Pagi ini aku terbangun.
Membuka mata, menatap jendela yang tak begitu terang. Terdengar suara rintik
hujan, seraya berkata tidurlah lagi, ini adalah waktuku. “Oh, Tuhan, kenapa Kau
ciptakan hujan di hari ini?” keluhku kepada Tuhan. Namun tiada jawaban dari
Tuhan. Apakah aku tak mendengarnya? Apakah Tuhan tak mendengar-Nya? Lalu
kutanya kepada hujan. Hujan menjawab. Entahlah.
Kugerakkan kaki untuk
melangkah mendekati jendekati jendela. Menyaksikan dunia luar, tempat hujan
mengerahkan asanya, sampai saat-saat terakhir. Namun aku tak menyaksikan sampai
akhir. Karena hujan tak bisa menjawab pertanyaanku. Aku pun melangkahkan kaki
menuju dapur untuk membuat kopi.
Langkahku berat
manuruni tangga, akibat tidur jam 12. Langkahku terhenti setelah menuruni
tangga, “Oh, iya, kenapa tadi maam aku
tidur jam 12 ya? Hahh, inilah kelemahanku, aku mudah lupa.” Aku melanjutkan langkah
lagi ke dapur, mengambil gelas, kuisi kopi, gula dan air panas. Setelah enam
menit, jadilah kopi. Kuaduk kopi sambil menatap langit-langit dan bertanya kepada
diri sendiri, apa yang akan kulakukan hari ini ya?
Hujan masih menikmati
waktunya di luar. Sendirian, tak ada petir atau badai yang menemaninya. Lalu
aku tersenyum. Ternyata kau sama dengan aku. Kenapa aku tak berbicara dengan
hujan saja. Aku naik ke atas, ke kamar, membawa kopi dan menatap jendela lagi.
Aku bertanya kepada hujan.
“Hei, hujan, kenapa kau
ada?”
“Kenapa kau malah
bertanya kepadaku”, dia malah bertanya balik, “bukankah sudah kusuruh untuk
tidur saja, apa yang aku katakan ini hanyalah imajinasimu, aku tak pernah
benar-benar berbicara denganmu.”
“Ohh…tapi bukankah aneh
jika imajinasiku malah menyuruhku untuk berhenti berimajinasi?”
“Itu karena memang kau
yang aneh”.
“Yahh, mungkin kau
benar, tapi inilah yang bisa kulakukan di hari ini. Karena kau tiba-tiba hadir
di pagiku”.
“Baiklah-baiklah, aku
mengerti, akan kujawab sebisaku. Aku sebenarnya tidak tahu kenapa aku ada.
orang-orang mengatakan hal berbeda tentang alasan keberadaanku. Ada yang
mengatakan aku ada supaya makhluk hidup bisa terus hidup, tapi ada yang bilang aku
ada sebagai bencana yang bisa membunuh makhluk hidup. Semuanya benar, dan aku
tidak begitu peduli dengan itu, keberadaanku tidak membutuhkan alasan, karena
aku tak memiliki kehendak bebas sepertimu”.
“Hmm…benar juga, aku
bisa dengan bebas memaknai keberadaanku. Apa kau tidak penasaran kenapa aku
ada?”
“Tidak, karena aku
sudah mengetahuinya”.
“Aku tidak akan tanya
kenapa kau tahu. Pertanyaan berikutnya, jika
kau memiliki kehendak bebas, apa yang akan kau lakukan?”
“Mungkin”, dia berhenti
sejenak sebelum melanjutkan, “mencari jawaban dari segala hal yang tidak
kumengerti, setelah mendapatkan jawaban, aku akan bertanya lagi. Tapi aku tidak akan menanyakannya padamu”.
“Sudah kuduga. Tapi kau
memang mirip denganku.”
“Terserah. Hei, kopimu
sudah dingin.”
“Ohh..iya, aku lupa
meminumnya”, aku pun meminumnya. Ketika aku mau bertanya lagi, hujan perlahan
mulai menghilang.
“Tunggu-tunggu”, aku
mencoba menhentikannya, “kau sudah mau pergi? Ada satu pertanyaan lagi yang
tadi belum kau jawab. Kenapa Tuhan tidak
menjawabku?”
“Karena kau tidak percaya
Tuhan”, jawabnya singkat.
“Benarkah? Aneh,
padahal aku belum membaca buku tentang Tuhan”. Hujan pun pergi.
Aku meminum kopiku
lagi. Ketika aku menoleh ke kiri, aku terkejut melihat ada buku yang tergeletak
di atas meja. Aku menghampirinya den menatap buku itu. Judunya “Mengapa Tuhan ada?” dan yang membuatku
terkejut lagi adalah nama pengarangnya. Namanya sema dengan namaku. Untuk
memastikannya aku memungut buku itu. Kemudian waktu seperti bernenti, suasana
menjadi senyap, hening dan hampa. Itu terjadi dalam 3 detik.
“Hahh…menyebalkan juga
harus seperti ini terus. Yah, tapi hanya dengan begini aku bisa ada” keluhku.
Komentar
Posting Komentar