Catatan
ini adalah catatan hari pertama kuliah di semester lima. Hari pertama dari
sembilan mata kuliah dalam seminggu terakhir pada agustus 2016. Catatan ini
saya tulis untuk menyampaikan pandangan pribadi saya (tanpa harapan untuk dibaca)
dalam bentuk catatan. Jika ada alasan lain yang menyebabkan saya menulis
catatan ini, mungkin karena saya merasa mendapat pelajaran dari dua semester.
Dari pikiran saya sendiri. Pelajaran bahwa “kuliah itu bisa mengecewakan, tapi
yang lebih mengecewakan dari kuliah adalah tidak melawan kekecewaan itu dan
melakukan hal yang menyenangkan.”
Saya
kuliah dari hari senin sampai jumat. Tentu akan membosankan jika menyebutkan
jam kuliah dari sembilan mata kuliah, satu persatu. Jadi saya akan menyebutnya
pagi, siang, dan sore.
Karena
keterbatasan kemampuan otak saya untuk mengingat, catatan ini hanya berisi
sedikit hal yang saya ingat di setiap harinya di seminggu itu. Setiap dosen yang saya jumpai di kelas
mempunyai cara berkenalan yang berbeda. Di hari senin, saya masuk kelas
Penganggaran Perusahaan. Nama dosennya Ibu Mardiana. Yang saya ingat di senin
pagi itu adalah bacaan surat yasin untuk mengawali perkuliahan. Karena tidak
hafal, saya bergumam saja. Percakapan sertiap anak tidak ada saya ingat. Yang
pasti tidak ada hal yang menarik. Orang-orang di kelas hanya membicrakan hal
yang membosankan seperti kontrak kuliah, batas keterlambatan, pemilihan ketua.
Kenapa membosankan? Karena hal-hal seperti itulah yang membuat ilmu pengetahuan
menjadi terkurung dalam batas-batas yang harus ditaati.
Ketika
Bu Mardiana memulai pelajaran, langsung saja suara keluhan menggema di seisi
ruang kelas. Perkataan Bu Mardiana yang sepertinya adalah kata-kata mutiara
membuat gema di seisi ruangan itu hilang. Pelajaran disampaikan kira-kira 20
menit, ruangan tenang. Setelah selesai menyampaikan, Ibu Mardiana memberi tugas
rumah. Sepaham saya penganggaran Perusahaan itu adalah bagaimana cara
perusahaan merencanakan anggaran untuk jangka satu tahun kedepan. Mungkin saya
salah, tapi yang pasti saya tidak mengingat apa yang disampaikan Bu Mardiana
pagi itu. Saya hanya ingat beberapa tulisan yang saya baca di internet sebelum
saya berangkat ke kampus. Di semester ini saya berusaha untuk fokus. Jadi
setiap penyampaian dosen saya coba perhatikan benar-benar, setiap tugas saya
catat di buku tulis. Saya melakukannya supaya saya tidak terus lupa jikia ada
tugas. Seperti semester sebelum-sebelumnya.
Di
hari selasa, saya mengikuti tiga mata kuliah dari pagi sampai sore. Rasanya
capek sekali, lebih-lebih ketika saya tidak paham apa menariknya perbincangan
di kelas itu, ketika semuanya tertawa. Mata kuliah yang pagi adalah Manajemen
Investasi. Pak Agus Sucipto nama dosennya. Bapak itu menanyakan apa itu
investasi, manfaatnya, faktornya, dan metodenya. Itu saja yang saya ingat,
ditambah harus membawa buku referensi dan tidak ada tugas rumah. Saya senang,
dan semuanya sepertinya juga senang.
Sebelumnya
Pak Agus Sucipto juga menyampaikan kontrak kuliah dan teman-temannya yang
membosankan. Hal yang paling saya ingat adalah, bahwa Pak Agus Sucipto selalu
ragu dengan mereka yang terlambat masuk kelas. Pak Agus Sucipto menceritakan
sebuah kisah tentang anak-anak yang terlambat kuliah. Jumlah anak dalam cerita
Pak Agus Sucipto ada empat. Mereka berempat ini sama-sama terlambat kuliah,
lalu mereka menemukan sebuah cara agar bisa masuk kelas. Cara itu adalah dengan
membikin alasan kalau angkot yang mereka tumpangi bocor, padahal mereka semua
naik motor sendiri-sendiri. Alasan ini dipilih karena Pak Agus Sucipto bilang
memberi pengecualian pada hal yang krusial. Kemudian salah satu dari mereka
menjadi pembicara untuk menipu Pak Agus Sucipto. Tapi setelah kata-kata
penipuan itu dilontarkan, Pak Agus Sucipto dengan ragu bertanya “ban mana yang
bocor?” Empat-empatnya bingung, lalu ketahuan bohong.
Bahkan
Pak Agus Sucipto juga bilang walaupun sakit tetap harus masuk kelas, karena
dengan masuk kelas, penyakititu bisa hilang. Dihilangkan Tuhan, karena niat
untuk belajar. Pak Agus Sucipto menceritakan pengalamannya sendiri. Saya tidak
bisa menemukan alasan untuk tidak percaya. Tapi perkataan Pak Agus Sucipto yang
demikian mengingatkan saya dengan buku yang saya baca di semester sebelumnya.
Judulnya ‘Berpetualang dalam Marxsisme.’ Jadi tiba-tiba pikiran saya
membayangkan ketika mahasiswa adalah buruh yang dipaksa kuliah walaupun sakit
dengan alasan yang relijius. Dan itu tidak baik (kata penulis buku itu yang
kalau tidak salah namanya Marshall Berman).
Siangnya
adalah mata kuliah Analisis Informasi Keuangan. Dengan dosen yang bernama Ibu Fitryiah. Saya ingat betul kalu Ibu itu dengan tiba-tiba menggambarkan alur
mata kuliah konsentrasi keuangan sampai persiapan untuk urusan skripsi dan
ujung-ujungnya adalah lulus cepat. Jangan sampai molor kuliah, karena jikalebih
dari lima tahun bisa dikeluarkan dari kampus. Tentu saya tidak ada niat dan
bekal yang kuat untuk menyanggah amanah itu. Misalnya dengan mengatakan apa
yang pernah saya baca di Buletin UAPM Inovasi. Di Buletin itu ada karikatur
dengan celotehan yang bertulis, “Orang Tua dan Guru yang baik tidak bertanya
apakah kamu bisa lulus cepat empat tahun? Tetapi, sudah cukupkah keilmuan yang
kau dapat selama empat tahun?” Saya diam saja siang itu.
Tentang
pelajaran, kami disuruh membikin
neraca dan laporan laba rugi. Satu pelajaran yang sudah saya lupakan, hampir semuanya.
Tapi
yang menarik dari Ibu Fitriyah adalah pandangannya terhadap tidak kreatifnya
mahasiswa. Menurut Bu Fitriyah, mahasiswa sekarang tidak kreatif karena sejak
Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah ke Atas, kami sudah terbiasa disuruh
belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah terus. Tanpa sedikit waktu bermain.
Sehingga di perkuliahan isi kepala mahasiswa terkungkung dalam kotak kecil
saja. Mahasiswa tidak bisa menyelesaikan
masalah yang diluar kotak itu. Lagi-lagi saya teringat dengan bacaan saya.
Tulisannya Tan Malaka (saya lupa judulnya) yang dalam poin bahasannya menulis
bahwa anak itu harus diberi waktu bermain, bersenang-senang, bersama
teman-temannya, sebelum membawa tanggungjawab untuk bekerja.
Saya
tidak tahu kalau Bu Fitriyah membaca Tan Malaka atau tidak. Tapi pandangan Bu
Fitriyah membuat saya senang, karena ada perbincangan yang menarik di kelas.
Mungkin juga karena Bu Fitryiah tidak memberi tugas rumah, hanya belajar saja.
Jam
kuliah masih berlanjut di waktu sore. Dengan matakuliah Bisnis Internasional
dan dosen bernama M. Nanang Choiruddin. Pak Nanang Choiruddin juga
mengamanahkan supaya cepat lulus dan saya tetap diam dan tak menyanggahnya.
Tapi Pak Nanang Choiruddin juga menyampaikan satu hal yang menarik, katanya
“saya ini kakak kelas kalian, jadi jangan sungkanmemanggil ‘mas’ ke saya kalau
diluar kelas, tapikalau di dalam kelas, ya kita profesional aja.” Sebuah awal
yang bagus untuk menentang sistem kasta. Saya berharap Pak Nanang Choiruddin
selalu seperti itu (bahkan lebih) sampai nanti. Semoga.
Mata
kuliah di hari berikutnya adalah Manajemen Operasional. Setelah penentuan ketua
kelas dan kontrak kerja, Ibu Fauziah langsung menerangkan materi pertama, yaitu
tentang produktivitas. Awalnya saya agak kaget mendengar arti produktivitas
yang dikatakan Bu Fauziah sebagai perbandingan antara input dan output. Padahal
ketika saya membuka aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia di telepon genggam
saya, arti produktivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Saya
tidak bertanya mengapa arti produktivitas yang dikatakan Bu Fauziah dan Kamus
Besar Bahasa Indonesia berbeda. Karena saya mengira kalau mungkin saja
perbedaannya terletak di lingkup pembahasannya. Singkatnya ekonomi dan Kamus
Besar Bahasa Indonesia itu berbeda. Begitu saja.
Dan
yang saya perkirakan ternyata benar adanya. Bu Fauziah kemudian menambahi
penjelasan tentang produktifitas yang membikin kepala saya berpikir njimet sejenak. Rumus untuk menghitung
produktivitas adalah output dikurangi input. Lalu Bu Fauziah memberi dua soal
tentang produktifitas yang harus di selesaikan. Setelah selesai, Bu Fauziah
menghadiahi kami semua dengan dua soal lagi untuk pekerjaan rumah, ditambah resume materi produktivitas dan materi
di pertemuan berikutnya. Juga harus membawa buku manajemen operasional di
pertemuan berikutnya. Haduh, siang yang berat, untung cuma ada satu mata kuliah
di siang itu. Saya sejak semester satu berpikir kalau mahasiswa itu diberi
tugas bukan untuk tujuan belajar, tapi untuk bekerja, mencari nilai. Sampai
pernah saya bikin esai tentang “Nilai”.
Di
Kamis pagi, mata kuliahnya adalah Hukum Bisnis, dosennya adalah Bapak Muhammad
Djakfar, seorang profesor. Saya masuk kelas persis satu menit sebelum jam
kuliah dimulai. Namun Pak Djakfar sudah duduk di singgah sananya. Pak Djakfar
bilang kalau dia sedang sibuk, ada keperluan lain yang tidak dia jelaskan apa
itu. Setelah kira-kira sepuluh menit duduk di bangku paling depan, dan setelah
perkenalan, kontrak kuliah, absensi dan penunjukan ketua kelas oleh Pak Djakfar
sendiri, saya keluar dari kelas. Yang paling saya ingat dari Pak Djakfar adalah
pesannya untuk membawa buku Hukum Bisnis di pertemuan berikutnya. Buku
karangannya sendiri. Dari buku itulah semua materi yang akan kami pelajari
berasal.
Saya
tidak tahu apa yang dipikirkan anak lain di kelas itu, tapi tiba-tiba saya
merasa agak tergelitik setelah mendengar kutipan teman saya yang membaca buku
Menggugat pendidikan. Asrur namanya. Dia mengutipkata pengantar berupa esai
panjang di buku itu. Katanya: “Di muka
bumi ini tidak ada satu pun yang menimpa orang-orang tak berdosa separah
sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal sekolah lebih kejam
ketimbang penjara. Di penjara, misalnya, Anda tidak dipaksa membeli dan membaca
bubu-buku karangan para sipir atau kepala penjara.” Setelah saya baca kata
pengantar itu ternyata itu kutipan dari Bernard Shaw dalam Parents and Childern. Asrur
tertawa, saya ikut tertawa juga.
Jam
berganti siang, mata kuliah berikutnya adalah Manajemen Koperasi dan Usaha
Kecil. Nama dosennya adalah Ibu Nur Zahrotul Laili. Sedikit saja yang saya
ingat darikelas disiang itu. Setelah perkenalan dan kontrak kuliah, Bu Zahro
menjelaskan kalau tugasnya adalah observasi di Koperasi atau Usaha Kecil
Menengah. Satu kelompok mendapatkan satu tema untuk observasi sesuai materi
yang akan dipelajari. Bu Zahro menambahkan satu tugas individu, yaitu mencari
artikel dari website
tentang materi yang akan dipelajari. Dengan iseng saya mencari artikel dengan
tema koperasi di indoprogress.com. Dan
ketemu, judulnya ‘Membangun Koperasi Progresif.’ Saya tidak tahu apakah Bu
Zahro sudah membacanya atau belum.
Di
hari Jumat, hari terakhir untuk hari pertama
kuliah saya. Ada dua mata kuliah,
yang satu di pagi, yang satunya lagi di siang. Yang di pagi adalah mata kuliah
Manajemen Pemasaran 1, dengan dosen Muhammad Fatkhur Rozi. Saya tahu betul
caranya memperkenalkan diri yang formal, nyleneh,
tapi logis. Katanya, “kalau kuliah jangan terlambat, kalau terlambat jangan masuk, tapi jangan
sok rajin masuk, ambillah jatah absen kalian, lha kaliankan itu kan dilindungi
undang-undang untuk tidak masuk kuliah sebanyak dua kali, jadi nggak usah sok rajin kuliah.” Alasan
kenapa ingat betul dengan caranya memperkenalkan diri adalah karena saya tidak
lulus Manajemen Pemasaran 1. Ya dosennya Pak Rozi itu.
Banyak
kenylenehan yang logis lainnya yang
keluar dari mulut Pak Rozi. Pikirannya memang unik, berbeda dengan dosen
lainnya yang saya temui. Mungkin daripada unik, kata yang lebih tepat adalah
pemberontak. Saya tidak akan menjelaskan satu-satu pikiran pemberontaknya Pak
Rozi. Tapi saya akan menjelaskan pandangan saya terhadap Pak Rozi. Jika dilihat
dan didengarkan begitu saja, Pak Rozi adalah orang dengan pikiran yang terbuka,
jujur, berani, logis dan sejahat setan (diakuinya sendiri kalau dia adalah
setan). Misalnya dalam perkataan “Tugas seorang manajer pemasaran/pengusaha
adalah membuat manusia untuk tidak menyadari siapa dirinya.” Langsung saja
pikiran saya menyambungkan dengan semua bacaan saya, mulai dari filsafat,
marxisme, indoprogress, sampai diskusi ngalit
tentang narsismenya Herbert Marcus. Tanggapan pertama saya tentang
perkataan itu adalah, “inilah kapitalis.”
Lebih
lanjut lagi Pak Rozi menjelaskan bahwa manajer pemasaran/pengusaha tidak
memperbolehkan manusia untuk cukup dengan kebutuhannya saja. Tapi ada hal yang
dibikin-bikin supaya manusia memenuhi keinginan dan nafsunya tanpa tahu kalau
sebenarnya ia tidak membutuhkan itu. Kata-kata lainnya dari Pak Rozi yang
membuat saya terdiam mangkel adalah,
“kita harus berpikir bagaimana cara mendapat keuntungan, tidak usah memikirkan
mereka yang miskin.”
Tapi
ketika Pak Rozi menceritakan masa kecilnya yang berasal dari keluarga yang
miskin, dan perjuangannya untuk keluar dari kemiskinan. Dengan berjualan (saya
tidak ingat Pak Rozi jualan apa saja) kesana-kemari. Saya mencoba untuk
berpikir ulang. Setelah berpikir (atau mungkin terpengaruh) kalau perkataan
seperti itu wajar-wajar saja. Pak Rozi percaya bahwa untuk keluar dari
kemiskinan dan menjadi kaya adalah dengan berjuang keras dan belajar dengan
keras pula. Pandangan itu berangkat dari ejekannya terhadap mahasiswa yang
malas-malasan dan penekanannya untuk membaca buku minimal satu jam. Melihat Pak
Rozi, membuat saya ingin membaca buku “Psikologi Hitler” dan mencoba untuk meluangkan
waktu membaca buku-buku pelajaran. Terlepas dari pikiran ulang saya terhadap
Pak Rozi, saya tetap tidak setuju dengan perkataannya tentang orang miskin yang
tidak harus dipikirkan, walaupun itu sebuah kejujuran, dan meskipun saya tetap
diam.
Berakhir
sudah hari pertama kuliah saya selama seminggu di semester lima. Tentang mata
kuliah yang siang (setelah sholat jumat) yaitu mata kuliah Akuntansi Biaya,
dosennya sama dengan dosen di hari senin, Bu Mardiana. Perkenalannya sama,
kontrak kuliahnya juga sama, cumatugasnya adalah disuruh belajar dirumah saja.
Dengan semua mata kuliah yang saya ikuti di semester lima ini, saya bertekad
untuk meluangkan waktu supaya bisa belajar dengan lebih semangat. Seperti yang
selalu dikatakan Ayah dan Ibu. Begitu saja.
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.cc
dewa-lotto.vip