Langsung ke konten utama

Menjaga*



Ketika alam sudah rusak, yang biasanya kita lakukan adalah merawat, melestarikan, dan menjaganya agar kembali pulih. Kita menjaga alam karena kita membutuhkannya agar bisa tetap hidup. Tanaman, air, tanah dan semua elemen yang berasal dari alam bisa kita gunakan untuk kelangsungan hidup kita. Manusia.

Ya, kita, manusia membutuhkan alam. Entah dengan alam, apakah alam membutuhkan kita? Mungkin itu tidak perlu dijawab, karena kasih sayang manusia untuk menjaga alam tidak membutuhkan alasan soal alam membutuhkan manusia atau tidak. Walaupun alam telah merenggut nyawa saudara-saudara kita. Kita tak menyalahkannya, kita menangis, tapi tetap menjaga alam. Sungguh kasih sayang yang indah.

Kita selalu menjaga alam, terutama disaat alam rusak. Mengapa? Karena kita sendirilah yang merusak alam, memanfaatkannya, mengekploitasinya, membununya sedikit demi sedikit. Untuk kebutuhan berlebih bagi nafsu kita. Sesuatu yang menyenangkan namun terkadang tidak begitu penting dan bisa berbahaya. Kita tahu itu, dan tetap melakukannya.

Kekuasaan, kejayaan, uang, merupakan sesuatu yang nafsu kita butuhkan. Nafsu itu kita wujudkan dalam bentuk korporasi, perusahaan, dan segala bentuk dari kita yang tidak mempedulikan lingkungan. Ketika kebutuhan dari nafsu itu terpenuhi, kita sering merasa nyaman. Namun kita sering tidak sadar kalau nafsu itulah yang menjadi sumber dari bahaya yang mengancam saudara-saudara kita di tempat lain.

Alam pun bingung dengan tingkah kita. Kita yang menjaga alam, tapi kita juga yang merusaknya.
Awalnya alam mengira bahwa ia tidak akan dirusak lagi, karena kita menciptakan hukum untuk melarang saudara-saudara kita yang ingin merusaknya. Namun hukum itu tidak mempan. Masih ada yang merusak alam.

Di saat kita menyalahkan, mengkritik, merendahkan kesadaran teman kita yang merusak alam, alam kembali bingung. Mengapa kita merendahkan kesadaran saudara kita yang merusak alam? padahal kita sendiri yang sejak awal menerima dan kemudian menikmati hasil dari perwujudan nafsu mereka. Kita merendahkan kesadaran saudara kita, padahal kita sendiri yang sejak awal tidak memiliki kesadaran, atau kita sadar tapi tak mau mengakuinya.

Ketika di awal tahun kita berharap agar kerusakan alam tidak terjadi lagi, sedangkan alam sudah bosan dengan harapan-harapan yang pada akhirnya menjadi keputusasaan. Terus-menerus setiap tahun. Di titik ini, alam sadar mengapa manusia berbeda dengannya, mengapa ada manusia yang baik dan ada yang tidak baik ? Itu karena manusia memiliki kehendak bebas. Bebas menggerakkan tubuh mereka, bebas berpikir, bebas menentukan tujuan hidup, bahkan bebas untuk tidak membebaskan diri sendiri dan manusia lain.

Alam diam, tak bisa bicara. Atau mungkin, alam memang diam, tak bicara, agar manusia tidak bisa memahami apa yang sebenarnya dipikirkan dan dirasakannya. Mengambil keputusan yang bijak.

Dalam diamnya alam meramalkan akhir cerita dari sebebuah dunia yang indah namun juga kejam. Alam memikirkan dua akhir cerita. Pertama, manusia akan menyesal karena telah merusak alam sehingga alam hampir punah. Lalu menusia melakukan perubahan besar agar semua manusia menjaga alam, karena alam menjadi satu-satunya pilihan yang membuat manusia bisa hidup. Kedua, tidak ada akhir dari manusia yang menjaga alam dan manusia yang merusak alam, walaupun manusia bisa mati, tapi mereka bisa terlahir kembali, begitu juga dengan alam.

Dari dua akhir cerita itu, yang membuat alam gelisah adalah akhir cerita pertama. Lalu alam merenung dalam waktu yang tidak bisa dibilang lama ataupun singkat. Hasil dari renungan itu adalah sebuah pertanyaan, “Mengapa perubahan besar dalam kebaikan selalu terjadi karena tragedi yang besar? Apakah perubahan besar dalam kebaikan bisa terjadi tanpa tragedi besar? Alam terus berpikir mencari jawaban. Di suatu hari alam menemukan jawabannya, namun alam termenung lagi karena mendapatkan pertanyaan baru. Begitu seterusnya.


*Seingat saya, tulisan ini mau diterbitkan di rubrik esai uapminovasi.com tapi...entahlah,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Memungkinkan Gerakan Bersama Melawan Pembungkaman Kebebasan Pers

World Pers Freedom Day, Malang 3 Mei 2019 Melihat kekerasan terhadap wartawan dari tahun ke tahun begitu mencemaskan. Aliansi JurnalisIndependen (AJI) mencatat ada 81 kasus di tahun 2016, 66 kasus di tahun 2017, 64 kasus di tahun 2018. Entah berapa nanti jumlah kasus di tahun 2019, yang pasti selama januari sampai juni 2019, AJI mencatat ada 10 kasus kekerasan terhadap wartawan. Tentu kecemasan ini tidak dilihat dari jumlah kasusnya yang menurun, tapi dari tiadanya upaya yang konkrit dari pemerintah untuk mencegah dan menyelesaikan kasus kekerasan terhadap wartawan.

Tulisan Kematianku

Aku akan menulis tentang kematianku. Aku mati di depan kampusku, di pagi hari pukul tujuh lewat 40 detik, tanggal dua november 2019. Ketika menyeberang di jalan, aku ditabrak dan dilindas truk dua kali. Yang pertama ban depan, lalu disusul ban belakang. Sebagian isi perutku keluar. Tentu bersama darah yang tumpah jalan. Saking terkejutnya, bola mataku melotot seperti mau keluar. Yang kulihat waktu itu hanyalah truk yang terus semakin menjauh dariku. Lalu semua menjadi gelap.