Langsung ke konten utama

Minum Teh di Pagi Hari

Suatu pagi. Saya membuat teh, lalu meminumnya. Saya harus menulis, buat pengantar  diskusi tipis-tipis di UAPM Inovasi. Tentang analisis framing. Lalu saya menulis begini:

Analisis Framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konstruksionis diperkenalkan oleh Peter L Berger, seorang sosiolog interpretatif. Tesis utamanya adalah manusia dan masyarakat adalah produk sialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus.

Konstuksionis memiliki pandangan yang sering dibedakan dengan pandangan positivis. Misal, bagi pandangan positivis, ada fakta yang riil yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal. Sementara pandangan konstruksionis mengatakan bahwa fakta merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku sesuai konsteks tertentu.

Pandangan konstuksionis lainnya seperti, media adalah agen konstruksi, berita hanyalah konstruksi dari realitas, dan lain sebagainya. Sepertinya pembaca sudah paham kan? Kemarin ikut diskusi jurnalisme kritis gak? Kalau enggak, Gak papa kok, buku Analisi Framing ada banyak di wilis.

Baiklah kita akan masuk ke salah satu model analisis framing. Di buku analisis framingnya Pak Eriyanto, ada satu model analisis framing. Analisis framing ala zhongdang pan dan gerald m. Kosicki.

Jadi begini cuy, konon, model analisis dua cendekiawan ini adalah yang populer dan banyak dipakai. Mereka berdua menulis makalah tentang analisis framing yang diunggang di Journal Political Communication. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang suatu isu atau kebijakan dikonstruksikan dan dinegosiasikan. “Masak sih?” Radit bertanya.

Mereka melihat framing sebagai proses pembuatan suatu pesan yang lebih menonjol. Artinya ada penempatan informai yang lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut. Nah, untuk melihat apa apa yang ditonjolkan, Pan dan Kosicki membuat seperangkat cara berframing. Ada empat.

Yang pertama adalah sintaksis. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dan bagian berita, seperti headline, lead, latar informasi, sumber, penutup. Diantara elemen-elemen sintaksis ini, yang memiliki kemenonjolan yang tinggi adalah headline. Soalnya pembaca cenderung lebih mengingat headline dibandingkan bagian berita lainnya.

Namun bagian lain juga memberi kontribusi penting, seperti sumber berita. Sumber berita dimaksudkan untuk membangun objektivitas. Bagian ini menekankan bahwa apa yang ditulis wartawan bukan pendapat wartawan semata, melainkan pendapat orang yang memiliki otoritas tertentu. Sehingga ada semacam klaim bahwa pendapat itu benar. Selain itu, pendapat ini juga bisa mengecilkan pendapat/pandangan tertentu, dan jika dihubungkan dengan pandangan mayoritas, maka suatu pandangan bisa dianggap sebagai pandangan yang menyimpang.

Perangkat framing yang kedua adalah skrip. Skrip ini semacam perangkat untuk melihat bagaimana berita disusun sebagai cerita/dengan urutan tertentu. Bentuk umum dari skrip adalah pola 5w + 1h. Contohnya, wartawan yang menulis berita tentang demonstrasi mahasiswa yang bentrok dengan aparat keamanan. Unsur who nya mahasiswa, whatnya pelemparan batu, where whennya sesuai tempat dan waktu kejadian. Sementara hownya kronologi pelemparan batu, tapi tidak ada unsur why: kenapa mahasiswa melempar batu. Nah, dengan cara bercerita seperti ini, khalayak disuguhi informasi bahwa mahasiswa sedang melakukan kerusuhan.

Perangkat berikutnya adalah tematik. Kalau perangkat sintaksis yang tadi membahas, bagaimana fakta itu ditempatkan pada bagian berita. Maka perangkat tematik berhubungan dengan bagaiman fakta itu ditulis. Pan dan Kosicki membagi beberapa elemen yang dapat diamati dari perangkat tematik ini. Salah satunya adalah koherensi. Koherensi sendiri memiliki beberapa macam, yaitu koherensi sebab akibat, koherensi penjelas, dan koherensi pembeda. Belum pusing kan ya? J

Koherensi sebab akibat, melihat bahwa proporsi atau kalimat satu dipandang sebagai sebab atau akibat dari proporsi lain. Umumnya ditandai dengan kata hubung “sebab” atau “karena”. Koherensi penjelas melihat bahwa proporsi atau kalimat satu adalah enjelas proporsi atau kalimat lain. Umumnya ditandai dengan kata hubung “dan” atau “lalu”. Sementara koherensi pembeda melihat bahwa proporsi atau kalimat satu dipandang sebagai kebalikan atau lawan dari kalimat lain. Umumnya, ditandai dengan kata hubung “dibandingkan” atau “sedangkan”.


Yang terakhir adalah perangkat retoris. Perangkat ini menggambarkan pilihan gaya atau kata oleh wartawan untuk menekankan arti yang ditonjolkan oleh wartawan. Dengan demikian, pilihan kata yang dipakai tidak semata-mata hanya karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan bagiamana pemaknaan seseorang terhadap fakta/realitas. Yang terakhir ini nggak usah pakai contoh ya? Langsung direnungkan dan mulai diskusi saja. Oh iya, maaf ya pembaca, ini bukan cerita pendek, tapi kalau pembaca menganggap tulisan ini sebagai cerita pendek, ya tidak masalah. Saya tidak peduli.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .