Ketika
alam sudah rusak, yang biasanya kita lakukan adalah merawat, melestarikan, dan
menjaganya agar kembali pulih. Kita menjaga alam karena kita membutuhkannya
agar bisa tetap hidup. Tanaman, air, tanah dan semua elemen yang berasal dari
alam bisa kita gunakan untuk kelangsungan hidup kita. Manusia.
Ya,
kita, manusia membutuhkan alam. Entah dengan alam, apakah alam membutuhkan kita? Mungkin itu tidak perlu
dijawab, karena kasih sayang manusia untuk menjaga alam tidak membutuhkan
alasan soal alam membutuhkan manusia atau tidak. Walaupun alam telah merenggut
nyawa saudara-saudara kita. Kita tak menyalahkannya, kita menangis, tapi tetap
menjaga alam. Sungguh kasih sayang yang indah.
Kita
selalu menjaga alam, terutama disaat alam rusak. Mengapa? Karena kita
sendirilah yang merusak alam, memanfaatkannya, mengekploitasinya, membununya
sedikit demi sedikit. Untuk kebutuhan berlebih bagi nafsu kita. Sesuatu yang
menyenangkan namun terkadang tidak begitu penting dan bisa berbahaya. Kita tahu itu, dan
tetap melakukannya.
Kekuasaan,
kejayaan, uang, merupakan sesuatu yang nafsu kita butuhkan. Nafsu itu kita
wujudkan dalam bentuk korporasi, perusahaan, dan segala bentuk dari kita yang
tidak mempedulikan lingkungan. Ketika kebutuhan dari nafsu itu terpenuhi, kita sering merasa
nyaman. Namun kita sering tidak sadar kalau nafsu itulah yang menjadi sumber
dari bahaya yang mengancam saudara-saudara kita di tempat lain.
Alam pun bingung dengan tingkah kita. Kita yang
menjaga alam, tapi kita juga yang merusaknya.
Awalnya alam mengira bahwa ia tidak akan dirusak lagi,
karena kita menciptakan hukum untuk melarang saudara-saudara kita yang ingin
merusaknya. Namun hukum itu tidak mempan. Masih ada yang merusak alam.
Di saat kita menyalahkan, mengkritik, merendahkan
kesadaran teman kita yang merusak alam, alam kembali bingung. Mengapa kita
merendahkan kesadaran saudara kita yang merusak alam? padahal kita sendiri yang
sejak awal menerima dan kemudian menikmati hasil dari perwujudan nafsu mereka.
Kita merendahkan kesadaran saudara kita, padahal kita sendiri yang sejak awal
tidak memiliki kesadaran, atau kita sadar tapi tak mau mengakuinya.
Ketika di awal tahun kita berharap agar kerusakan alam
tidak terjadi lagi, sedangkan alam sudah bosan dengan harapan-harapan yang pada
akhirnya menjadi keputusasaan. Terus-menerus setiap tahun. Di titik ini, alam
sadar mengapa manusia berbeda dengannya, mengapa ada manusia yang baik dan ada
yang tidak baik ? Itu karena manusia memiliki kehendak bebas. Bebas
menggerakkan tubuh mereka, bebas berpikir, bebas menentukan tujuan hidup,
bahkan bebas untuk tidak membebaskan diri sendiri dan manusia lain.
Alam diam, tak bisa bicara. Atau mungkin, alam memang diam,
tak bicara, agar manusia tidak bisa memahami apa yang sebenarnya dipikirkan dan
dirasakannya. Mengambil keputusan yang bijak.
Dalam diamnya alam meramalkan akhir cerita dari
sebebuah dunia yang indah namun juga kejam. Alam memikirkan dua akhir cerita.
Pertama, manusia akan menyesal karena telah merusak alam sehingga alam hampir
punah. Lalu menusia melakukan perubahan besar agar semua manusia menjaga alam,
karena alam menjadi satu-satunya pilihan yang membuat manusia bisa hidup.
Kedua, tidak ada akhir dari manusia yang menjaga alam dan manusia yang merusak
alam, walaupun manusia bisa mati, tapi mereka bisa terlahir kembali, begitu
juga dengan alam.
Dari dua akhir cerita itu, yang membuat alam gelisah
adalah akhir cerita pertama. Lalu alam merenung dalam waktu yang tidak bisa
dibilang lama ataupun singkat. Hasil dari renungan itu adalah sebuah pertanyaan,
“Mengapa perubahan besar dalam kebaikan
selalu terjadi karena tragedi yang besar? Apakah perubahan besar dalam kebaikan bisa terjadi tanpa tragedi besar?” Alam terus berpikir mencari
jawaban. Di suatu hari alam menemukan jawabannya, namun alam termenung lagi
karena mendapatkan pertanyaan baru. Begitu seterusnya.
*Seingat saya, tulisan ini mau diterbitkan di rubrik esai uapminovasi.com tapi...entahlah,
Komentar
Posting Komentar