang.

“Bukannya ingin dipuji, setidaknya kalau gak mau muji ya diam aja, jangan menjelek-jelekkan,” ujarnya tegas, lalu PN tertawa, saya dan Adika juga ikut tertawa.


*Tulisan ini mau diterbitkan di koran tempel q-post LPM Inovasi, tapi karena yang diwawancarai gak mau tulisan ini diterbitkan, saya menulisnya untuk penugasan feature journalist camp LPM Inovasi. Tapi karena sama pengurusnya nggak ada tindak lanjut yang jelas, jadi saya terbitkan di blog pribadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Memungkinkan Gerakan Bersama Melawan Pembungkaman Kebebasan Pers

World Pers Freedom Day, Malang 3 Mei 2019 Melihat kekerasan terhadap wartawan dari tahun ke tahun begitu mencemaskan. Aliansi JurnalisIndependen (AJI) mencatat ada 81 kasus di tahun 2016, 66 kasus di tahun 2017, 64 kasus di tahun 2018. Entah berapa nanti jumlah kasus di tahun 2019, yang pasti selama januari sampai juni 2019, AJI mencatat ada 10 kasus kekerasan terhadap wartawan. Tentu kecemasan ini tidak dilihat dari jumlah kasusnya yang menurun, tapi dari tiadanya upaya yang konkrit dari pemerintah untuk mencegah dan menyelesaikan kasus kekerasan terhadap wartawan.

Tulisan Kematianku

Aku akan menulis tentang kematianku. Aku mati di depan kampusku, di pagi hari pukul tujuh lewat 40 detik, tanggal dua november 2019. Ketika menyeberang di jalan, aku ditabrak dan dilindas truk dua kali. Yang pertama ban depan, lalu disusul ban belakang. Sebagian isi perutku keluar. Tentu bersama darah yang tumpah jalan. Saking terkejutnya, bola mataku melotot seperti mau keluar. Yang kulihat waktu itu hanyalah truk yang terus semakin menjauh dariku. Lalu semua menjadi gelap.