Langsung ke konten utama

"Kecatatan" dalam Diskusi UAPM Inovasi

Diskusi bisa diartikan sebagai suatu momen yang menyenangkan. Ketika kita mengungkapkan pendapat terhadap satu peristiwa, ketika kita berbicara tentang isi buku yang kita baca. Ada beberapa kepuasan dan tawa di sana. Entah itu dari pendapat yang kita bagi, pengetahuan baru yang kita dapatkan, atau keberhasilan membantah pendapat teman kita. Dan di UAPM Inovasi (lembaga pers mahasiswa), diskusi menjadi sebuah kebiasaan yang harus dipertahankan. Kenapa Harus? Ya karena diskusi itu menyenangkan.
“Dibalik tawa selalu ada tangis” begitulah status facebook terbaru teman saya. Saya pun paham bahwa dalam setiap kesenangan, selalu ada teman yang bersedih. Tak luput juga dalam diskusi Inovasi. Di satu malam yang tidak begitu tenang, kami berdiskusi, sambil bercanda tawa dan sesekali serius. Jangan terlalu dipikirkan kalau anda merasa kalau itu tidak ada hubungannya.

Malam itu kami gaungi dengan diskusi soal logika fallacy. Konon, logika fallacy ini digunakan oleh kaum sofis di yunani untuk melanggengkan kekuasaan mereka di bidang ilmu pengetahuan. Kata teman saya yang bernama Faisal, fallacy –yang berarti sesat, keliru, cacat– merupakan kritik yang disampaikan oleh para filsuf. Salah satu ungkapan filsuf kepada kaum sofis yang menunjukan kecacatan logika mereka adalah, “orang yang paling bijaksana adalah orang yang tidak tahu apa-apa”. Adalah Socrates, filsuf yang mengutarakan kalimat itu.

Singkatnya, bagi filsuf macam Socrates, semakin kita banyak tahu, kita harus merasa bahwa banyak yang tidak kita ketahui. Saya menangkap maksud Socrates bahwa kita harus menggunakan pengetahuan kita dengan bijak, dan tidak merasa bahwa kitalah yang paling tahu, yang paling benar. Seperti kaum sofis.

Kembali ke diskusi. Faisal mencontohkan sebuah logika fallacy. Fallacy of Four Terms namanya. “Semua perbuatan mengganggu orang lain diancam hukuman. Menjual harga di bawah harga tetangganya adalah mengganggu kepentingan orang lain. Jadi menjual harga di bawah tetangganya, diancam dengan hukuman”. Saya sedikit paham. Belum sempatmenanyakan penjelasannya, Faisal tiba-tiba mengaku bahwa ia belum sepenuhnya menguasai materi Logika Fallacy. Namun ia tetap berusaha untuk menjelaskan sebisanya.

Diskusi terus berlanjut, dan teman saya yang bernama Syams dan Misbah belum angkat suara. Sementara teman lain, Asrur, Ipe, dan Hanik mulai berpendapat. Asrur dengan referensi dari internet (yang sepertinya sama dengan milik Faisal), Ipe dengan ulasan tulisannya yang dimuat di Majalah Inovasi, dan Hanik dengan pandangan ilmu hukumnya. Saya sendiri baru berbicara ketika, Asrur mencoba menarik pembicaraan logika fallacy ini ke persoalan jurnalistik.

Asrur mengatakan kalau dalam kerja jurnalistik, ada momen-momen logika fallacy. Asrur mencontohkan, misal dalam memilih narasumber. Ketika kita meliput satu peristiwa, kita terkadang memilih narasumber A, padahal pihak yang terkait, yang relevan, yang harusnya diberi kesempatan untuk berbicara adalah narasumber B. Saya menyebut A dan B karena saya lupa dengan apa yang dicontohkan Asrur.

“Tunggu-tunggu, ketika kita membahas jurnalistik, apakah masih relevan menggunakan anlisa logika fallacy? Sementara dalam analisis framing, media mengkonstruksi realitas ke dalam berita yang diterbitkannya, media tak bisa melepas penilaian subjektivnya. Jadi, kalau dengan analisis framing, tidak ada yang salah ketika media/wartawan memilih narasumber tertentu, kita hanya mencari apa penyebab wartawan memilih narasumber itu”. Sekilas ungkapan saya ini seperti membedakan antara analisis framing dan logika fallacy.

Namun Asrur menjawab bahwa saya seharusnya tidak berpikir terkotak-kotak dalam memahami konteks peristiwa. Jika ada narasumber yang berhak diberi kesempatan untuk bersuara, seharusnya wartawa itu mewawancarainya, bukan yang lain. Walaupun dalam metode jurnalistik sudah terverivikasi, tapi itu tetap salah.

Sepertinya Asrur menangkap pernyataan dan pertanyaan saya sebagai bantahan terhadap pendapatnya. Asrur menunjukkan bahwa pendapat saya itu salah dan tidak wajar. Padahal, saya tidak mencoba melawan pendapatnya tentang logika fallacy, saya hanya membedakan mana analisis framing mana logika fallacy. Jika memang saya ingin membantah maupun mengarahkan, saya ingin mengajak teman-teman saya berpikir bahwa metode jurnalistiklah yang harusnya kita kritik, kita perbarui (kalau mampu, sih). “Saya mengkritik metodenya, bukan substansi beritanya”.

Sayangnya, teman-teman tidak ada yang menangkap maksud saya, entah karena kata-kata saya yang ndaki-ndaki atau karena kesalahpahaman Asrur. Dan lebih (kalau bisa dikatakan) parahnya lagi, Ipe mejuga membenarkan perkataan Asrur. Ipe mencoba memberi pemahaman lagi bahwa sekalipun proses verifikasi itu sudah dilakukan, jika narasumbernya tidak relevan, maka prosesnya tetap salah. Mbak ipe juga memberi satu contoh lain, saya lupa apa, atau memang saya tidak ingin mendengarkan perkataannya.

Setelah itu Asrur kembali menunjukkan kesalahan perkataan saya, dengan contoh yang lain tentunya. Saya kembali berkata bahwa “Saya mengkritik metodenya, bukan substansi beritanya”. Memang saya sedikit mengaitkan dengan kemiripan analisis framing dengan dekonstruksi Derrida. Namun itu malah menjadi bumerang bagi saya, yang mencoba memahamkan, tapi perkataan saya diputar balik oleh Asrur. Asrur mengatakan kalau dia memang tidak paham Derrida dan lain sebagainya, tapi dia menyimpulkan bahwa, saya mewajarkan wartawan yang memilih narasumber yang kurang relevan.

Duh Gusti, mengapa kau menciptakan manusia yang omongannya seperti coro dan gobis seperti saya ini?
Yaudah saya diam. Seraya berpikir, melamun, mengasingkan diri, mencoba memahami kenyataan yang tak saya pahami.

Begitulah kisah kasih dikuliah. Malam yang penuh tawa, namun mencekam dan ada hati yang terasingkan. Apa yang terjadi di malam itu sebenarnya adalah, sebuah kesalahpahaman, pasti. Tapi kesalahpahaman itu berawal dari ketidakpahaman kita (dengan omongan orang lain), sehingga kita menyimpulkan pemahaman orang lain.

Saya paham logika fallacy, saya sedikit paham kalau dekonstruksi Derrida (yang mirip analisis framing itu) akan sangat mungkin berujung pada nihilisme. Dan saya paham, mengapa jurnalisme di Inovasi mengacu pada Mazhab Kritis, karena ia berpihak, ia tidak nihil, ia jelas.

Maka dari itu, sebagai diri saya sendiri, saya berpesan, jangan bicara coro dan gobis jika anda belum menguasai kemampuan berbicara yang baik. Tapi lebih baik lagi, jika anda tidak paham dengan omongan orang lain, jangan menyimpulkan omongannya seolah-olah anda paham. Tapi jika anda ingin menolak saran saya, ya nggak papa. Saya bukan Nabi kok. Saya cuma menulis apa yang saya rasakan.

Tapi, jika ternyata memang saya yang salah, dan memang saya yang tidak paham. Ya, silahkan katakan kepada Saya, mana kesalahan saya, dan mana yang tidak saya pahami. Dengan tulisan tentunya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Lain Ibu Pedagang

Malam itu malam yang sebenarnya tak ingin kulalui dengan hal yang merepotkan. Maksudku, jalan-jalan malam, dan ngopi, di sekitar Yogyakarta. Selepas acara, mereka mengajakku, awalnya aku tidak ingin ikut, malas tentunya, tapi aku lupa kenapa tiba-tiba aku ikut. Tempatnya tak jauh, tinggal jalan lurus kea rah timur, lalu sampai, di alun-alun.

Pertanyaan tentang Tulisan

Apakah tulisan yang bagus itu adalah cerita yang ditulis dengan serius? Seperti apa kriteria tulisan yang bagus itu? Bagaimana jika ada sebuah tulisan yang ditulis dengan tanpa serius sama sekali, tapi itu bagus ketika dibaca? Ya, pada akhirnya tergantung apa yang ia tulis, kan? Bagus atau tidaknya itu tergantung memakai pandangan siapa.

Sajak-Sajak Minoritas

Di Masjid yang kau hancurkan Foto: Fatikh Sepotong inspirasi terlukis di dalam hati. Ia menuntun kami ke narasi lain jalan hidup ini. Membentuk cerita-cerita baru untuk kisah-kisah besar yang lama. Hanya narasi lain saja. Kami tetap berpegang teguh pada keyakinan yang Esa. Tetap menjalin harmoni tanpa kekerasan. Menolong sesama, dengan nurani sebagai obatnya. Narasi lain itu berasal dari ketekunan asketis menahan nafsu, membaca buku, dalam sunyi. Lalu kami meneguhkan hati untuk mencintai semuanya, dan tidak membenci siapapun. Love for all, hatred for none .