Langsung ke konten utama

Buku dan Senja (2)

Sudah tiga ronde Luis kalah dalam permainan catur melawan Albert. Albert menantang Luis lagi, ia merasakan kemajuan dari strategi catur Luis, tapi Luis menolaknya. Ia sudah bosan, dan ia berjanji akan mengalahkan Albert di waktu lain. Kemudian mereka melanjutkan bincang-bincang terkait buku yang mereka baca.

Sebelum memulai bercerita, Albert meminum kopi, menaruhnya lalu bertanya, “tapi, setelah diikir-pikir lagi, bagaimana bisa kau merubah sistem sosial yang bagimu dekaden ini dengan buku yang kau baca itu?”
“Nietzsche,” Luis membenarkan, “sepertinya kau memang belum pernah mendengar seseorang yang mengutip Nietzsche, dan temanmu yang baik ini akan memberikan pencerahan padamu.”
“Ohh...sampai sebegitu cerah kah?”
“Jadi Nietzsche pernah menulis dalam aforismenya tentang persahabatan bintang-bintang, kira-kira seperti ini. Biarlah perahuku berlyar dan perahumu juga berlayar, di samudera yang luas, di mana orang-orangnya adalah monster, dan kita jadikan bintang bintang itu sebagai pedoman kita berlayar, biarkan bintangku membimbingku, dan bintangmu membimbingmu, kalau kita suatu saat bersimpangan jalan, itu kehendak bintang-bintang, tapi tidak memaksakan untuk berkomunitas, bersama.
Albert paham, namun ia sulit memedakan mana yang kutipan mana yang pendapat Luis sendiri. Ia agak kesal. “Kau sepertinya sudah menyatu dengan pikiran Nietzsche, sampai sampai aku tak tahu mana kutipan yang asli.”
“Haha, maaf Albert, sepertinya aku menunjukan kebiasaanku yang belum kau ketahui.”
“Hah, baiklah-baiklah, lanjutkan saja ceritamu.”
“Nietzsche membayangkan tentang sebuah komunitas, yang isinya adalah orang-orang singular. Mereka memiliki kasamaan paham di mana etika mereka berbeda dengan etika pada umumnya. Etika yang tidak percaya terhadap yang empati, yang berbaik-baikan.”
“Maksudmu ini berkaitan dengan manusia sejati dalam ceritamu yang sebelumnya?”
“Ya, dan bagaimana menurutmu?”
“Masuk akal. Dan sepertinya aku benar-benar harus membaca Nietzsche. Dan aku akan bercerita sekarang.”
“Seperti yang aku katakan sebelumnya, ini cerita tentang persahabatan para pencuri, dan aku akan bilang padam kalau cerita ini bukan dari buku.”
Luis tak menanggapi. Tersenyum saja dia.
“Ceritanya seperti ini. Di sebuah kota yang tidak terkenal, jauh dari perhatian masyarakat umum, lahirlah sebuah kelompok kriminal. Mereka lahir dari rasa marah terhadap dunia yang telah membuang mereka. Ya, memang kota itu disebut sebagai kota pembuangan. Sampah salah satunya. Bagi mereka, dunia telah mencuri semua yang ada di kota itu. Aku sendiri memahaminya seperti kesejahteraan dan keadilan. Kemudian entah dengan latihan seperti apa mereka menjadi kelompok kriminal yang kuat, terkenal dengan kekejiannya. Mereka membunuh, membantai, demi mencuri apa yang berharga dari dunia yang telah mencuri semua milik mereka. Ceritaku selesai.”
“Hei, apa ini? Kau masih seperti biasanya, mengisahkan satu hal dengan pelitnya. Sekarang apa yang sedang kau rencanakan, Albert? “
“Aku ingin mengaitkan ceritaku dengan karanganmu yang tadi. Jadi seperti ini, jika aku lihat sekilas dari penjelasanmu, Nietzsche ini berpikir begitu dalam, dan juga berbeda dari kebanyakan orang.” Albert diam sejenak lalu melanjutkan. “Komunitas yang kau bilang tadi jika didengar dan dipahami orang-orang, tentu tidak akan diterima dan diabaikan begitu saja. Alasannya kau pasti sudah tahu. Maksudku, selama ini aku bertanya bagaimana cara mengkomunikasikan pikiran yang dalam itu kepada orang-orang selain kita, kepada semua orang. Nah, cerita tentang persahabatan para pencuri itu aku maksudkan sebagai solusi dari pertanyaanku sendiri. Ketika satu hal tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, maka yang muncul adalah pembunuhan. Satu hal yang ditolak oleh hampir semua orang karena itu adalah tindakan yang tidak manusiawi. Terkadang para pemikir bisa lelah, bukan karena pikirannya, tapi karena dia tidak dipahami.”
Luis menangapi. “Ya, kau benar. Dunia memang tumbuh dari kematian yang tidak ada hentinya. Jika aku mencoba menjadi seorang sejarawan, aku pasti akan setuju dengan solusimu. Tapi kematian kadang sulit dipahami, bukan karena ketidakmampuan manusia. Tapi secara alami akan lebih bersedih atau abai dengan kematian daripada memikirkannya. Solusimu di satu sisi berhasil, tapi, aku memahami itu hanya sebuah bentuk dari sesuatu yang menyentuh batin. Tentu kau tidak ingin mendengar keputusanku akhirku kan?”
mereka terdiam dalam 5 detik yang panjang. Apa yang mereka bicarakan sepertinya telah berbenturan dengan satu hal yang tak pasti apakah itu. Lalu Albert berkata, “tentu. Karena keputusan akhir itu tidak pernah ada. Jadi kita hanya harus terus berusaha, dalam pikiran dan tindakan. Dan bagaimana jika kita bahas hal ini besok saja. Sepertinya senja sudah mulai lelah menyinari.”
Luis tertawa. “Ada apa ini, kau jadi puitis?”
“Aku sedang membaca puisi sekarang.”
“Tapi tidak apa-apa, karena kau mulai tertarik dengan hal yang di luar rutinitasmu.”
“Tentu saja.”
“Sebelum kembali ke rutinitas kita masing masing, aku ingin bertanya. Siapa sebenarnya kita ini?”
“Pembaca buku yang menikmati senja dengan segelas kopi?”
“Menurutku, kita adalah orang-orang yang tidak tahu, apakah kita orang yang baik atau orang yang jahat.”
Mereka kembali ke rutinitas masing-masing. Pulang, dan bertemu lagi tiga bulan kemudian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .