Di hari-hari
yang polanya tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya, sepertinya
orang-orang belum mau untuk mengakui kebutaannya. Mungkin mereka nyaman. Atau
berpura-pura nyaman. Setidaknya hal itulah yang –sedikit– saya rasakan, setelah
keluar dari rutinitas, berjalan agak jauh ke Masjid, menggerak-gerakkan anggota
tubuh selama beberapa menit, lalu kembali ke rutinitas atau menggantinya.
Atas pengaruh
lingkungan, jum’at itu saya mengunjungi Masjid yang berada ditengah himpitan
rumah, warung, tempat print-printnan,
tempat laundry, juga kos-kosan.
Masjid itu
seperti bongkahan kue yang dikerumuni semut yang lapar. Semut-semut tak butuh
waktu yang pas untuk datang menyambar kue, juga tak butuh sambutan pembuka sang
ratu untuk segera mencuil kue. Tapi entah mengapa, ketika sang ratu bersabda
bahwa kue itu sudah habis, semut-semut kembali ke rumahnya. Sekalipun kue itu
masih utuh secara empiris.
Masjid –yang
saya ibaratkan sebagai bongkahan kue– itu persis berada di pojok gang dan
dihimpit oleh rumah-rumah. Di sebelah utara, dan di depannya. Di seberang jalan
dari gang itu, Masjid hanya terlihat separuh.
Saya adalah
salah satu semut itu, tapi saya tak datang untuk mencuil kue, saya datang untuk
berkunjung saja. Saya pun harus dicap dengan stampel ‘dosa’ secara metafisika. Saya
melihat dan benar-benar melihat bagaimana tingkah laku semut-semut yang lain
mencuil kue. Tapi saya tak benar-benar mendekati bongkahan kue itu, saya berada
di teras salah satu rumah –di gang itu– yang agak jauh. Saya tak sendiri, di samping
dan belakang saya ada semut-semut lain, mereka sengaja berada di teras, tapi
saya tak tahu, apakah mereka dicap juga?
Jumat itu saya
datang tiba-tiba dan tidak mendengarkan suara-suara khotbah dan tiba-tiba saja
saya bersiap-siap untuk menggerakkan tubuh. Setelah sang Imam –sang Ratu itu–
mengucapkan “Allahu Akbar” saya mulai
mengangkat kedua tangan saya dan bersedekap. Semut yang lain juga begitu. Tapi
ada semut-semut lain –dengan tiba-tiba yang melampaui tiba-tiba saya– yang
datang. Mereka bingung mencari tempat, seperti maling yang terjebak di jalan
buntu. Soalnya, Masjidnya sudah penuh, begitu juga dengan teras rumah warga
maupun kos-kosan yang digunakan untuk sholat oleh penghuninya. Di sekitar
masjid itu.
Tanpa pikir
panjang mereka langsung mengikuti gerakan kami yang sudah bergerak dari awal.
Tepat di jalan antara satu rumah dan rumah lainnya. Tapi mereka sudah persiapan
dari awal, soalnya mereka membawa sajadah. Jadi wajah mereka ndak reget.
Sayapun berhenti
memandangi mereka, dan bisa berpura-pura mencuil kue lagi. Tapi setelah saya
menundukkan badan, menundukkan kepala ke lantai keramik, dan berdiri lagi, saya
kembali melihat ada yang mampu melampaui tiba-tibanya saya. Mereka datang
bergerombol, sejumlah sekitar 5 ekor. Anehnya, mereka tidak kebingungan seperti
maling yang terjebak jalan buntu. Mereka segera berdiri dan memasang
sajadahnya. Keadaan kembali damai, begitu juga dengan orang-orang di depan dan
di sebelah saya. Saya heran, kenapa orang-orang di depan dan disebelah saya
bisa diam dan santai-santai saja ya? Tidak ada yang resah atau sedikit tertawa
dengan adegan ini. Sepertinya memang begitulah aturan mainnya. Saya kembali
berpura-pura mencuil kue.
Lalu saya
kembali menundukkan badan, menundukkan kepala ke lantai keramik, dan toleh kanan
toleh kiri dan pulang, kembali ke rutinitas, atau menggantinya.
Saya pulang
dengan hati yang resah. Atau jangan-jangan hanya saya yang merasakan keresahan
ini. Kehidupan ini memiliki beberapa kebiasaan yang saya rasa tidak bisa
dianggap biasa. Orang-orang dan lingkungan selalu menasihati temannya, anaknya,
kekasihnya atau musuhnya untuk sholat berjamaah. Itu adalah kewajibanyang wajib
dilakukan. Harus sholat supaya bisa bersyukur kepada Tuhan, dan menjaga diri
dari perilaku yang buruk. Wajib, walaupun harus sholat di teras rumah warga,
kos-kosan yang suram, atau di jalan dengan kerikil yang bertebaran. Saya
melamun.
Lamunan saya
terpecahkan oleh pemandangan di pertigaan jalan. Di sana ada, pedagang mie
ayam, pedagang lalapan, dan pedagang nasi pecel, ada juga seorang bapak yang
duduk di bawah tiang listrik sambil mengadahkan gelas kaleng kepada orang-orang
yang lewat di depannya. Saya baru ingat kalau sebelum ke Masjid, saya tidak
sadar sudah melewati mereka.
Saya tidak tahu
kalau pedagang dan bapak itu menganggap bahwa hari-hari ini adalah hari yang
biasa-biasa saja. Esoknya saya tidak ke masjid lagi. Tapi esoknya lagi saya ke
masjid lagi, masih ada semut-semut yang datang tiba-tiba, yang sholat di teras
dan kos-kosan. Begitu juga dengan para pedagang dan bapak itu. Esoknya saya
kembalitak ke Masjid lagi. esoknya lagi saya tak tahu.
Komentar
Posting Komentar