Langsung ke konten utama

Munculnya Benci



Momen itu terulang kembali, rasa benci itu muncul
Kebencian yang bersemayam di dalam diriku, entah dimana
Agaknya aku terlalu sombong dengan topeng yang aku pakai
Dan aku agak lupa akan keberadaan si kebencian


Ia muncul lagi malam ini
Mungkin karena arogansi mereka, yang sepertinya juga aku lupakan
Kata mereka aku harus begini, karena aku berada di sini
Ini adalah tuntutan, aku harus mengayomi, tak bisa diganggu gugat

Walaupun aku berkata aku tidak suka, mereka terus memaksaku
Sakit rasanya dan masalah selesai, aku tak bicara lagi, aku pergi
Tapi masalahnya memangtak selesai di situ, bagiku sih
Aku berpikir, aku bisa berkata hal lain yang lebih tak mereka sukai

Tapi mengapa? Kenapa mereka tak tanya, mengapa aku tidak suka?
Rasanya semakin sakit, aku hanya menulis, aku tak tahu
Masih berharap atau tidak, memang aku hanya bisa menulis semua ini

Untuk apa? Lalu bagaimana?
Katanya memihak kesadaran nurani, lalu mengapa yang terjadi pemaksaan?
Bukankah dengan itu dialektika menjadi gagal?
Bukankah kita harus memposisikan diri di situ?

Sebagai pengritik, sebagai pembela yang tertindas
Aku diam sejenak
Lalu keinginan untuk keluar sambil membenci pun muncul
Begitu saja
Mati, tak mati, tak merasa mati, mati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .