“Hiduplah dengan baik dan jadilah orang yang baik” ucap
isshin kepada anaknya.
Begitulah kalimat yang diucapkan oleh salah satu karakter
anime “Bleach”. Entah siapa nama mangakanya, anime itu saya tonton ketika
menganggur di hari libur. Saya juga pernah baca sedikit bukunya Nietzsche. Lalu
saya tak menemukan arti mengapa saya menulis tulisan ini.
Dunia dalam kacamata saya saat ini, masih seperti ketika
saya pertama kali sadar bahwa saya bisa melihat. Lalu sejenak saya berfikir,
bagaimana jika sejak lahir, atau kapan setelah saya lahir, saya kebetulan buta.
Mungkin saya tidak akan tahu apa itu dunia, bagaimana leonel messi mencetak
gol, bagaimana seorang wanita menangis tanpa bersuara, atau bagaimana seorang
warga bisa mati karena ditembak tentara.
Saya melihat orang-orang berdebat dalam pemilihan kepala
daerah, saya melihat seorang ulama yang diproses secara hokum, saya juga
melihat, dewan pers akan memberi sertifikat kepada media yang membutuhkan
sertifikat –tentu dengan syarat syarat. Saya tak benar-benar memahami apa
maksudnya. Yang jelas saya melihat itu di televisi, dari internet dan aplikasi
anak-anak kekinian.
Lantas seorang teman pun bertanya “mau jadi pemadam
kebakaran atau gimana? Tidak bersikap atau diam, sama saja pembiaran”.
Menulis novel memanglah sulit, maka dari itu sayabertanya
kepada seorang teman yang mau menerbitkan novelnya. “mengapa kamu menuliskan
hal yang jelas tidak benar? Apa kamu ingin mendapatkan keuntungan dari
penjualan novelmu, atau ini semua untuk politikmu?” saya bertanya.
Dan dia menjawab, “ya, nggak
ada, ya itu Cuma karena keinginanku saja”. Saya lanjut bertanya, “bukankah
dengan menulis novel itu kamu telah merugikan seseorang?” Dia menjawab lagi,
“kerugian apa? Aku hanya menulis novel, novel itu berjudul aku tidak pernah menulis novel, aku hanyalah imajinasimu saja.
Lalu saya menjawab pertanyaan teman saya tadi, “jadi
begini, sebenarnya tidak ada kenyataan di luar kata-kata, jadi kamu sekarang
bingung kan?”
Di siang hari, ketika teman saya bertanya, ada seorang
wanita yang juga bertanya. Tentang kebanggaan dari menulis. Jadi intinya, apa
artinya menulis, ketika itu tidak di baca? Apa artinya diskusi jika tidak
membnaca? Baiklah itu bukan inti, tapi sebuah pertanyaan.
Kita hanyalah orang-orang yang kebetulan berada di posisi
kita. Kita juga sesuatu yang secara kebetulan menjadi hidup. Jika kita ingin
tahu, kita akan mencari tahu, jika kita menginginkan sesuatu, kita akan
meraihnya. Walaupun tidak semuanya begitu, karena kita tidak tahu semua tentang
kita, dan semua yang kita inginkan.
Begitulah sampai dewan pers nasional memberi label semacam
sertifikat yang menandakan bahwa sebuah media itu bukan media abal-abal. Setahu
saya, ini dilakukan untuk memperkuat media sehingga lebih professional, dan
menerima tantangan bahwa media harus mengembalikan kepercayaan masyarakat yang
beberapa sudah dirugikan dengan pemberitaan palsu.
Menurut saya, poin pentingnya bukanlah, dengan melawan
pemberitaan palsu sehingga masyarakat bisa mempercayai media yang
bersertifikat. Melainkan, dengan memberi semacam pendidikan ke masyarakat,
tentang btgaimana supaya mereka berhati-hati –lebih bagus kalau mampu bersikap
kritis– dalam mencerna informasi. Entah itu dari media yang bersertifikat
maupun tidak.
Memang sebuah masalah ketika Dewan Pers Nasional mengkategorikan
mana kebenaran yang harus dipercaya dan mana yang tidak harus dipercaya. Ada
sebuah penunggalan sumber kebenaran, sehingga sumber yang lain dianggap bukan
sumber kebenaran.
Saya lebih melihat di mana, dasar Dewan Pers Nasional
mengeluarkan kebijakannya adalah dengan jumlah media/pemberitaan palsu yang ada
serta jumlah masyarakat yang sudah dirugikan oleh pemberitaan palsu. Maaf
panjang. Dan memang dasar seperti ini benar. Namun saya juga melihat hal lain,
dan saya bertanya, apakah Dewan Pers Nasional juga menghitung tingkat
kehati-hatian atau daya kritis atau kemampuan masyarakat untuk membaca? Saya
tidak tahu.
Bertanya kepada teman lagi adalah hal yang saya lakukan.
Teman saya yang ini memiliki hobi bermain clash
of clan. Katanya “aku paham, menurutmu, harus ada lembaga yang menghitung
tingkat kemampuan masyarakat membaca kan? Maka dari itu lembaga itu harus
menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Dan lembaga yang menentukan itu
adalah Negara. Seharusnya, myang harus menentukan mana yang benar dan mana yang
salah itu adalah kampus. Karena mereka ilmiah. Bedanya, ketika kampus
menyatakan bahwa A itu salah, maka itu selesai, tapi jika Negara yang
menentukan A itu salah, Negara bisa memberi hukuman. Kuasa itu sangat besar dan
susah di lawan.” Akhir kutipan.
Sepertinya saya paham dan tidak paham, sepertinya dia juga
begitu. Saya mempertanyakan substansi yang lain, sedangkan dia memfokuskan pada
substansi yang ia pikirkan. Jadi untuk tidak setuju terhadap sesuatu, kita
harus tahu apa yang tidak kita setujui.
Maka dari itu, ketika saya bertanya “kenapa harus segera
menyatakan sikap?” dan melanjutkan dengan kata-kata “hak itu kan harus
diperjuangkan ya? Jadi entah dengan alas an sebelum hari H atau sesudah hari H,
kita tetap harus memperjuangkan hak kita”. Teman saya yang bertanya tadi tidak
harus menekan saya untuk bersikap, juga tidak harus mengartikan bahwa
pertanyaan saya itu adalah sedikit usaha untuk diam. Karena saya setuju
bersikap. Bahwa saya akan ikut berjuang, dengan sebuah alasan. Entah di tanggal
5,6,7,8,9 sampai 228.
Dan seharusnya teman saya itu tidak mengajak berdiskusi
tentang pemberitaan palsu ini, dengan ajakan yang mengisyaratkan bahwa
kebijakan Dewan Pers Nasional itu secara langsung merugikan media alternatif. Padahal,
jelas-jelas bahwa Dewan Pers Nasional tidak mengatakan bahwa media alternatif
itu adalah media abal-abal. Di ajakan diskusi itu ada kata-kata: persma bukan
media abal-abal.
Saya memang ngomong tentang kata saja dari tadi. Lebih
tepatnya saya mencoba praktek framing. Saya baru baca bukunya.
Meskipun saya suka jalan kaki dan mencoba menolak kendaraan, saya tetap tidak
bisa membantah kenyataan bahwa saya menggunakan WA karena pengaruh lingkungan. Tapi adakalanya menonton "Bleach" di hari libur, dan jangan baca Nietzsche jika kalian tidak ingin menjadi semakin bingung, kenapa saya menulis tulisan ini.
Komentar
Posting Komentar