Jam 08.34 pagi di balai kota malang. Mentari bersinar, bunga
bunga di taman bermekaran. Suasana damai dengan laju motor, mobil, angkot,
penjual cilok, mengelilingi balaikota entah berapa kali. Di depan gedung dharma
wanita persatuan sekretariat DPRD kota malang. Kami duduk di pinggir jalan,
berdua, memandang suasana yang tenang. Ada dua mobil polisi di sebelah kanan
kami, dan tiga motor polisi di belakangnya. Polisi berkumpul di bawah pohon
beringin, di sebelah kiri kami.
Sebelumnya, kami lewat gang jalan di antara gedung dprd dan
balai kota. Ada lebih dari 10 mobil yang parkir di seberang jalan. Tapi bukan
mobil polisi. Kami pun lewat terus, mencari tempat parkir. Melewati jejeran
mobil itu, kami sampai di ujung jejeran, memarkir motor di sebelah mobil polisi.
Ada warung di seberang jalan.
Orang orang ngopi santai. Ada polisi juga di sana. Kami
masih duduk, menunggu mereka yang rencananya akan melakukan aksi
"Solidaritas Malang Peduli Kendeng". Rencananya jam 08.30 dan tulisan
ini selesai jam 08.52. Suasana masih damai, matahari bersinar cerah. Teman di
sebelah saya yang bernama Gilang ini juga menunggu, dengan bermain game
"Perang-Perang Ninja di Jepang" di Telepon Pintarnya.
Tiba-tiba, di sebelah kanan kami, datang satu orang peserta
aksi. Kami langsung berkenalan dan bersalaman, entah mengapa kami sudah tahu
kalau kami adalah peserta aksi. Dengan kemeja hitam dan jeans biru tua, dia
mengaku sebagai mahasiswa fakultas hukum, Brawijaya. "Lah, saya kira udah
mulai, mas. Ini tadi saya sarapan dulu, soalnya kalau gak gitu, saya takut mag
saya kambuh," tubuhnya gemuk, Akmal namanya.
Dia menjadi teman kami, menunggu aksi dimulai. Lima menit
berlalu. Suara bising megaphone dari dalam gedung DPRD mengganggu kesepian
kami. Lantas kami bergegas mencoba menuju sumber kebisingan itu. Lewat gerbang
sebelah, kami berjalan, tapi langkah kami terhenti oleh seorang polisi yang
berjaga di depan gerbang itu. Polisi itu bernama, Tohap, terlihat dari bordiran
nama di seragam tugasnya. "Selamat pagi, pak," sambil menyapa kami
bersalaman.
"Selamat pagi, dari mana mas? Brawijaya, fakultas
pertanian?" tebak Tohap dengan nada yang bersahaja.
"Bukan, pak saya dari UIN".
"Oh, sampean dari UIN juga?" tanya Tohap ke Akmal.
"Bukan, saya dari Brawijaya, fakultas hukum,"
jawab Akmal.
"Ini nanti ada aksi ya, pak?" Saya bertanya.
"Iya".
"Oh, jadi di dalam sedang briefing?"
"Iya, mas".
"Mulai jam berapa aksinya, pak?"
"Jam sembilan mas," ucapnya sambil menatap jam
tangannya.
"Jam sembilan, pak? Wah, yaudah pak, permisi dulu
ya?"
"Iya mas".
Kami bergegas kembali ke tempat perenungan lagi. "Kok
masih sepi ya mas, jangan-jangan mereka takut?" celetuknya. Saya tertawa
saja, gilang masih fokus dengan gamenya, sambil berdiri.
"Loh, kalau di sini terjadi aksi, potensi banget
terjadi kericuhan". Saya mencoba memahami kata-kata Akmal, dan perkiraan
saya, Akmal kurang memahami kondisi yang terjadi. Akmal banyak bercerita hal
yang tidak sepenuhnya saya mengerti. Tentang pendukung Jokowi yang miskin,
tentang rezim Soeharto dan perpanjangannya di rezim Jokowi. Jam menunjukkan
angka 09.02. Breifing selesai. Polisi mulai keluar dari gedung DPRD. Ada yang
melewati kami begitu saja. Ada juga yang tersenyum dan mengajak salaman.
Beberapa polisi lain duduk di bawah Pohon beringin, satu diantara mereka sedang
merokok. Sepertinya mereka juga menunggu aksi dimulai, seperti kami.
Gilang komitmen dengan gamenya. Akmal bercerita lagi, kali
ini ia mengumpat, "bangsat cok, si Ganjar itu, rakyatnya sendiri dikasih
makan semen," sepertinya Akmal tak habis pikir dengan kejamnya Gubernur
Jawa Tengah itu. Soalnya Ganjar telah membuat izin baru untuk pengoperasian PT
Semen Indonesia. Padahal, sebelumnya Mahkamah Agung telah memutuskan PT Semen
Indonesia tidak boleh beroperasi di Kendeng. "Tuannya pemerintah itu bukan
rakyat, tapi korporat," sindir Akmal dengan nada yang membuat saya tertawa.
Tiba-tiba dari arah barat, lima anak berbaju hitam
menghampiri kami, tepat pada pukul 09.16. Kami bersalaman, berkenalan, dan
ngobrol tipis-tipis. Salah satu dari merek mengeluarkan bendera merah putih. Pukul
09.17, datang empat peserta aksi yang sepertinya dari MCW. Di seberang jalan
enam orang datang lagi. Lalu beberapa orang lainnya datang, saya tidak mau lagi
menghitungnya.
Gilang tiba-tiba mau pergi, mau beli rokok di warung tadi
katanya. Saya pun ikut gilang, mau beli gorengan. Sebenarnya saya dan gilang
sama-sama lapar, belum sarapan. Sesampainya di warung Gilang membeli rokok,
saya membeli tempe goreng. Karena tahu gorengannya besar dan harganya Rp. 1000,
gilang juga membeli gorengan, tahu.
Setelah gorengan tersisa setengah dari ukuran semula, kami
berjalan kembali ke depan gedung DPRD. Tiba-tiba situasi menjadi lebih ramai
dengan orang-orang berbaju hitam. Yang terjadi setelah itu adalah persiapan
aksi yang dikoordinatori oleh pemuda yang bernama Iqbal. Kami merapat, barisan
depan mengangkat banner panjang bertulis "Kendeng Letari Melawan". Iqbal
mengawali orasi, menolak pabrik semen, lalu disambung peserta lain.
Suasana berikutnya, saya putuskan untuk tidak mencatatnya.
Saya cukup puas menulis peristiwa sebelum aksi. Saya juga puas karena mengikuti
aksi, walaupun tidak sampai selesai. Ketika peserta aksi bernyanyi, berteriak,
sambil berjalan masuk ke gedung DPRD, saya beranjak pulang, karena saya harus
masuk kelas untuk mengikuti Ujian Tengah Semester.
Komentar
Posting Komentar