Gigrantes
adalah sebuah kota tempat para korban perang bernaung. Di sini, orang – orang membentuk
identitas baru, tidak berasal dari Negara mana pun, ras mana pun, agama mana
pun. Untuk mencegah perang, dan sekedar menciptakan ketenangan. Semua memiliki
identitas yang sama. Penderitaan.
Di
sebuah rumah yang tenang. Azher dan keluarganya sedang membersihkan rumah.
Azher mengelap vas bunga di meja, di belankangnya, dari pintu kamar muncul
Jeina yang baru bangun. “Kakak sudah bangun? Selamat pagi,” ucap Jeina sambil
menguap.
“Oh,
Jenina ya? Selamat pagi. Di mana Drei? Dia belum bangun?”
“Drei
susah sekali dibangunkan, pasti gara-gara buku yang kakak berikan. Sejak dua
hari yang lalu, aku tak pernah melihatnya berhenti membaca ketika mau tidur.”
“Hahaha,
maaf..maaf, soalnya dia marah jika aku tidak meminjaminya buku. Kau sendiri
tahu kan bagaimana ketika di marah?
“Aku
benar-benar tidak ingin melihatnya lagi.”
“Benarkan?
Nah, sekarang bangunkan dia, bilanglah kalau makanannya sudah disiapkan Kak
Sanrez”
“Benarkah?”
“Aku
pulang, Jeina, wahh,seperti biasa kau selalu bangun lebih awal dari Drei.”
Sanrez turun dari tangga sambil menyapa.
“Yayy..kak
Sanrez sudah pulang, kali ini kakak membawa oleh-oleh apa? Topi lagi?”
“Bukan.
Tapi ini.” Sanrez menunjukkan sebuah buku.
“Hahh,
kenapa buku? Kak Sanrez kan tahu sendiri aku tidak suka membaca. Membaca itu
membosankan.
“Maka
dari itu, Jeina, aku ingin kau suka membaca.Kalau kau suka membaca ,kau akan
dikagumi oleh teman-temanmu, karena kau tahu banyak hal” Sanrez berjongkok sambil
memberikan buku itu kepada Jeina.
“Benarkah?”
Azher
Tersenyum tipis. “Tentu
saja, kau pasti tidak tahu kan kalau Drei yang pendiam, memiliki banyak
penggemar di Wrengeis karena tulisannya?”
“Haahh,
bohong. Itu tidak mungkin.”
Tiba-tiba
Drei muncul dari pintu kamar. Setelah mengusap mata, dia terheran-heran karena
semua orang memandangnya. Mereka semua terdiam dalam tiga detik. “Ada apa
dengan kalian semua?” Tanya Drei.
***
Keluarga
kecil itu sarapan pagi bersama, di sebuah ruang makan yang juga kecil.
Kegembiraan, kesenangan, dan kedamaian ada di sana. Sanrez memasakkan sayur
bayam dengan lauk jagung goreng. Seperti biasanya. Setelah selesai makan,mereka
bersantai sambil berbincang-bincang. Seperti biasanya.
“Kenapa
Negara kita dulu berperang dengan Negara lain ya? Di buku yang Kak Azher
pinjamkan padaku tertulis, karena perkembangan dan persaingan teknologi.
Bukankah teknologi itu ada untuk membantu pekerjaan manusia, lalu kenapa bisa
terjadi perang? Aku tidak mengerti.” Drei mulai bertanya.
“Kali
ini aku tidak mengutip buku seperti yang aku lakukan biasanya, Drei. Ini
pendapatku. Perang awalnya ada untuk menciptakan perdamaian. Di Negara kita
dulu, orang-orang menjalani hidup seperti biasa, tapi, saking biasanya, orang
yang melakukanhal yang tidak biasa akan tersingkir lalu dihukum. Itu yang tidak
disadari orang-orang pada umumnya. Atau mereka pura-pura tidak sadar. Kemudian
muncullah orang yang ingin menghancurkan kebiasaan itu dengan jalan kekerasan.
Orang itu mengajak orang-orang yang tersingkirkan untuk melakukan perlawanan.
Lalu terjadilah perang.” Azher menanggapi.
“Semua
itu untuk keadilan orang-orang yang tersingkirkan?” Drei bertanya.
“Ya.”
“Lalu,
apa hubungannya dngan teknologi?”
“Masalahnya,
setelah perdamaian terwujud. Keinginan alami manusia muncul lagi. Kekuasaan.
Dari zaman purba sampai sekarang, manusia tidakpernah berhenti untuk menunjuka
kan keberadaannya, sampai ke tingkat kekuasaan. Setelah perdamaian itu,
orang-orang mulai bersaing dengan teknologi. Kau pasti belum baca bab berikutnya.
Satu hal yang menjadi alasan terbesar untuk perang adalah ideologi. Dengan itu
orang orang menjadi lebih bersemangat. Aku tidak akan menjelaskannya lagi.
Bacalah bab berikutnya.”
“oohhh…aku
jadi penasaran.”
“Berikutnya,
orang-orang yang melakukan perlawanan itu memilih jalan lain.” Tiba-tiba Sanrez
melanjutkan, “jalan yang diciptakan oleh keputusasaan atas Negara, karena
sampai kapanpun perang akan terjadi, jadi mereka memilih untuk pergi dari
Negara itu dan menciptakan tempat baru, di mana tidak ada lagi perang, yang ada
hanyalah ketenangan. Maaf, Azher, aku tidak bisa berhenti untuk
menceritakannya.”
“Yahh,
mau bagaimana lagi, begitulah adanya. Kali ini, aku tidak menolak, Sanrez.”
Drei
yang terdiam menunggu jawaban dari Azher pun tertawa setelah mendengar
jawabannya. “Hahaha, biasanya kalian bertengkar kalau berbeda pendapat. Tapi
kali ini Kak Azher menjadi lebih bijaksana.”
“Bukan,
Drei, ini bukan tentang perbedaan pendapat, aku melakukan kebijaksanaan karena
aku tidak ingin melakukan hal yang sia-sia. Artinya, aku sudah melihat apa yang
akan terjadi. Dan bukan maksudku juga aku mengijinkanmu mengetahui semuanya
dari Sanrez.kau sudah tahu itu kan?”
“Begitu ya. Aku mengerti.”
“Tunggu
dulu,” Jeina yang dari tadi tidak mengikuti pembicaraan, mulai bersuara, “dari
tadi kalian berbicara tentang perang dan buku, aku tidak mengerti semuanya.
Bukankah ini juga sebuah ketidakadilan? Kalian selalu berbicara tentang apa
yang kalian sukai. Lalu bagaimana dengan aku?” Jeina menunjukkan eraut muka
yang sedih.
“Memang
apa yang kau sukai, Jeina, dan apa yang kau inginkan? Azher bertanya.
“Yang
kuinginkan sudah terwujudkan. Yaitu berada di kota ini, di rumah ini bersama
kalian semua. Aku tidak ingin mengingat apapun tentang masa lalu.jadi jangan
berbicara tentang perang dan yang lainnya yang menyangkjut mas lalu.”
Semuanya
terdiam sejenak. Lalu Drei memecah suasana. “Baiklah, demi keadilan untuk
seluruh manusia di rumah ini, dan demi tidak adanya lagi yang terasingkan,
marilah bersama-sama kita berbicara tentang sekarang dan hidup untuk hari ini.”
Ucap Drei dengan nada sok gagah. “Hahahaha…”
“Sesuai
titah Drei sang raja,” Sanrez menanggapi, “marilah kita melakukan sebuah
permainan untuk menghibur hati Tuan Putri Jeina, dan mengikutsertakan rakyat
jelata seperti Azher dalam permainan itu. siapa yang siap untuk Baseball?”
“Aku
siap.” Jeina dan Drei berteriak bersamaan.
“Kenapa
aku menjadi rakyat jelata?” keluh Azher.
Keluarga
itu kemudian bermain baseball dengan semangat dan gembira. Berbagi makanan
dengan tetangga. Berkumpul untuk belajar bersama dengan anak-anak dan orang
dewasa. Gigrantes. Sebuah kota dimana tidak ada lagi peperangan. Semua orang
yang ada di kota itu sadar akan bahaya dari perang. Namun orang-orang dewqasa
seperti Azher dan Sanrez masih cemas. Akankah semua ini berjalan sampai akhir?.
Untuk mengalahkan kecemasan itu Azher dan Sanrez berharap agar Drei, Jeina dan
anak-anak seusianya bisa memahami asal-usul Gigrantes, agar mereka ingat, dan
tahu apa yang harus dilakukan mereka ketika orang-orang dewasa sudah tidak ada.
Orang-orang di Gigrantes memang hidup untuk hari ini. Tapi mereka juga
berjaga-jaga agar tetap bisa hidup untuk hari ini. Perlahan-lahan, sambil
bermain dan bersenang-senang.
Komentar
Posting Komentar