Terjebak
dalam pikiran sendiri. Sebuah anggapan bahwa diri sudah bisa berubah dari hal
yang kaku ke hal yang lunak. Awalnya berpikir bahwa kaku itu, egois itu yang
benar, tapi setelah bersama mereka, aku sadar kalau egois itu tak selalu benar,
dan lunak tak ada salahnya. Ketika mereka tertawa dan membuatku tertawa, aku
berpikir dan merasa bahwa aku sedikit berubah. Ya aku memang berubah, tapi
mereka tak begitu menginginkan aku yang lunak. Mereka menekanku dengan perasaan
mereka, dan pikiranku terbolak-balik. Lunak pun tak selamanya baik, aku tahu
itu, tapi mereka menyimpan ketakinginannya sampai akhir tiba. Mereka diam dalam
tawa mereka. Aku tak tahu, hal-hal ini diluar batas pemikiranku. Ah, aku kalah.
Seperti
kala itu ketika aku bertemu dengannya. Aku mengira akan sama seperti pertemuan
yang lainnya, setelah semua selesai maka akan berakhir. Sayangnya, aku salah.
Seperti saat pertama kali ia terbuka padaku, hal sederhana itu membuatku
menginginkan hal lebih.
Walaupun aku masih percaya hal sederhana itu yang kuanggap sebagai hal yang lebih darinya. Aku tak terlalu memikirnya sekarang. Bukannya aku melupakan atau mengabaikannya. Aku hanya tak ingin terjebak di sana. Dan aku masih ingin melihatnya. Kesederhanaan itu. Aku ingin berjalan sambil melihatnya di sana.
Lamunan
panjangku terganggu dengan datangnya sosok tinggi kurus. Ia duduk di sampingku,
mengalihkan lamunanku dengan masalah yang ia hadapi. Entah ia hanya butuh
pelampiasan atau memang butuh solusi. Aku tidak pernah memberikan keduanya pada
siapapun dulu, sekarang aku terbiasa memberikannya secara cuma-cuma. Mendengar
setiap detail masalahnya, lalu otakku mulai berpikir harus melakukan apa. Aku
tidak suka menyela, aku hanya akan mendengarnya hingga ceritanya berakhir dan
ia meminta padaku, entah minta tolong atau minta solusi.
Ketika
aku terus mendengarkan masalahnya, aku semakin mempertanyakan diriku. Apa benar
yang aku lakukan ini semacam cuma cuma dan ikhlas, atau aku hanya sedikit
terpaksa? Aku tak tahu, yang pasti dua hal itu yang aku rasakan. Dua hal itulah
yang pasti. Dan yang lebih pasti lagi adalah pertanyaan itu sendiri. Tapi aku
mencoba membuatnya merasa kalau aku tetap ingin berkomunikasi dengannya.
Setelah
ia bercerita, ia diam. Aku tidak tau ia menunggu apa, aku berpikir keras. Dan
yang berhasil kupikirkan hanyalah, aku akan ke toilet sampai aku tau jawaban
bagaimana meresponnya. Benar saja, kutinggalkan dia sebentar hanya untuk diam
di toilet. Aku bahkan harus berkali-kali menatap jam tangan dan kaca wastafel,
berharap aku tidak terlalu lama meninggalkannya. Kuhembuskan napas sebelum
kembali menghadapnya dan memberinya solusi. Kuputuskan memberinya solusi,
berharap memang itu yang dia harapkan.
Aku
beranikan diriku untuk mengatakan apa yang ingin aku katakan padanya. Dengan
senyum, aku mencoba menutupi sedikit kegugupanku. Lalu aku mengatakannya,
mencoba memakai tempo bicara yang tenang dan memilih kata-kata yang rasional.
Semenjak berhenti, lupa, buntu, bertanya ke diri sendiri, lalu ingat. Dan aku
menyelesaikan kata kataku. Tapi... Yang tidak aku duga adalah, ia sudah menduga
kalau aku akan berkata seperti itu.
Aku
tertawa, begitu juga dengannya. Kegugupanku menguap begitu saja, dia lebih
paham dariku tapi masih bertanya padaku. Kusadari lagi bahwa manusia memang
begitu. Meski akan tau bagaimana tanggapan orang lain, dia akan tetap
menceritakannya, melakukannya. Mungkin dia ingin jawaban, mungkin solusi, atau
mungkin penasaran dengan tanggapan orang lain atau hal lain yang sementara ini
tidak aku pahami.
Setelah
berbicara tentang masalah masalahnya ia bercerita tentang hal-hal yang
menyenangkan, lucu dan kadang menjengkelkanku. Aku pun terbawa suasana. Ikut
bercerita, yang menyenangkan, lucu, dan membuatnya jengkel. Tapi di sisi lain
aku berpikir, sebenarnya ia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia tetap
bisa tertawa dengan masalah seperti itu. Walaupun aku juga bingung bagaimana
bisa seperti itu dan sepertinya ada yang selalu ia sembunyikan dariku. Hmm,
entahlah, aku ingin menjalani yang seperti ini saja. Tiba tiba ia bilang kepadaku
kalau ia mau pergi, lalu ia mengucapkan salam padaku, sambil tersenyum. Aku
sendirian lagi. Duduk di sini.
*Fiksi ini ditulis berdua oleh wahyu dan zumroh.
Komentar
Posting Komentar