Satu pagi di Desa Tulungrejo, tak banyak orang yang
bisa saya lihat di sepanjang jalan. Menurut
keterangan ketua RT, desa ini awalnya adalah bekas perumahan pensiunan angkatan
udara. Untuk mengetahui lebih jauh tentang sejarah desa ini, saya mencari
seorang warga yang mungkin tahu tentang sejarahnya.
Di perjalanan, kebetulan saya melihat anak kecil yang
bersiap membanting pintu. “Tak tutup lho yaa...” ujarnya
kepada seorang kakek di depannya. “iyaa, tutup aja kalau berani,” balas si
kakek. “Brook,” pintu tertutup dari dalam. Kakek itu tertawa, lalu menyapa saya, “aku dikunci
sama anak kecil” ujarnya sambil menunjukan seringai tanpa gigi.
Spontan, saya hampiri kakek itu,
berkenalan sebentar, lalu menanyakan tentang daerah di sini. Awal perbincangan kami adalah tentang papan jalan yang bertuliskan “RT
02 Catalina RW 14”. “Ya, di sini memang setip jalan ada namanya, ada Catalina,
Albatros, Garuda, Rajawali, itu semua dari auri,” auri yang dimaksud kakek itu
adalah Angkatan Udara Republik Indonesia. Kakek itu tak tahu arti
dari Catalina, Albatros, dan
lain-lainya, ia hanya menduga kalau itu adalah nama dari
tim angkatan udara.
Kakek itu bernama Pur, kemeja abu-abunya seperti desinan
lama, saya tahu karena kakek saya juga punya satu yang mirip. Ia memakai celana
training biru,
sandal swallow putih, dan jam
tangan berwarna emas di pergelangan lengan
kanannya. Desa
tulungrejo, kecamatan bumiaji, kota batu, kata Pur,
memang benar dulunya adalah perumahan peninggalan pensiunan angkatan udara. Sebelum dihuni
angkatan udara, tanah di daerah itu dikuasai oleh orang-orang belanda pada masa penjajahan.
Pensiunan angkatan udara mulai
menjual tanahnya pada tahun
1973. Lalu pada tahun 80an, sudah banyak tanah
yang dijual, orang-orang dari luar desa maupun luar kota berdatangan. Pur adalah salah satu pembeli
tanah itu, ia berasal dari batu. Tahun 1986 ia membeli sebuah
kavling dengan uang dua
juta rupiah. Namun,
“kalau sekarang ya gak laku, satu meter saja harganya satu setengah juta”
ceritanya tentang harga tanah yang naik.
“Ya, begitulah, sekarang tambah rame, tambah maju,
mungkin para pensiunan auri itu kecewa karena menjual tanahnya dengan harga dua
juta rupiah”.
Kata Pur, suasana sepi dan hawa dingin di Desa Tulungrejolah
yang menjadi alasan mengapa pensiunan angkatan udara menjual tanahnya “di sini
sepi, hawanya dingin, paling dingin di batu,” apalagi, lanjutnya, setiap
angkatan udara pada waktu itu memiliki tanah seluas 450 meter. “Kondisi ini
membuat pensiunan angkatan udara tak betah tinggal di Desa Tulungrejo,” ujarnya.
Namun tak semua tanah itu dijual, beberapa rumah masih
ditinggali oleh anak cucu dari pensiunan angkatan udara dulu. Kegiatan
sehari-hari mereka, kata Pur, adalah berkebun atau pergi melakukan sesuatu di
tegal. Pur juga sering pergi ke tegal ketika masih muda, ketika otot-ototnya
masih kuat. Tapi sekarang ia hanya menganggur, melewati hari demi hari.
Begitulah cerita dari Pur, seorang kakek yang tahu
tentang sejarah tanah di Desa Tulungrejo, yang kebetulan saya temui di tengah
perjalanan. Kebetulannya lagi, Pur adalah mantan ketua RT salah satu dusun di Desa Tulungrejo. Tiga tahun
yang lalu, ia lengser dari jabatannya karena sudah begitu tua. Masa jabatannya
dimulai pada tahun 1989, ia adalah ketua RT generasi kedua di dusunnya.
Tentang suasana sepi dan hawa dingin di Desa Tulungrejo,
semua itu tidak membuatnya merasa tak betah lalu beranjak pergi. Malah kondisi
di Desa Tulungrejo inilah yang membuatnya nyaman. Katanya, “kalau tinggal di
kota, saya bisa mati kaliren,” dengan antusias ia berkata lagi, “di
sisni, kalau ada orang yang besok gak tau mau makan apa, cukup dengan berkebun
sehari, orang itu bisa makan berhari-hari”.
Komentar
Posting Komentar