“Maka
dari itu, sekolah yang pintar, biar tidak menjadi petani seperti kakekmu ini.
Jadi petani itu capek.” Kakek pernah berpesan, dulu sekali. Lantas aku
menjawabnya dengan nada sok bijak, “yang penting itu bukan pinter kek, tapi
sehat. Kalau aku pintar, aku akan malas menggerakkan tubuh ini, bisa-bisa aku
lumpuh, loyo. Dari pada pintar, mending aku jadi petani saja seperti kakek,
sehal wal afiat”. Percakapan itu terjadi di tengah sawah yang sore, angin
berhembus santai, matahari tak bersinar sombong. Aku lupa bagaimana ekspresi
kakek waktu itu.
Bagiku,
sekolah itu adalah masuk kelas tepat waktu, duduk di kursi, mengacungkan tangan
untuk mengisi absen dan mematuhi aturan-aturan kelas. Sisanya adalah kebebasan.
Aku sekarang duduk di bangku kuliah, berbicara jika ingin berbicara,
mengerjakan tugas-tugas dengan tidak ikhlas, lalu pulang, keluar dari kelas
dengan beberapa kekecewaan. Entah itu tugas kuliah, diskusi, ujian kelas,
semakin lama aku kuliah, semakin sadar kalau bukan begini seharusnya.
Jadi
begini, aku kuliah di fakultas ekonomi. Untuk menjadi pintar, aku harus
menguasai ilmu-ilmu ekonomi. Aku mulai membaca buku, menulis dan berdiskusi.
Lalu aku berpikir lagi, aku bertanya, “untuk apa aku belajar?” Aku sadar ilmu
ini bisa membuat orang menjadi lebih sejahtera, ketika ilmu ini diterapkan.
Namun di waktu yang sama, aku juga tahu kalau ilmu ini juga bisa menindas
seseorang atau masyarakat yang tak berilmu. Apakah kau bisa membayangkannya?
Apakah
kau tahu gedung-gedung tinggi di kota? Apakah kau tahu pabrik-pabrik yang baru
di bangun? Semuanya diciptakan oleh ilmu, tanpa terkecuali. Kota penuh dengan
gedung dan pabrik itu, namun pembangunan tetap tak berhenti. Walaupun harus
dibangun di desa-desa yang damai, walaupun membabat hutan sagu, walaupun harus
mengusir oarang-orang yang tinggal di desa. Walaupun harus menodongkan senjata,
sampai pelatuk ditarik dan satu atau semuanya mati. Gedung dan pabrik, ia harus
ada untuk kemajuan negara.
Aku
pun pergi jauh dari kelas, mencari tempat pelampiasan. Sampai aku bertemu
mereka, yang melawan. Berbicara dengan orang-orang ini membuatku sadar, selalu
ada keberpihakan, bagi orang-orang yang berilmu. Jika kau pintar, akan kau
gunakan untuk apa kepintaranmu itu? Untuk membangun gedung dan pabrik, atau
membela mereka yang disingkirkan? Untuk apa?
Benar
kata orang bahwa belajar bukan tentang yang barusan kutulis saja. Aku juga
tidak ingin menempitkan persoalan. Kau bebas untuk menjadi pintar, kau bebas
membaca buku apa saja, kau juga bebas untuk membangun gedung dan pabrik itu.
Tapi hati-hatilah, jika kau menyingkirkan orang-orang yang tinggal di sana.
Akan ada orang-orang yang siap untuk melawan, mereka berteriak lantang untuk
menolak. Mereka akan terus memburumu seperti kutukan. Mereka yakin, kau dan
bangunan dan pabrikmu akan hancur. Mereka tak habis-habis, terus hidup,
walaupun mati akan lahir kembali, akan tetap ada dan berlipat ganda.
Kau
mungkin tetap tak takut dan tetap percaya untuk menang. Memang benar itu, kau
punya kuasa, kau punya hukum, kau punya otot besar, kau punya senjata. Kau
punya uang untuk membeli semuanya. Sedangkan mereka, orang-orang yang tinggal
di sana, tak punya uang sebanyak uangmu, juga tak berilmu setinggi ilmumu.
Orang-orang itu memang sudah kalah sejak awal, bahkan sebelum memulai
pertempuran. Aku juga sudah kalah, tulisanku tak mampu menahan kekerasan aparat
keamanan yang ganas. Omonganku sudah dibinasakan di ruang kelas itu. Tubuhku
kecil, kurus, tak pandai pula.
Maka
dari itu, aku melakukan hal yang pernah disarankan teman lamaku, “lakukanlah
pekerjaan yang bisa menyelamatkan seseorang, setidaknya itu lebih baik daripada
melakukan pekerjaan yang bisa membunuh seseorang”. Karena dia berkata “dihabisi
oleh kenyataan dan menyerah, kedua itu hal yang berbeda”. Aku pernah bertanya,
“dari mana kau tahu?” dan temanku menjawab, “dasar bodoh, tentu saja karena aku
adalah temanmu”. Temanku sudah mati dan ia masih hidup.
Kami
kalah dan Fajar Merah berteriak:
Karena kebenaran...akan terus
hidup
Sekalipun kau lenyapkan
Kebenaran takkan mati
...
Jika
hidup adalah neraka, maka aku adalah pendosa yang akan menantang malaikat untuk
berkelahi, siang dan malam, pukulan dan kata-kata.
Komentar
Posting Komentar