Dua
tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang mahaiswa semester 5, berbicara
tentang puisi, tulisan majalah, dan Iwan Fals. Juli kemarin kami berbicara lagi
di suatu malam, di warung kopi. Tentang kenangan, pilihan dan ketakutan. “Jika
kau mencintai sesuatu, misalnya gelas ini,” dia menyodorkan gelas yang sudah tak
berisi air. “Kau akan terus memegangnya, atau melepasnya?” Sepertinya dia tak
bisa menjelaskan kenangan yang menakutkan di masa lalu. Saya menjawab:
melepasnya. Lalu dia mendapatkan pembenaran atas pilihan di masa lalu.
Di
malam itu Saya memang tak membicarakan ihwal pendidikan atau sekolah. Tapi
perumpamaan gelas yang dicintai itu muncul di ingatan saya ketika pertama kali
mencoba mengajar di Madrasah Ibtidaiyah di Kalipare, Malang. Kelompok saya
mencoba mengajar, dalam rangka Kuliah Kerja Mahasiswa –yang wajib dan menuntut
itu.
Hari pertama mengajar, saya diminta salah satu Guru untuk berada di kelas dua. Murid-muridnya sangat aktif, terutama bermain dan bernyanyi. Besoknya saya masih di kelas dua, dan saya sadar bahwa penghuni kelasnya bertambah dua. Satu murid bernama Sandi, satunya lagi ibunya. Sang Ibu duduk satu bangku di sampingnya, karena Sandi tidak mau terpisah dari Ibunya. Sampai kelas itu istirahat panjang untuk memulai kelas lagi di hari esok.
Dalam benak saya, mungkin sang Ibu berpikir kalau Sandi susah di atur, rewel, nakal, dan menjengkelkan –karena dia sering membentak dan memukul teman kelas yang mendekatinya. Saya membayangkan wajah putus asa sang Ibu. Mungkin juga sang Ibu mengerti kalau anaknya tidak ingin terpisah darinya. Karena begitulah cara sang anak untuk mencintai.
Tentu saya tidak kemudian mengajaknya berdiskusi tentang cara mencintai. Tapi ketika semua murid sudah pulang, Sandi menyempatkan diri untuk menggambar sebuah Truk di papan tulis dengan potongan kapur. Katanya, Sopir Truk adalah cita-citanya. Saya juga menggambar Truk dengan potongan kapur. Saya selesai duluan. Dari gambar Truk itu saya ingin mengatakan: aku ingin memahamimu.
Barangkali Sandi memikirkan satu hal tentang kisahnya di kelas, hari itu. Satu hal yang tidak saya ketahui. Saya pun juga memikirkan satu hal yang sepertinya tidak dia ketahui.
Saya
memikirkan satu hal itu, setelah Mbah Rati, pemilik rumah tempat kami menginap
berkata, “aku mbiyen sekolah ki budal dewe, ndak enek sing ngancani, lha
saiki bocah-bocah kok podho ditunggu wong tuane neng sekolahan.” Aku dulu
sekolah itu berangkat sendirian, tidak ada yang menemani, lha sekarang
anak-anak kok pada di tunggu orang tuanya di sekolahan.
Dan satu hal yang saya pikirkan adalah tentang pendidikan, beserta pertanyaan-pertanyaan. Apa tujuan pendidikan itu? Belajar, menggapai cita-cita, bermain dengan teman-teman, atau melaksanakan perintah orang tua? Dan mengapa kita bersekolah?
Mungkin Sandi dan Mbah Rati memiliki jawabannya sendiri.
Sandi bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah, Mbah Rati bersekolah di Sekolah Rakyat –yang nantinya menjadi Sekolah Dasar. Saya tahu Madrasah Ibtidaiyah itu setingkat dengan Sekolah Dasar, cuma di Madrasah Ibtidaiyah ada jatah lebih di pelajaran agama Islamnya. Yang saya tidak tahu adalah apakah dalam sejarahnya Sekolah Rakyat hanya berganti nama saja? Situs web Majalah Historia pun menjadi palarian rasa ingin tahu saya.
Dalam tulisan “Sekolah ala Tan Malaka” Pemimpin Redaki Bonnie Triyana menulis: Sekolah ini bukan sembarang sekolah. Sebuah sekolah yang tak hanya bertujuan untuk membuat siswanya jadi pintar, melainkan sekolah yang hendak “bangunkan hati merdeka sebagai manusia,” kata Tan Malaka dalam Pengantar brosur, Sarekat Islam dan Onderwijs. Ya, Sekolah Rakyat didirikan oleh Saerekat Islam, dan awal namanya adalah SI School, sebelum Sarekat Islam terpisah menjadi merah dan putih.
Saya juga sampai pada tulisannya Rudi Hartono di berdikarionline.com. Tulisan yang berjudul “Tan Malaka dan Sekolah Rakyat” oleh Pemimpin Redaki Berdikari Online itu lebih panjang dari tulisannya Bonnie. Dalam pemahaman saya terhadap tulisannya Rudi, SI School yang didirikan oleh Tan Malaka dan Semaoen di Semarang itu memang memiliki tujuan yang tidak bisa dibilang tidak mulia. Berawal dari pengabaian pemerintah kolonial atas usulan Sarekat Islam Semarang untuk mengatur pengajaran rakyat Hindia –yang kelak menjadi Indonesia– secara Standenschool (sekolah negeri). Juga pengabaian usulan lain agar semua rakyat tanpa pengecualian bisa diterima di Hollandsch Inlandche School (setara Sekolah Dasar). Berdirilah SI School pada 21 Juni 1921. Sekolah yang diprioritaskan untuk kaum miskin, yang murah, yang tak mencari keuntungan, dan mendidik rasa medeka.
SI School terus berkembang, di bulan Agustus muridnya berjumlah 150-an. Dana menjadi permasalahan awal, SI semarang pun meminta izin kepada Asisten Residen Semarang untuk menggelar pasar derma. Dan izin pun tak diberikan. Namun SI Semarang tak kehabisan akal. Usulan Semaoen, Sang Ketua, agar anak-anak menggalang dana dengan menyanyikan lagu 'Internasionale' untuk menarik simpati warga kampung, berhasil. Rakyat memberi sumbangan dana untuk mempertahankan nasib SI School.
Dukungan penuh juga datang dari Sarekat Islam Semarang setelah vergadering (rapat umum) yang dihadiri ribuan orang pada 13 November 1921. SI School kemudian bercabang di berbagai daerah seperti di Salatiga, Kendal, Kaliwungu, dan Bandung. Seiring dengan berita di surat kabar De Locomotief ihwal penangkapan Tan Malaka karena tulisannya yang anti belanda, SI School terus bercabang di 12 kota di Hindia. Berikutnya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah yang tujuannya mirip dengan SI School, yang bernama Taman Siswa.
Pemerintah kolonial yang khawatir jika pendidikan rasa merdeka bisa mengancam kekuasaannya, akhirnya mengeluarkan Ordonasi Pengawasan, sehingga sekolah harus memiliki izin untuk berdiri. Saking khawatirnya Pemerintah Kolonial menggerakkan Sarekat Hidjo (kumpulan preman bayaran yang milik pemerintah) untuk “membakar sekolah, menakut-nakuti dan menganiaya orang, murid dan guru-gurunya,” tulis Tan Malaka.
Berikutnya, Sekolah terus berganti babak dengan tujuan dalam keadaan zamannya masing-masing. Jika Sandi adalah anak zamannya, begitu pula dengan Mbah Rati. Sandi berangkat sekolah diantar Ibunya naik sepeda motor, membawa buku pelajaran dan Ibu yang menemaninya belajar. Mbah Rati dulu yang masih gadis berusia 10 tahun memasuki Sekolah Rakyat. Dia berangkat sendiri, membawa bekal rasa keingintahuan dengan berjalan kaki.
Tapi kisah sekolah Mbah Rati mandek di kelas tiga, karena kelas empat sampai enam tempatnya terpisah, jauh. Mbah Rati nekat untuk ‘ikut orang.’ Membantu kebutuhan rumah tangga Mbah Nyai. Menggantungkan nasib. Sandi masih kelas dua, dan di hari esoknya saya melihat dia dibonceng Ibunya pas waktu istirahat, menjauhi Madrasah Ibtidaiyah.
Keinginan untuk bersekolah nampaknya sekarang agak disumbat dengan kasih sayang. Mungkin bagaimana cara mencintai tidak seharusnya didiskusikan. Barangkali yang lebih penting adalah bercerita, tentang kita, tentang yang dulu, yang menyentuh batin, tanpa memukul.
Terakhir kali saya mengajar di kelas dua, saya tidak melihatnya, juga Ibunya. Ada harap untuk melihatnya besok lagi, entah dengan atau tidak bersama Ibunya, saya ingin lebih tahu tentang cita-citanya.
Yang dulu dan yang sekarang memang berbeda, tapi yang dulu tampaknya tidak dilihat untuk dibicarakan dan dihayati. Yang dulu menjadi sekedar pembanding, yang mudah dipahami dan diabakan. Yang sekarang tinggal melanjutkan dengan tidak perlu ada tanggungjawab yang benar-benar untuk melanjutkan. Sekolah Rakyat seperti cermin besar yang sudah kusam, tak dipakai, tapi dipajang di gudang yang pengap. Madrasah Ibtidaiyah maupun Sekolah dasar –yang pernah menjadi tempat saya belajar dan bermain– seperti cermin kecil yang berserakan dimana-mana, yang terkadang susah ditemukan, juga susah dipegang karena bentuknya yang runcing.
Tapi cermin-cermin itu diproduksi oleh percikan cahaya di gedung-gedung megah. Cahaya itu ingin menerangi walaupun terkadang sinarnya terlalu silau, bahkan tak pernah sampai di satu tempat yang redup selalu.
Sekarang tak saya dengar ada yang membakar sekolah, menakut-nakuti dan menganiaya orang, murid dan guru-gurunya. Tapi, sepertinya ada yang hilang. Sekolah sekarang adalah tempat yang diragukan –mungkin tabu– untuk menanyakan: apa itu pendidikan dan apa tujuannya?
Komentar
Posting Komentar