Tanggapan untuk esai “Mengapa Jurnalisme Kritis?”
Holil Asy’ari:
Tahun 2002 Dur membawa materi Jurnalisme Presisi dari Jogja. Saat itu pula kita
sudah mulai mengenal secara samar apa itu framing, konten dan tentu juga analisis wacana. Puncaknya saat 2003 kami mengundang
rekan-rekan Lembaga Pers Mahasiswa se-Kota Malang melakukan pelatihan materi
baru itu. Kebetulan kami mendapuk dua pemateri
dari Surabaya, satu yang saya
ingat bernama Redi Panuju. Bersama Ketapel (Topik de Kiki) kami menghubungi
saat narasumber. Ya, saya masih ingat waktu itu bulan Puasa dan si Topik ngajak mokel.
2002 Wasito, Yudi dan kawan-kawan masuk diklat dasar, bius materi kritis
mulai perkenalkan. Singkat cerita lahirlah Bulettin Patriotik edisi Ma'had.
Teori analisis wacana mulai diterjemahkan dalam mencari kebenaran yang
sesungguhnya dalam fakta. Saya
dan mungkin kawan-kawan Inovasi menganggap produk jurnalisme yang kita miliki
aneh, maka saat diskusi redaksi seorang kawan bernama Samheri Ismail
menyebutnya "Jurnalisme Kritis".
Dengan kompleksitas kasus yang
sangat dekat dengan kehidupan kita saat itu, Topik menganggap wawancara adalah
instrumen sekunder, bahkan saat menjelang Maghrib di depan Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) beliau sempat berucap “alah taik kucing dengan wawancara”. Ini saat
terjadi sengketa berita dengan MAPALA Tursina saat mana diwajibkan beli tanaman
obat.
Taufiqurrohman:
Selain analisis framing ada
juga bukunya Eriyanto
yang lain untuk
dipertimbangkan. Analisis
Wacana. Jika mau dikatakan kopas, jurnalisme kritis yang “disombongkan” itu lebih memilih buku analisis wacana daripada
Analisis Framing. Kontsruksi fakta yang di maksud pun
berbeda antara “konstruktifis” dan “mazhab kritis”.
Wasito Ahmad:
Term jurnalisme kritis memang
rekaan, kalau mau
ditelisik secra gramatikal, ya bisa saja. Tapi
sepanjang bisa
menjelaskan secara
masuk akal, ya
boleh saja. Dari
dulu memang menurut istilah, jurnsme kritis itu bentuk simplifikasi aja. Aku sendiri dari dulu
menyebutnya jurnalisme
ala Inovasi.
Dari tahun 2001, model jurnalisme ini mulai dikenalkan. Saya masuk tahun 2002.
Spertinya tiap diklat ada perubahan metode dan fokus materi dalam
diklat. Sebenarnya kreator
model jurnalisme ini adalah Akhol Firdaus, aktifis elsad, dan juga mantan
pegiat Pers Mahasiswa IAIN Surabaya.
Saat saya jadi
Steering Comite
(SC)
diklat tahun 2005, saya ke
surabaya untuk membicarakan materi diklat. Hasilnya sebuah eksperimen model diklat
lagi. Waktu itu istilah yang dipakai bukan lagi jurnalisme kritis. Tapi
jurnalisme subversif, itu untuk membedakan dengan jurnalisme pada umumnya. Waktu
itu kami sepakat menyebut jurnlisme umum sebagai jurnalisme populis atau jurnalisme mainstream. Tornya kayaknya ada di PC redaksi.
Kenapa
tiap tahun
selalu ganti metode diklat? Karena kami sadar, tiap
diklat ada
saja masalah yang tdak diperkirakan waktu bahas konsep. Dan lagi, terkadang ada perkembangan atau dtemukan pemutakhiran paradigma baru dalam
melihat maslah, misalanya
poskolonial. Contohnya diklat yang saya
tukangi tahun 2005, peserta ternyata malah terjebak dalam
terminologi mainstream dan
subversib. Tdak memahami jurnalisme tersebut secara utuh. Diklat ini angkatanya Juneka. Sepertinya
hanya dia yang
tersisa dalam satu angkatan.
Tapi
ada
sisi bagusnya saya kira. Penekanan
pada pemilihan posisi subversib dalam
setiap memahami maslah sudah
mengena. Posisi subversib itu yang saya kira
adalah bentuk implementasi paradigma kritis dalam
praktik jurnalisme. Saya berharap ada perbaikan dalam diklat selanjutnya. Tapi,
karena tiap diklat ada
perubahan, maka
pemahaman tiap angkatan besar kemungkinan akan berbeda. Makanya dari dulu saya
mengusulkan untuk bikin semacam modul jurnalisme yang memasukkan junalisme Inovasi
(kritis) dalam materi bahasan. Yang
kira-kira isinya mulai dari asumsi cara kerja jurnalisme, ideologi atau
kesasaran palsu, relasi kuasa dalam tiap gagasan (wacana), posisi dan tanggung jawab wartawan/media ,cara
pandang terhadap
realitas, pemihakan, implemetasi dalam
jurnalisme (pengambilan sisi subversib) dan lain-lain.
Tapi, hingga kini tidak ada yang bikin. Modul itu hanya semacam bahan bacaan dan harus direvisi menurut perkembangan. Ini penting. Saya kira, salah
satunya ya tadi,
beda angkatan beda
pemahaman. Saya dan Topik jelas beda. Hendri juga mungkin punya pendapat sendiri.
Itu menandakan, jurnalisme
kritis ala Inovasi
memang bukan konsep yang
mati, atau selesai. Model itu harusnya hidup, dan terus disempurnakan hingga kini.
Soal mereka-mereka istilah, awak inovasi sudah banyak pengalaman. Bermula dari
kejenuhan atau keputusasaan terhadap ketentuan jurnalisme yang harus menyandarkan pendapat pada
narasumber, Dur kala itu HRD, menggagas konsep “jurnalisme wacana”. Konsep yang absurd saya kira.
Jurnalisme adalah proses komunikasi yang
berdasar fakta. Sedang wacana adalah ide atau gagasan. Tapi konsep itu landing juga pada
akhirnya. Ada
pelatihan jurnalisme
wacana. Walaupun tak sparti yang diharapkan. Tapi, saya mengapresiasi tinggi
usaha tersebut. Itu
menandakan adanya kegelisahan. Kegelisahan
menandakan bahwa ada proses berfikir yang
akhirnya berbuah tindakan. Ini saya anggap sebagai usaha untuk menyempurnakan konsep jurnalisme inovasi.
Ini yang saya sebut konsep yang terus hidup. Konsep yang terus berusaha disempurnakan. Dan proses
ini yang tidak dilakukan generasi sesudahnya.
Jurnalisme wacana lahir karena adanya kebutuhan untuk mengkritik gagasan, ide atau wacana. Kalau
menggunakan metode jurnalisme biasa tentu sulit.
Karena harus mencari narasumber yang sepaham. Konsep itu juga lahir
karena
keinginan kuat (kegatelan) awak
redaksi untuk
menelurkan ide, mengktritik
ide seperti yang
dilakukan intelektual. Karena
waktu
itu gairah intelektual anggota sedang kuat-kuatnya. Wacana kiri, cultural studies, poskolonial sedang tren. Maka, jurnalisme
metode biasa tidak memadai lagi untuk
menampung hasrat dan
luapan ide tersebut. Saya
memperkirakan kalau pelatihan jurnalisme wacana dulu itu
berhasil, maka akan ada eksperimen lagi untuk menyempurnakan konsep jurnalisme kritis ala
inovasi.
Mungkin dalam Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar akan ada materi bedah wacana. Hemmm...Saya kira itu terlalu jauh. Yang lebih dekat dan mendesak adalah menyamakan presepsi tentang
model jurnalisme yang kita
praktekan. Saya rasa tidak akan sulit. Generasi sekarang pinter. Tinggal sedikit
meluangkan waktu untuk otak-atik papan tulis nerumuskan konsep yang sesuai.
Catatan:
Ditulis ulang dari perbincangan di Grup Whats App
(WA) alumni Inovasi. Ditulis ulang karena tidak ada anggota di grup yang mau
membalas tulisan lewat tulisan di blog. Ditulis ulang karena anggota di grup
terbiasa menulis (tidak terlalu panjang) di sosial media, selain WA. Ditulis
ulang untuk kepentingan pribadi yang diharapkan bisa dinikmati orang yang
membacanya.
Komentar
Posting Komentar