Langsung ke konten utama

Dari Menunda ke Menunda


Semester kemarin sudah berlalu. Harapan untuk terus menulis menjadi harapan dan menguap saja. Kesibukan bisa menjadi alasan, tapi tak konsisten tetaplah tak konsisten. Hal yang paling pantas dilakukan sepertinya hanya meresapi kekecewaan dalam diam. Terus menerus. Memang, masalahnya bukanlah ketidakmauan untuk memanfaatkan waktu, melainkan sudah sadar tak memanfaatkan waktu tapi tak segera beranjak menulis.

Sangat jelas sekali waktu yang terbuang sia-sia dengan berkunjung dari warung kopi ke warung kopi di tiap malamnya. Bergumul dengan bantal dan slimut di tiap paginya. Maupun menonton film di tiap siang sampai sorenya. Bagaikan melodi kemalasan yang indah dari manusia yang tak mau menyebut dirinya sampah.

Tak semuanya yang sampah itu buruk memang. Untung masih bisa menemukan sesuatu yang layak untuk dimanfaatkan. Dan untung masih ada sedikit kemauan. Masih mau membaca, mengomentari tulisan, dan berdiskusi. Walaupun orang-orang itu memiliki ciri yang kadang sama denganku, malas. Obrolan cemerlang tentang tulis-menulis hanya “ada” di chatingan. Kalaupun obrolan itu “mengada” ia akan “tiada” setelah ngumpul dan dibahas di warung kopi. Selanjutnya ditinggal main game, main sosial media (yang entah sejak kapan ini menjadi mainan), main youtube dan main apapun yang bisa dilakukan kalau ada sinyal wifi. Lalu, ngobrol tentang tulis-menulis di chatingan, sampai meniadakannya di warung kopi lagi. Benar-benar obrolan yang cemerlang.

Tapi, dari obrolan cemerlang itu, aku menemukan sesuatu yang layak untuk dimanfaatkan. Meskipun beberapa hal yang ingin (dan yang harus) ditulispun hanya tercatat dalam sepotong kata di buku harian atau di aplikasi yang ada di gawai.

Setiap menuliskan sepotong kata itu, ada harapan untuk merangkainya dalam 4-5 paragraf. Ya hanya harapan. Sampai ketika menuliskan sepotong kata lagi, harapan itu muncul lagi. Tanpa memberi kepastian, kapan harus diselesaikan.

Sekarang, potongan kata itu menumpuk secara vertikal di catatanku. Sebenarnya, setiap potongan kata yang ingin kurangkai dalam 4-5 paragraf itu ingin kutampilkan di berbagai tempat. Di media organisasi, blog pribadi, dan media lain, entah cetak atau online. Dan belum ada yang terlaksana. Masih tertunda dan tertunda. Tapi takkubiarkan ini terus tertunda. Satu tulisan di awal tahun semoga bisa menjadi pemicu untuk menyelesaikan target-target yang ingin kucapai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Memungkinkan Gerakan Bersama Melawan Pembungkaman Kebebasan Pers

World Pers Freedom Day, Malang 3 Mei 2019 Melihat kekerasan terhadap wartawan dari tahun ke tahun begitu mencemaskan. Aliansi JurnalisIndependen (AJI) mencatat ada 81 kasus di tahun 2016, 66 kasus di tahun 2017, 64 kasus di tahun 2018. Entah berapa nanti jumlah kasus di tahun 2019, yang pasti selama januari sampai juni 2019, AJI mencatat ada 10 kasus kekerasan terhadap wartawan. Tentu kecemasan ini tidak dilihat dari jumlah kasusnya yang menurun, tapi dari tiadanya upaya yang konkrit dari pemerintah untuk mencegah dan menyelesaikan kasus kekerasan terhadap wartawan.

Tulisan Kematianku

Aku akan menulis tentang kematianku. Aku mati di depan kampusku, di pagi hari pukul tujuh lewat 40 detik, tanggal dua november 2019. Ketika menyeberang di jalan, aku ditabrak dan dilindas truk dua kali. Yang pertama ban depan, lalu disusul ban belakang. Sebagian isi perutku keluar. Tentu bersama darah yang tumpah jalan. Saking terkejutnya, bola mataku melotot seperti mau keluar. Yang kulihat waktu itu hanyalah truk yang terus semakin menjauh dariku. Lalu semua menjadi gelap.