Demokrasi hadir
demi keadilan, kesejahteraan, kebebasan berpendapat, dan kritik. Lantas kenapa
Indonesia memilih demokrasi? Saya tidak tahu. Saya hanya bisa mengira-ngira.
Mungkin dulu Indonesia memilih demokrasi karena kehadiran mencapai cita-cita bangsa. Mungkin. Namun
roda sejarah terus berputar, demokrasi pun ikut, berproses, berubah bersamanya.
Perubahan
demokrasi demokrasi tak bisa dihindari, karena demokrasi tak bisa menjamin
terwujudnya tujuan dari keberadaannya. Ya, demokrasi bukanlah jaket yang tebal.
Yang – ketika kita memakainya – langsung melindungi tubuh kita dari dinginnya
angin malam.
Kita tahu,
demokrasi di Indonesia berubah sebanyak tiga kali. Dulu awal demokrasi
parlementer – dengan undang - undang dasar sebagai dasar konstitusinya – yang
pernah diterapkan di Indonesia, gagal karena politik aliran yang menguasai
panggung. Partai politik dimabukkan oleh ideologinya, sehingga tak bisa
menerawang dengan jelas kepentingan masyarakat umum. Kekacauan terjadi.
Sang presiden
Soekarno geram. Lalu terciptalah sebuah gagasan baru dari demokrasi. Demokrasi
pancasila. Namun begitulah, demokrasi yang bersumber dari kegeraman itu
menyebabkan bersinarnya ego di puncak kekuasaan. Hingga pernah ada masa dimana
tak ada seorangpun yang bisa menggapainya. Meskipun itu orang-orang dari
legislatif. Tidak ada yang bisa.
Dan pada
akhirnya muncul satu nama yang muncul satu nama yang mampu meruntuhkan ego dari
puncak kekuasaan itu. Satu nama yang – katanya dengan licik – telah
menggulingkan Soekarno dari singgahsananya. Tentu Soeharto. Setelah itu, dengan
cerdasnya Soeharto mengubah demokrasi terpimpin menjadi demokrasi pancasila.
Demokrasi baru yang dianggap paling masuk akal. Suatu sistem pemerintahan yang
menjadi solusi dan mampu dipertahankan sampai hari dimana tulisan ini ditulis.
Walaupun masyarakat harus berjuang mati-matian untuk mempertahankannya.
Berjuang melawan celah-celah ketidakadilan. Kemenangan besar pun tercatat dalam
sejarah. Kemenangan atas pelawanan
terhadap sang pencipta demokrasi pancasila sendiri.
Sampai saat ini
masyarakat masih memperjuangkannya. Sampai saat ini juga ketidak adailan masih
terjadi. Kebebasan berpendapat maupun kritik hanya hidup di tempat yang itu-itu
saja, tapi mati di hadapan kesewenang-wenangan. Malah ada yang ingin mendapatkan
keadilan dengan memederkakan wilayahnya sendiri. Kesejahteraan juga begitu,
menjadi suatu kesedihan bagi mereka yang tidak bisa memperjuangkan keadilannya
atau sekedar berpendfapat. Karena mereka harus berjuang untuk mendapatkan
makanan. Untuk bertahan hidup.
Pada
kenyataannya hubungan dalam demokrasi bukan hanya antara masyarakat dan
pemerintah, tapi antara manusia dan manusia. Namun, begitulah demokrasi, selalu
ada celah untuk ketidakadilan, karena kekuasaan, juga karena ego saja. Selalu
ada yang disalahkan, yang dituntut, yang dibunuh, yang diabaikan.
Begitulah
demokrasi yang saya lihat di Indonesia. Mungkin ketidakadilan seperti itu tak
hanya terjadi di negara yang menerapkan demokrasi, tapi juga terjadi di negara
manapun yang menerapkan sistem pemerintahan.
Tapi saya
berpikir seperti ini. Demokrasi merupakan pilihan “aman” jika dibandingkan
dengan monarki dan anarki. “Aman” disini artinya tidak ada yang terlalu
berkuasa dan tidak ada yang terlalu bebas. Maka demokrasi pancasila adalah
wujud yang paling mendekati pilihan “aman” itu. Namun demokrasi pancasila
sepertinya tak akan mencapai makna dari kehadirannya sendiri. Alasannya:
demokrasi dan pancasila, kebebasan dan persatuan. Pada awalnya demokrasi itu
sendiri, tak ada pancasila (bhinneka
tunggal ika) di dalamnya. Seperti yang
di awal tadi, demokrasi hadir demi keadilan, kesejahteraan, kebebasan
berpendapat, dan kritik. Tanpa persatuan.
Saya pun
bertanya. Ketika pancasila dipilih untuk mempertahankan keberadaan demokrasi –
agar sesuai. Apakah itu artinya demokrasi – di Indonesia – di tujukan kepada
persatuan? Atau untuk memperjelas bahwa pancasila hanya hadir di sebelah
demokrasi? Lantas dimana letak persatuan di dalam kebebasan?
Komentar
Posting Komentar