Apa jadinya jika sekolah tidak
menggunakan angka-angka sebagai patokan nilai? Akankah murid menjadi bosan memasuki
ruang kelas, berdiskusi, atau sekedar mendengarkan ajaran guru, dan pada
akhirnya ruangan itu tidak dihuni lagi?
Dalam pemahaman saya, angka
adalah sebuah tanda yang menandakan jumlah dan terkadang juga kualitas. Tapi di
sekolah, angka itu memiliki sifat. Dari yang bagus sampai yang tidak bagus. Nilai
inilah yang menjadi sebuah kepastian bagi murid, sesuatu yang kemudian hari
akan menjadi sebuah bukti dan kebanggaan.
Namun nilai itu bisa
menakutkan. Ketika murid gagal mendapatkan nilai yang bagus, ketika tugas-tugas dari
guru begitu berat dan terkadang membuat stress.
Jika dilihat kembali, sekolah memang tidak memiliki
arti yang tunggal. Sekolah ada untuk anak-anak belajar bersama. Sekolah menjadi
keharusan bagi mereka yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak tanpa
sekolah. Sekolah menjadi keinginan bagi mereka yang kagum atas indahnya
pengetahuan. Apa lagi?
Sekolah memang tak sekedar tempat untuk belajar. Dari
tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak bisa
menjadi bisa. Sekolah juga sebuah sedih, bagi mereka yang gagal, mereka yang
selaludi bawah yang lainnya. Bahkan bagi mereka yang berada di atas tapi tidak
sadar jika kelak posisi mereka bisa menjadi sia-sia.
Mengapa bisa seperti itu?
Mungkin akan menjadi lega jika mendengar jawaban dari
Albert Edward Wiggam, “Kecerdasan nampak seperti sesuatu yang membuat manusia
hidup tanpa pendidikan. Sedang pendidikan membuat manusia hidup tanpa
menggunakan kecerdasannya.”
Tanpa pendidikan, tanpa sekolah, lalu bagaimana?
Pramodya Ananta Toer juga tak tahu bagaimana, tapi dia
yakin akan satu hal. Keberanian. “Dalam hidup cuma satu yang kita punya, yaitu
keberanian. Kalau tidakpunya itu lantas apa harga hiedup kita ini?”
Pram juga bagian dari mereka yang di bawah ketika
sekolah. Malah Pram disuruh
bapaknya kembali ke Sekolah Dasar lagi ketika sudah lulus Sekolah Dasar. Alasan
bapaknya, karena Pram bodoh, dan itu membuat malu bapaknya yang merupakan
seorang guru.
Melihat Pram kecil yang tidak
berdaya, Ibunya Pram menyuruhnya melanjutkan sekolah di SMP (walupun tidak
sampai lulus). Berawal dari perhatian sang Ibu inilah Pram menjadi seorang
pemberani.
Karena Ibunya Pram mengajarkan
stu hal penting yang diingat, dipercaya, dan dilakukan Pram sampai Pram menjadi
bapak-bapak. “Jangan menjadi budak dan jangan memperbudak orang lain. Jadilah
tuan bagi dirimu sendiri.” Lalu Pram menulis. Karya tulis yang banyak, berani
dan menggetarkan batin pembacanya. Sampai bukunya diberedel, juga dibakar, juga
sampai diakui oleh dunia. Sampai dia dipenjara dari masa ke masa.
Begitulah Pram. Dia yang
pernah berada di bawah, lalu dia keluar sekolah. Tempat yang menggunakan angka
sebagai patokan nilai. Dan Pram menciptakan nilai-nilainya sendiri. Dengan
Keberanian.
Jika sekolah tidak menggunakan
angka-angka sebagai patokan nilai, mungkin murid tidak akan menjadi bosan
memasuki ruang kelas, berdiskusi, atau sekedar mendengarkan ajaran guru, sampai
ruangan itu tidak dihuni lagi. Ketika guru menceritakan tentang Pram kepada
murid, mengajarkan tentang keberanian, meyakinkan bahwa murid bisa melampaui
nilai-nilai yang ada di sekolah, dengan menciptakan nilai-nilainya sendiri.
Seperti kata robert Maynard
Hutchins, “Tujuan pendidikan itu untuk menyiapkan anak muda agar bisa mendidik
dirinya sendiri seumur hidupnya.” Karena “Anak yang dididik hanya di sekolah
adalah anak yang tidak berpendidikan,” kata George Santayana. Siapa mereka?
Saya tidak tahu, dan saya yakin
kalau saya bisa mengetahuinya.
Komentar
Posting Komentar