Langsung ke konten utama

Ke Depan



Aku hidup dalam kesempurnaan. Apapun yang aku inginkan bisa aku wujudkan. Seperti ketika aku menginginkan makanan yang paling aku sukai, dan tiba-tiba makanan itu muncul di hadapanku. Tidak hanya itu, aku bisa mewujudkan hal-hal yang sulit untuk diwujudkan seperti menciptakan bola cahaya dari telapak tanganku. Hidup yang sempurna ini aku sadari ketika aku menlihat sebuah penampakan di ruangan yang putih ini.

“Apa kau benar-benar akan pergi, Rein,” si kecil Seri bertanya kepadaku.

“Ya, sekarang aku sedang beriap-siap, jadi jangan ganggu aku ya.”

“Kenapa, Rein? Bukankah aku sudah bilang, kalau di sinilah satu-satunya tempat yang bisa membuatmu senang, membahagiakanmu...”

“Dan tidak akan pernah membuatmu menderita?” aku memotong ucapannya, “iya kau memang sudah mengatakannya, dan aku juga mendengarkannya dengan baik, karena itu aku akan pergi.”

“Apa? Lalu, bagaimana kau akan menghadapi semua penderitaan dan keputusasaan yang akan mendatangimu.”

“Ya, aku akan menghadapinya.”

“Reiin, aku serius.”

“Aku juga serius, setidaknya untuk saat ini saja.”

Seri mulai terdiam menahan amarahnya keluar lalu dengan nada yang lebih tinggi, “apakah kau sudah lupa ketika aku mengatakan dari mana asalku?”

“Tidak, aku mengingatnya dengan jelas. Memang kau selalu bisa menjawab pertanyaanku, dan jawaban itu selalu bisa aku pahami, hampir tanpa keraguan sama sekali. Tapi bukannya aku tidak menghargai keberadaanmu atau sekedar berpura-pura membuat alasan untuk pergi. Aku hanya ingin pergi, tidak ada alasan.”

Aku pergi. Seri tak berdaya melihat kepergianku, seperti yang aku duga sebelumnya. Tirai itu sudah muncul di hadapanku, aku berdiri di depannya dan berpikir sejenak. Aku meyakinkan diriku bahwa inilah yang aku inginkan. Aku mulai masuk. Meninggalkan ruang yang putih, dan berjalan menuju tempat yang  tidak berwarna. Setelah lima langkah kakiku, tiba-tiba angin kencang berhembus dari belakangku. Tubuhku tak mampu menahan dorongan angin. Lalu aku berjalan saja. Jalan yang semakin lama menjadi lari. Aku lari bersama angin. Tidak ada apapun yang putih di depan. Aku tak mampu berlari lagi, aku berhenti, jatuh dan tidur. Aku tak merasakan tubuhku. Mungkin aku hanya berpura-pura dengan kenyataan bahwa tubuhku meraakan sakit. Aku tak peduli. Dan aku bangun.

Mataku mulai terbuka dan aku mulai duduk. Di sini tidak terlalu terang, dan gelapnya seperti mengatakan sesuatu. Di sekelilingku ada yang tinggi, keras dan, berat. Di atas ada yang lebih lebar lagi. Ruangan ini berbentuk kotak, mungkin ini yang namanya bangunan di dalam cerita Seri. Tapi itu kan tidak mungkin, sepertinya aku terlalu berkhayal.

Aku harus keluar karena aku tidak bisa menciptakan makanan atau membuat bola cahaya di sini. Aku berusaha berjalan ke depan, seraya berharap bahwa yang menjadi tujuanku ada di depan.

“Kau tidak akan pernah tersesat, Rein, karena aku ada si sampingmu,” itulah kata-kata pertama yang diucapkan Seri ketika aku bingung. Mulai sekarang aku akan berjalan sendiri Seri, aku tidak akan meminta kau ada di sampingku lagi, bukan karena itu memang mustahil di tempat ini, juga bukan karena aku membenci kehadiranmu. Aku melakukan ini karena aku ingin belajar hidup sendiri. Yah, mungkin tidak akan benar-benar sendiri. Karena di depanku sekarang ada banyak manusia yang sepertinya tidak bisa menciptakan makanan dan bola cahaya dengan tangannya, dengan muncul begitu saja.

“Whuss, whuss, whuss,” tiba tiba muncul beberapa manusia yang menaiki benda dengan dua roda, mereka melompat dari atas gedung. Salah satu mdari mereka menatapku ketika sedang berada di udara, lalu secara perlahan dia mendarat tanpa luka di jalanan. Tapi dia tiba-tiba berhenti, berbalik, dan menghampiriku. Tingginya sama dengan tinggiku.

“Hei, kau bukan orang sini kan?”

“A, iya, benar.” Aku menjawabnya dengan agak gugup, “bagaimana kau bisa tahu?”

“Ya, tentu, karena tidak ada anak yang seumuran kita yang tidak ikut lomba di desa ini.”

“Oh, begitu, tapi, tunggu, kau bilang lomba? Lalu bagaimana dengan lombamu? Kau kan bisa kalah?

“Oh, itu, ya, sebenarnya aku sudah bosan menang terus, jadi aku mencari alasan untuk kalah, dan tiba-tiba kau muncul ketika aku sedang berfikir, dan sepertinya kau menyelesaikan masalahku, hehe... Jadi terimakasih ya. Nah, lalu apa yang sedang kau lakukan di sini?”

“Sepertinya aku tersesat, hihi...”

“Apa kau punya kenalan di desa ini?

“Hmm, bagaimana menjelaskannya ya? Ini agak rumit, tapi aku memang tidak punya kenalan di sini.”

“Oke, ayo ikut aku, aku akan mengantarkanmu ke rumahku, ceritanya bisa nanti saja.”

“Ha? Tunggu sebentar, tapi aku masih...”

“Masih?”

“E, kenapa kau mengajakku?

“Karena kalau dilihat dari wajahmu sepertinya kau membutuhkan beberapa makanan dan sedikit cahaya.”

Aku tersenyum, entah mengapa sepertinya aku akan menemukan sebuah tempat untu belajar. Aku tidak tahu apakah nanti aku akan melakukan sesuatu seperti di ruangan yang putih itu, tapi sepertinya wajahnya menggambarkan hal yang berbeda dengan yang ada di ruangan putih itu.

“Kalau kau ragu, aku tidak akan memaksamu, bahkan setelah makan kau bisa memutuskan pilihanmu sendiri. Aku melakukan ini juga karena ingin berterimakasih kepadamu. Itu saja.”

Sepertinya benar tapi sepertinya juga salah. Yang pasti aku memiliki kebebasanku dan dia mencoba meyakinkanku dengan hal itu. Ah, kenapa aku harus memikirkan bagaimana nantinya? Bukankah keberadaanku di sini adalah keinginanku sendiri. Jadi dengan yakin aku bilang, “baiklah, terimakasih, hmm...”

“Nallu,” dia menjabat tanganku. Aku menerimanya, “terimakaih Nallu.”

“Oke, ayo kita berangkat,” sepertinya dia orang yang bersemangat. “Oke,” kataku membalasnya.

Aku dan Nallu menuruni jalanan dengan menaiki apa yang disebutnya sebagai sepeda. Untuk pertamakalinya aku bisa merasakan kalau angin itu sangat segar. Aku berjalan terus berjalan ke depan, dan yang di depan ada banyak hal yang aku inginkan dan yang tidak aku inginkan. Aku sudah tidak sabar untuk membuat makanan dan cahaya dengan cara yang lebih menyenangkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .