Salah
satu hal yang saya takutkan adalah gagal dalam pendidikan. Saya masih takut
dengan nilai-nilai yang bernama ‘nilai jelek’. Saya takut ketika nilai jelek
itu lahir dari kemalasan mengikuti pendidikan dan semua kemasukakalannya yang
abu-abu itu. Walaupun terkadang di sisi lain saya tidak mempedulikannya.
Ketakutan itu ada.
Ketika
saya mencoba memahami ketakutan itu, saya membayangkan saat saya tertawa bersama
ketakutan itu dan orang lain di hadapan saya ikut tertawa. Saya juga membayangkan
ketika memecahkan cermin dengan dahi, atau sekedar mengepalkan angan dengan
wajah tanpa ekspresi. Dan saya pernah bersedih bahkan mengalirkan air mata
bersama ketakutan. Andai saya bisa berbicara dengan ketakutan itu saya akan
bertanya siapa namanya.
Memang
ketakutan itu akan mereda ketika kita lampiaskan dengan cara yang kreatif
setiap individu. Atau mencoba memahami ketakutan individu lain yang lebih
menakutkan. Berharap akan tersadar, lalu melambaikan bendera putih yang kotor
setinggi dada. Yang paling manjur tentu adalah meminum air putih dengan bubuk
kematian. Ketakutan itu tidak hanya reda saja, tapi hilang, hilang bersama
dengan nama ketakutan itu sendiri.
Pada
awalnya adalah sebuah kehendak yang menuntun keinginan ke dalam ketiadaan alasan.
Saya mencoba menemukan sebuah buku yang terjatuh di antara logika dunia yang
mengatakan “ketika manusia mengenal keberanian, maka ketakutan akan muncul
menyapa.” Sebuah buku yang tidak memiliki judul dan daftar isi, hanya ada
tulisan-tulisan per bab saja. Saya telah menemukan buku itu, tapi bukunya hanya
menampakkan tulisannya pada orang-orang yang ingin mencarinya tanpa alasan
saja. Buku itu memiliki hawa keberadaan yang berubah-ubah.
Apa
yang terbaik sekarang adalah tidak memikirkan apa yang terbaik. Jika saya
mengenal ketakutan itu sebagai hal yang tidak saya inginkan, maka yang terbaik
adalah tidak pernah mencoba mengenalnya dengan keinginan diri sendiri. Jika
ketakutan itu serius ingin menghancurkan saya, maka saya akan bermain
dengannya. Mungkin yang terbaik adalah tetap takut dan tetap berani di waktu
yang sama.
Namun
itu hanya jika terjadi pada diri sendiri. Berbeda lagi ketika ketakutan itu
berasal dari individu yang lain. Individu yang menggenggam erat pikiran kita
tanpa merasakan kalau genggaman itu mengendor karena individu itu tidak berani
mengakui ketakutannya. Yang ditakutkan individu itu berbeda dengan apa yang
saya takutkan.
Pendidikan,
bagaimanapun saya paham bahwa individu lain memandangnya dengan sederhana, saya
telah melihat banyak kemasukakalan yang lain. Kenyataan bahwa saya menemukan
buku itu dengan keberanian dan ketakutan yang sama, tidak bisa meyakinkan saya
untuk terus terbawa arus kemasukakalan pendidikan.
Nilai
jelek yang menakutkan itu, benar-benar mengalahkanku dalam permainannya. Nilai
jelek adalah sebuah ketakutan tanpa nama, yang membuat individu lain untuk
tidak memiliki keinginan untuk mengetahui namanya.
Namun,
apakah nilai jelek itu akan kalah ketika individu lain mengetahui nama dari
ketakutan? Sepertinya saya ingin mengatakan bahwa individu yang manusia itu
adalah makhluk yang menyejarah, walaupun dengan keterbatasan kemampuan pikiran
saya untuk mengimajinasikannya. Seperti yang ditulis oleh manusia Brazil
bernama Paulo Freire itu. Dengan menjadi makhluk yang menyejarah, maka yang
hakiki sebagai manusia adalah menjadi manusiawi. Singkatnya terus mengembangkan
kemampuan tanpa menindas yang manusia yang lain. Dan sepertinya juga berjalan
bersama keberanian dan ketakutan.
Tentu
saya mengetahui manusia bernama Paulo Freire dari sebuah halaman di buku tanpa
judul itu.
Saya
masih belum bisa menyimpulkan sesuatu akan harus bagaimanakah menghadapi nilai
jelek bersama ketakutan tanpa nama itu. Sekarang saya masih ragu. Jika di
sejarah yang nanti nilai jelek dan ketakutan tanpa nama itu hilang dari diri
saya dan dari diri individu lain, maka saya akan mencarinya lagi. Karena
mungkin saya akan merasa kesepian tanpa ketakutan yang membuat saya marah,
tertawa, dan sedih itu.
Komentar
Posting Komentar