Pemandangan pasar merjosari di satu april pagi. Ramai
dan panas bercampur dengan bau lapak-lapak yang beragam. Pasar merjosari nampak
tak utuh, ada lapak yang runtuh, ada juga beberapa lapak yang tak memiliki
atap. Beberapa atap dilapisi terpal, untuk menahan hujan atau sekedar mencegah
sinar matahari yang seenaknya sendiri menyambar apa saja yang dijangkaunya.
Pasar merjosari tak sedang dibangun, ia sedang dihancurkan.
Memang begitulah yang terjadi. Di hari-hari
sebelumnya, pasar menjadi lebih ramai dari biasanya. Bukan orang-orang yang
sedang bertransaksi jual beli, tapi ada sebuah aksi penolakan kehadiran aparat
keamanan oleh pedagang pasar. Rencananya, pemerintah ingin memindahkan lokasi
dagang ke Pasar Terpadu Dinoyo. Aparat berperan sebagai pembongkar pasar,
pedagang dihiraukan.
Aparat keamanan dengan jumlah yang tak sedikit. Mereka
memakai seragam yang berbeda-beda. Ada yang menutup jalan menuju pasar dan ada
yang membongkar satu bangunan di dalam pasar.
Pedagang pun berkumpul di satu titik di jalan. Merapatkan
barisan, membelakangi bangunan yang sedang dirobohkan. Barisan itu menyindir
aparat dengan nada tinggi sambil menenteng bendera merah putih. Melingkari
barisan itu. “Lek pasare dibongkar, trus kudu kerjo opo? Iki lho utangku sek
akeh...kate mbayari utangku a?” bapak-bapak bersuara serak itu nampak gagah
menyindir aparat yang berdiri tegap di sekitarnya. Benar bahwa persoalannya
bukan sekedar karena uang, lebih dari itu ada bukti bahwa Pasar Terpadu Dinoyo
tidak layak pakai, ada kerjasama yang dilanggar, ada kesepakatan yang tak
tercapai. Mungkin, ini semua disebabkan oleh demokrasi yang rumit, dan bapak
itu sedang menyuarakannya.
Tapi, kadang ia juga lucu. Bapak itu juga sempat
berbicara tentang wanita sampai memanggil-manggil istrinya. Istrinya kabur dan
menjauh. “Lha iku bojoku...woi bojoku!” ia mengejar istrinya yang
menjauh. Orang-orang tertawa, kecuali aparat keamanan yang konsisten berdiri
tegap.
Bapak yang bersuara serak itu kembali ke barisan untuk
melanjutkan satirnya yang terputus. Kali ini ia memanggil anaknya. Anaknya tak
kabur, ia malah membawa telepon pintar dan merekam kelucuan tingkah laku
bapaknya. Ada yang membingungkan di sini. Ada semacam tragedi yang sedang
ditertawakan, dan ini nyata.
Yang terjadi bukan sekedar: aparat kemamanan mendapat
perintah untuk membongkar pasar –dan perintah itu dijalankan– dan pedagang
pasar melakukan penolakan. Menurut informasi yang beredar di whatsapp,
pedagang dan pihak pemerintah sudah melakukan mediasi, dan menghasilkan
ketidaksepakatan bersama. Satu ingin membongkar, satunya menolak. Dari sinilah
kebingungan itu berasal. Satu peristiwa ketika aparat keamanan yang membongkar
pasar tanpa menghiraukan pedagang pasar, memang tampak tak masuk akal.
Tapi
ketika pedagang yang menertawakan nasibnya, mungkin lebih tak masuk akal.
Jika dipikir lagi, kenapa juga harus dimasuk akalkan?
Yang penting kan tindakannya jelas, sikap inilah yang akan menyelamatkan hidup
kita.
Dua hari sebelum april pagi itu, aparat keamanan dan
pedagang itu bertemu kembali. Aparat keamanan tak sebanyak di pertemuan yang
pertama, mereka datang untuk membongkar beberapa lapak dagang. Lapak dagang
yang dibongkar meninggalkan kerangka bagunan dan tali rafia dengan lembar
kertas yang bergantungan. Di lembar kertas itu tertulis:
“PERINGATAN KEPADA SELURUH
PEDAGANG PASAR MERJOSARI
AGAR TIDAK MENEMPATI LAPAK
YANG TELAH DITINGGALKAN
PEMILIKNYA PINDAH KE PTD”
Pedagang yang bertahan di pasar tak lengkap, sebagian
sudah pindah ke Pasar Terpadu Dinoyo. Itu artinya sebagian pedagang pasar tidak
menolak pemindahan lokasi dagang. Sementara yang bertahan, tak henti-hentinya
menyindir, mengkritik, menertawakan sang aparat, bahkan umpatanpun mustahil
ditahan. “Jare ngayomi wong cilik, wong cilik apa?” ucap salah seorang
ibu pedagang di lapak dagangnya, “Semot a?...Enekke sapa sing ndue diut seng
menang” kata-kata ibu itu kemudian diikuti sorakan protes oleh pedagang
lainnya.
Beberapa aparat keamanan yang mengambil jarak dengan
para pedagang itu hanya berdiri dan terdiam dengan wajah yang santai. Ketika
saya tanyai apakah hari ini pasar akan dibongkar semua, dia menjawab “ya, nggak
tau mas, kita cuma dapat perintah...”
“Tapi masih ada yang menolak pak?” saya bertanya lagi.
“ya, itu sudah biasa mas...” Bagi aparat itu, peristiwa yang saya lihat sebagai
kebingungan ini adalah hal yang biasa. Betapa hebatnya. Tapi, walaupun aparat
keamanan berada di jarak yang tak dekat, ternyata mereka sudah tahu apa yang
dipikirkan aparat itu. “Yo ngono kui, lek ditakoni jawabe: aku nggak
tahu...padahal saben dino nglewati pasar, tapi jawabe: aku nggak tahu...kerjone
aparat ngunu iku ta? Mek ngomong: aku nggak tahu...” seorang bapak
bersuara, mirip membaca puisi. Tak ada satupun tanda dari perkataan mereka yang
menunjukkan bahwa mereka masih percaya kepada pemrintah, kepada aparat penjaga
keamanan. Kepada Negara, serta nilai-nilai yang ditawarkannya.
Satu pagi di april. Di pasar itu saya membeli jajan
gorengan dengan harga 6000 rupiah. Ibu penjual gorengan itu begitu ramah dan
baik hati, ia menambahkan satu gorengan di kresek saya. Sesampai di tempat
kuliah, saya diajak seorang teman untuk mengikuti diskusi “Spiritual
Kebangsaan” pematerinya adalah seorang TNI.
Dalam diskusi itu, kurang lebih ia berkata, “Ketika
kita mendapat sebuah amanah itu artinya kita harus melaksanakannya sebagai
sebuah tanggungjawab. Jika mental kita benar-benar sudah dibina, tidak ada
apapun yang bias merubah pendirian kita, karena ketika kita mendapatkan sebuah
amanah, yang namanya kepentingan pribadi itu sudah lenyap”. Dan sepertinya saya
agak tercerahkan dengan jawaban itu. Itu sedikit menjawab kebingungan saya.
Namun, tiba-tiba saya teringat. Di salah satu lapak
pedagang yang pernah saya lewati sebelumnya, ada selembar kertas berwarna merah
muda terpampang di depan lapak. Dalam kertas warna merah muda itu tertulis:
“Masih Jualan”. Entah mengapa saya mengingatnya.
Komentar
Posting Komentar