Manusia merasa putus asa dan kesal ketika hasil
ciptaannya dicuri. Mungkin karena itu manusia menciptakan hukum perlindungan
hak cipta, sebagai patokan yang digunakan bersama untuk mencegah pencurian,
atau bisa juga untuk menghukum pencuri. Dengan melindungi hasil ciptaannya,
manusia akan lebih semangat lagi untuk mencipta. Manusia ingin dihargai oleh
manusia lainnya. Dihargai. Apakah itu berupa kata-kata setelah manusia lain
melihat, mendengar, merasakan ciptaan itu? Ataukah itu berupa selembaran kertas
yang ada angkanya? Apa yang sebenarnya ingin mereka lindungi?
Walaupun hukum digunakan manusia untuk
melindungi, cara yang digunakan tetaplah sama. Sebuah hukuman. Hukum tidak bisa
melindungi begitu saja. Hukum bukanlah pedang yang bisa menjadi perisai tanpa
sebuah tebasan. Melindungi hasil ciptaan dengan hukum. Artinya: menebas
siapapun yang telah mencuri ciptaan itu.
Ketika sebuah karya dicuri, apa yang sebenarnya
hilang adalah sebuah nama pencipta, sejarah ciptannya, dan lembaran itu –Uang. Sedangkan
yang didapatkan si pencuri hanyalah yang terakhir dan sedikit dari yang pertama.
Jika demikian, semangat mencipta dan penghargaan selalu berujung kepada uang. Dan manusia pencipta yang dilindungi hukum itu
sebenarnya hanya tidak ingin kehilangan uang itu.
Manusia pencipta yang menginginkan perlindungan
hukum itu mungkin tetap membenarkan bahwa penghargaan ciptaan itu harus
didapatkan dengan uang. Karena di sana ada kebanggaan yang hanya bisa
didapatkan dengan uang. Dan kebanggaan akan lebih membanggakan jika tidak
sekedar didapatkan begitu saja. Atau mungkin karena mereka tidak puas dengan
sebuah pernyataan dan bukti bahwa ciptaan yang dicuri itu adalah asli miliknya.
Asli atau palsu. Salah satu tokoh antagonis
–dalam film korea– yang tidak bisa saya ingat siapa namanya, berkata “apa yang
membedakan satu orang dengan orang lainnya adalah ingatan.” Begitu juga dengan
sebuah ciptaan, itu bisa dilihat asli ata palsunya melalui ingatan. Melalui
sejarahnya. Karena manusia juga sebuah hasil ciptaan.
Tentu benar jika sebuah ciptaan tidak hanya
hadir sekedar untuk ciptaan itu sendiri. Ada makna atau sebuah alasan yang
digunakan untuk menjawab “untuk apa ciptaan itu ada?” Dan tentu adalah sebuah
kebenaran juga ketika berbicara tentang ciptaan yang berujung kepada uang.
Karena di jaman sekarang ini uang bisa menjadi makna yang tidak semu.
Lantas bagaimana jika ciptaan itu dicuri? Jika
memilih berada dibawah lindungan hukum sama artinya dengan sekedar tidak
menginginkan uang itu pergi.
Sepertinya Aomine Daiki menemukan sebuah cara.
Di dunia anime yang diciptakan oleh Tadatoshi Fujimaki itu, Aomine berhasil
menghadapi lawan yang kemampuannya adalah meniru kemampuan basketnya. Dalam
anime yang berjudul Kuroko no Basuke itu, awalnya Aomine terkejut dan
kesal saat kemampuannya ditiru secara sempurna, namun kemudian Aomine tidak
meminta bantuan kepada siapapun –bahkan teman satu timnya– dan dia berhasil
mengalahkan lawannya. Dengan mengembangkan kemampuannya ke tingkat yang sulit
untuk di tiru. Dia percaya bahwa “yang bisa mengalahkanku, hanyalah diriku
sendiri.”
Namun meniru dan mencuri adalah
hal yang berbeda. Fujimaki menyadari hal ini. Maka di musim ke 3 Kuroko no
Basuke, Shogo Haizaki muncul sebagai karakter yang memiliki
kemampuan mencuri kemampuan lawan. Haizaki awalnya mengamati kemampuan lawan
kemudian mempraktekkan hasil pengamatannya sekaligus merubah ritme gerakan agar
sesuai dengannya. Sehingga lawan tidak akan mampumenggunakan kemampuannya lagi
karena dia melihat kemampuannya ditiru dengan ritme yang berbeda.
Tentu Fujimaki mengakhiri
pertandingan itu dengan kekalahan Haizaki. Bagaimana Haizaki bisa kalah?
Sepertinnya Fujimaki telah berhasil membuat penonton terkejut. Haizaki kalah
karena tidak bisa meniru kemampuan lawan. Lawan yang mengalahkannya adalah si
peniru yang menjadi lawan Aomine. Dialah Kise Ryota. Dia berhasil meniru
seluruh kemampuan teman-temannya di Kiseki
no Sedai, yang katanya mustahil untuk ditiru. Ya, dialah yang percaya bahwa
“meniru itu juga belajar.” Apa yang ingin Fujimaki sampaikan adalah ‘buktikan
dengan usaha lebih, karena menyesal tidak meyelesaikan apapun.’
Tapi dunia anime Fujimaki bukanlah
dunia kita pada umumnya. Dan jika kita hanya melihatnya demikian, saya rasa
kita telah mengabaikan satu hal. Belajar pun terkadang tak harus dijelaskan
dari mana pelajaran itu datang. Seperti keteka kita bisa membaca dengan benar
dan indah tanpa tahu apa maknanya. Yang hanya kita tahu, kita melakukannya
karena kita menyukainya. Kita percaya itu.
Di luar dunia animenya Fujimaki,
apa yang kita percaya ternyata menjadi sebuah agama. Yang diajarkan memang
bukan tentang meniru atau mencuri, tapi yang hampir mirip dengan itu. Menyalin.
Agama dengan kepercayaan bahwa menyalin informasi adalah tindakan yang sakral. Kepercayaan
itu ada di sebuah negara bernama Swedia. Kepercayaan yang pengikut agamanya
disebut sebagai Kopimist. Seseorang dengan keyakinan filosofis bahwa semua
informasi harus disebarkan secara bebas, tidak terbatas. Keyakinan filosofis
yang juga menentang monopoli pengetahuan seperti hak cipta. Bahkan menukung
pembajakan di semua jenis media. Musik, film, televisi, apapun itu.
Di negara yang meiliki lagu
kebangsaan dan lagu kerajaan itu, apa yang biasa kita anggap sebagai tindakan
hukum ternyata bisa menjadi sebuah agama. Mungkin tidak semua agama berasal
dari niat yang baik, mungkin juga hukum memang ada untuk sebuah perlindungan.
Dan bagaimana jika kita mulai berpikir bahwa yang ‘baik’ adalah masalah
pendapat saja? Atau ita hanya sekedar mencoba melihat dengan cara lain, hanya
untuk tahu, ada apa dibalik pintu itu. Di balik tindakan yang salah.
Komentar
Posting Komentar